"3 tahun! Aku janji 3 tahun! Aku balik lagi ke sini! Kamu mau kan nunggu aku?" Dia yang pergi di semester pertama SMP.
***
Hari ini adalah tahun ke 3 yang Dani janjikan. Bodohnya aku, malah masih tetap menunggu.
"Dani sekolah di SMK UNIVERSAL."
3 tahun yang Dani janjikan, tidak ditepatinya. Dia memintaku untuk menunggu lagi hingga 8 tahun lamanya. Namun, saat pertemuan itu terjadi.
"Geheugenopname."
"Bahasa apa? Aku ga ngerti," tanyaku.
"Bahasa Belanda." Dia pergi setelah mengucapkan dua kata tersebut.
"Artinya apa?!" tanyaku lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
"Warna putih aja sih. Lebih cocok warna yang cerah. Ngapain juga warna hitam kayak orang berduka," ocehku memilih baju untuk Arzio.
"Bukannya Dani suka warna putih?" tanya Arzio kembali menghancurkan suasana hatiku. "Hitam aja lah. Aku ga mau disamain ama dia."
Kurampas baju hitam itu dan melemparnya ke dalam lemari. "Pake yang putih!" tegasku.
Dia terkekeh dan mengambil baju kaos putih tersebut.
Padahal alasanku memintanya memakai warna putih agar sama dengan bajuku. Aku bahkan tidak tau warna kesukaan Dani, sebab interaksi yang terlalu sedikit.
Aku berdiri termenung di depan cermin kamar Arzio (rumah nenek).
Arzio kenapa sih? Kan aku ga sama-samain dia ama Dani, tapi kenapa dia ngerasa kayak gitu?
Kulihat pantulan bayang Arzio dari cermin. Dia berdiri di sampingku. Kulingkarkan tangan di lengannya. Kami menatap bayangan kami di cermin.
Tadinya aku sangat bersemangat untuk pergi ke bazar yang diadakan oleh kampus Liu Xian Zhing. Tapi, setelah melihat kelakuan Arzio beberapa menit yang lalu, entah kenapa aku jadi tidak bersemangat lagi. Rasanya aku tidak mau pergi ke bazar itu. Tapi, aku sudah janji pada Xia untuk ikut meramaikan.
"Kenapa?" tanya Arzio membuatku menoleh padanya.
Aku menggeleng. Beralih mengambil tas selempang dan menyandangnya.
"Ayo!" ajak Arzio menggenggam tanganku.
Entahlah apa yang terjadi padaku. Ada rasa yang mengganggu perasaanku, tapi entah apa itu.
Sepanjang perjalanan Arzio bercerita tentang kesehariannya di kampus. Aku hanya terdiam dan merenung menatap jalanan.
Kenapa Arzio berpikir aku ingin dia menjadi seperti Dani? Kenapa dia berpikir seperti itu? Apa aku bertingkah seolah-olah ingin Arzio seperti Dani? Tidak. Aku tidak seperti itu. Aku suka Arzio yang menjadi dirinya sendiri. Aku tidak pernah mencoba untuk mengubah dia menjadi Dani. Aku bisa pastikan itu.
Tapi kenapa dia berpikir seperti itu? Apa dia mengira aku belum bisa menghabiskan rasa terhadap Dani?
Rasanya aku ingin menangis. Tapi jika aku menangis sekarang, Arzio pasti akan bertanya kenapa.
"Sayang," panggilnya membuatku tersadar dari lamunan.
"Hum," sahutku.
"Kamu dengerin aku ga sih? Kok dari tadi diem doang. Ada masalah?" tanyanya.
"Ga, cuma mau diem aja," jawabku.
Arzio menoleh padaku sekilas dan kembali fokus ke jalanan sebab sedang mengemudi.
Air mataku menepik, dengan cepat aku mengusapnya dengan lengan baju. Mengontrol napas agar tidak menangis, sebab aku akan berada di keramaian nanti.
***
"Litaaaa!" panggil Liu Xian Zhing yang girang melihat kedatangan kami.
Aku tersenyum padanya. Meski harus kuakui rasa tidak nyaman itu masih ada di dadaku.
"Lo mau burger ga? Di stan temen gue. Kalo gue yang jual, lo ga bisa makan. Ada campuran daging Arzio soalnya," oceh Xia membuatku terkekeh.
"Gue mau liat-liat dulu deh. Soalnya lagi ga nafsu makan," jawabku.
"Loh, tumben ga nafsu jajan?" ucap Arzio.
