Genre: Action, Drama, Fantasy, Psychological, System
Seluruh siswa kelas 3A tidak pernah menyangka kalau hidup mereka akan berubah drastis ketika sebuah ritual aneh menarik mereka ke dunia lain. Diberikan gelar sebagai "Pahlawan Terpilih," mereka semua mendapat misi mulia untuk mengalahkan sang Raja Iblis dan menyelamatkan dunia asing tersebut. Di antara mereka ada Hayato, siswa yang dikenal pendiam namun selalu memiliki sisi perhatian pada teman-temannya.
Namun, takdir Hayato justru terpecah dari jalur yang diharapkan. Ketika yang lain menerima berkat dan senjata legendaris untuk menjadi pahlawan, Hayato mendapati dirinya sendirian di ruangan gelap. Di sana, ia bertemu langsung dengan sang Raja Iblis—penguasa kegelapan yang terkenal kejam. Alih-alih membunuhnya, Raja Iblis memberikan tawaran yang tak bisa Hayato tolak: menjadikannya "Villain Sejati" untuk menggantikan posisinya dalam tiga tahun mendatang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nov Tomic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
— BAB 28 — Penginapan Part 2 —
Saat kami menaiki tangga menuju lantai dua, aku melirik ke arah Eirene. Ia berjalan dengan tenang, seolah tidak ada yang aneh dengan keputusan yang baru saja ia buat.
Akhirnya, rasa penasaranku memuncak. “Eirene, kenapa satu kasur?” tanyaku pelan, mencoba terdengar santai.
Ia melirikku dengan sudut matanya dan tersenyum jahil. “Kenapa? Kau takut berbagi tempat tidur denganku?”
Aku mendesah dan menatap lurus ke depan. “Bukan begitu. Hanya saja... itu tidak biasa.”
“Hayato, kita ini dalam perjalanan panjang. Kita harus menghemat. Lagipula, kau kan bisa tidur di lantai kalau merasa tidak nyaman,” katanya, menahan tawa.
Aku memutar mata, tapi tidak membalas. Ia selalu tahu cara membuatku kesal tanpa benar-benar membuatku marah.
Begitu kami sampai di kamar, aku langsung melihat sekeliling. Ruangan itu cukup kecil, dengan satu tempat tidur di tengah, meja kecil di sudut, dan jendela yang menghadap ke jalan utama Katherine Rundell.
Eirene segera melepaskan tudungnya dan duduk di tepi tempat tidur. “Lumayan, kan?” tanyanya sambil meregangkan tubuh.
Aku hanya mengangguk sambil membuka jubahku dan duduk di lantai, bersandar ke dinding. Pandanganku tertuju pada tas kecilku yang berisi peta dan beberapa barang lainnya.
Saat itulah aku menyadari sesuatu. Mata uang. Koin perak.
Sejak datang ke dunia ini, aku sama sekali tidak memikirkan soal uang. Semua pikiranku terlalu terfokus pada teman-teman sekelas yang mengkhianatiku, pada kenyataan bahwa aku adalah calon Raja Iblis, dan pada bertahan hidup.
Aku mengangkat kepala, menatap Eirene yang tampak sibuk mengatur barang-barangnya. “Eirene, bagaimana kau bisa punya uang sebanyak itu?” tanyaku.
Ia menoleh padaku dengan alis terangkat. “Kenapa? Kau baru sadar kalau aku lebih kaya darimu?”
Aku mendesah. “Bukan itu maksudku. Aku hanya tidak pernah memikirkan soal uang di dunia ini. Kau dapat dari mana?”
Ia tersenyum kecil, lalu mengangkat kantong kecilnya. “Ini hasil barter dengan beberapa orang di desa yang aku lewati, sebelum aku disergap oleh goblin dan diselamatkan olehmu. Aku menukar beberapa tumbuhan yang aku temukan di hutan.”
“Kau hebat,” gumamku pelan.
Ia tertawa kecil. “Tentu saja. Kalau bukan karena aku, kau bisa kelaparan nanti.”
Aku hanya tersenyum tipis, membiarkan ia menikmati kemenangannya kali ini. Mungkin benar, perjalanan ini akan jauh lebih sulit tanpanya.
Setelah kami menyelesaikan aktivitas malam dan bersiap untuk tidur, suasana kamar menjadi sunyi. Api kecil dari lilin di meja memberikan cahaya lembut yang memantul di dinding kamar. Aku duduk bersandar di lantai dekat tempat tidur, memandangi Eirene yang sedang sibuk melipat tudung jubahnya.
“Hayato,” panggil Eirene tiba-tiba. Suaranya terdengar sedikit berbeda, lebih pelan dari biasanya.
“Ada apa?” tanyaku, menatapnya dengan alis terangkat.
Ia terdiam sejenak, menatap tempat tidur kecil di belakangnya. Wajahnya sedikit memerah, meski aku tidak yakin apakah itu karena cahaya lilin atau karena sesuatu yang lain.
“Kita tidur bersama saja,” katanya, pelan namun jelas.
Aku hampir tersedak udara. “Apa?”
“Tidur bersama,” ulangnya, meski kali ini nadanya terdengar lebih malu-malu. Matanya tidak menatap langsung ke arahku, tapi ia tetap menjaga postur tubuhnya yang seolah-olah tidak ada yang aneh dengan ucapannya.
“Eirene... Aku rasa aku bisa tidur di lantai saja. Kau tidur di kasur,” jawabku buru-buru, merasa telingaku mulai memanas.
Ia menggeleng cepat, matanya sekarang menatapku tajam. “Tidak. Kau tidak perlu seperti itu. Kasur ini cukup untuk kita berdua. Lagipula, lantainya dingin.”
Aku membuka mulut untuk membantah, tapi ekspresi serius di wajahnya membuatku menutup mulut lagi. Aku tahu Eirene bisa keras kepala, tapi ini terlalu aneh.
“Tapi—”
“Sudah, tidak ada tapi-tapian,” potongnya dengan nada tegas. Namun, pipinya yang sedikit memerah mengkhianati keberaniannya. “Kita tidur bersama. Itu saja.”
Aku menghela napas panjang, merasa argumen ini tidak akan membawaku ke mana-mana. Akhirnya, dengan berat hati, aku mengangguk. “Baiklah, kalau itu yang kau mau.”
Eirene tersenyum tipis, terlihat puas, lalu naik ke kasur. Ia menepuk sisi kasur di sebelahnya, menyuruhku untuk ikut naik. Dengan langkah ragu, aku berdiri dan mendekati tempat tidur.
Kasur itu memang kecil, dan aku sudah bisa membayangkan betapa sempitnya kami berdua di sana. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku berbaring di sisi kasur, mencoba memberikan cukup ruang untuk Eirene.
Ia memutar tubuhnya menghadapku, lalu berkata dengan nada pelan, “Hayato, kau tidur di sini.” Ia menunjuk bantal di bawah kepalanya.
Aku menatapnya bingung. “Maksudmu?”
“Aku akan tidur di lenganmu,” katanya dengan nada yang lebih pelan, pipinya sekarang benar-benar memerah.
Aku merasa otakku berhenti bekerja sejenak. Tidur di lenganku? Serius?
“Apa kau yakin?” tanyaku, suaraku hampir berbisik.
Ia mengangguk kecil, tidak mengatakan apa-apa lagi. Aku menelan ludah, mencoba menenangkan pikiran liar yang mulai muncul di kepalaku, lalu perlahan mengangkat lengan kananku, memberikan ruang untuknya.
Eirene mendekat, meletakkan kepalanya di lenganku dengan hati-hati. Rambutnya yang halus dan berbau seperti lavender menyentuh pipiku, membuatku semakin gugup.
“Nyaman?” tanyaku, hampir tidak terdengar.
Ia mengangguk pelan, matanya perlahan menutup. “Ya. Terima kasih, Hayato.”
Aku hanya bisa mengangguk, meski ia mungkin tidak melihatnya.
Seiring waktu berlalu, aku mencoba menenangkan diriku. Tapi semakin aku mencoba, semakin aku merasa canggung. Tubuhku terasa panas, dan aku tidak bisa berhenti memikirkan betapa dekatnya Eirene sekarang.
“Apa ini alasan ia hanya memesan satu kasur?” gumamku dalam hati. Tapi aku tidak berani menanyakannya.
Saat aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri, aku menyadari sesuatu. Nafas Eirene sudah teratur dan tenang. Ia tertidur.
Aku menatapnya sebentar. Wajahnya terlihat damai, jauh berbeda dari biasanya. Ia terlihat... cantik.
Aku menghela napas pelan, mencoba mengalihkan pikiranku. Tapi tidak peduli seberapa keras aku berusaha, aku tidak bisa menyangkal bahwa momen ini membuatku merasa aneh—dan entah bagaimana, sedikit nyaman.
“Tidur, Hayato,” bisikku pada diriku sendiri. “Besok masih panjang.”
Dengan hati-hati agar tidak membangunkan Eirene, aku menutup mataku, berharap aku bisa tidur meski tubuhku masih terasa tegang.
Namun, ketenangan yang kuharapkan tak kunjung datang. Pikiran-pikiran terus berputar dalam kepalaku, seperti mesin yang tak mau berhenti.
Malam semakin larut, dan suara detak jam di dinding semakin terasa nyaring. Setiap detak seolah mengingatkanku berbagai hal tentang Eirene—ia dibuang oleh desanya karena dianggap sebagai pembawa kutukan.
Aku beralih menatap Eirene yang terlelap. Bagaimana bisa ia tidur dengan tenang sementara pikiranku berperang? Aku ingin melindunginya, karena ia adalah satu-satunya orang yang bersamaku saat ini. Bahkan ketika mengetahui kalau aku adalah calon Raja Iblis, ia tampak tidak keberatan dengan itu.