Ya itu karena lo! (Rasanya aku ingin menyahut seperti itu, tapi sudahlah. Demi meminimalisir pertengkaran).
***
Setelah pulang dari bazar. Aku benar-benar menjadi pendiam. Aku akui itu terjadi. Aku tak tahu harus berkata seperti apa, sebab aku tak mengerti akan apa yang aku alami.
Aku selalu merasa Arzio berpikir bahwa aku ingin dia menjadi Dani. Padahal aku tidak melakukannya. Aku merasa sedikit lebih tenang saat Arzio tidak di sampingku.
Sehingga aku memutuskan untuk mematikan ponsel selama beberapa hari, dan aku akan melihat apa yang terjadi padaku. Apakah rasa tidak nyaman itu akan menghilang?
Selama 3 hari tanpa ponsel, aku merasa biasa saja. Aku kembali ke habitat asliku. Menjadi anak rumahan yang bekerja mengurus rumah seharian dan sendirian.
Hingga saat aku nyalakan kembali ponsel itu. Aku kira akan ada ribuan pesan dari Arzio, nyatanya tidak. Dia tidak mencariku.
Aku mulai merasa ada yang berbeda dari sebelumnya. Arzio yang memintaku untuk menunggu, sekarang seolah-olah dia ingin aku menjauh.
Aku terdiam menatap ponsel yang tidak memiliki notifikasi sama sekali. Biasanya Arzio akan mengirim pesan selamat pagi, selamat siang, selamat malam, selamat tidur, bangun sayang, mau makan apa? Mau dibeliin apa? Aku boleh ke sana ga? Gimana kamu hari ini? Ada yang gangguin ga? Dimarahin ibu ga? Ada kabar dari bapak ga?
Sekarang ....
Aku masih terdiam menatap elektronik berukuran 6,78 inchi itu.
Rasa tidak nyaman itu datang lagi. Ini saatnya. Aku sudah menahan rasa tidak nyaman ini selama berhari-hari. Mumpung aku sendirian di rumah. Aku biarkan perasaan itu menyelimuti pikiran dan hatiku. Sejuta tanya tentang Arzio yang berubah menghantui otakku.
Kenapa?
Kenapa dia berubah?
Apa dia tidak mau aku tunggu lagi?
Apa dia sudah ada penggantiku?
Apa dia sudah bosan?
Apa aku ada salah?
Apa dia takut aku tidak mencintainya dengan tulus?
Apa dia mengira aku masih mencintai Dani?
Kenapa?
Kenapa dia seperti ini?
Kenapa dia tidak mencariku?
Kenapa dia tidak mengkhawatirkanku lagi?
Kenapa dia tidak merasa aneh saat aku tidak aktif beberapa hari?
Apa alasannya?
Jika dia tidak ingin aku menunggu lagi, beritahu aku. Aku akan menghentikannya mulai sekarang.
Aku tidak akan menunggunya lagi. Jika memang itu yang dia mau.
Tapi sebelum itu, beritahu aku apa alasan dia berlaku seperti ini. Apa aku ada salah? Apa ada yang dia tidak sukai dariku? Apa dia ingin aku mengubah beberapa tingkahku? Apa?! BERITAHU AKU!
Tangisanku semakin menjadi di dalam kesendirian. Sampai aku terbaring di lantai sebab kepalaku terasa pusing. Aku terus menangis.
Maaf! Maaf atas semua salahku. Kumohon jangan minta aku untuk berhenti menunggu. Aku sudah kehilangan tujuan sejak Dani meninggal dunia. Aku sudah memindahkan tujuan itu untuk Arzio. Kumohon jangan minta aku untuk berhenti menghitung hari. Aku selalu menghitung hari-hari yang berlalu untuk menuju janji itu.
Kumohon ....
Aku memang tidak sesempurna yang lainnya. Aku tidak secantik yang lain. Aku tidak sepintar yang lain. Aku memang layak untuk ditinggalkan. Tapi aku bisa pastikan aku tidak meninggalkan siapapun. Hanya itu yang aku bisa. Apakah setia tidak bisa ditukar dengan bahagia? Harus berapa banyak orang meninggalkanku agar aku menuju bahagia itu?
Bahkan aku belum merasa puas memiliki Arzio. Ini terlalu sebentar untuk dia menjauh. Kumohon beri waktu sedikit lebih lama. Setidaknya, biarkan dia menepati janjinya terlebih dahulu. Jangan berubah begitu cepat. Kumohon.
Siapa saja, hentikan dia yang ingin hubungan ini menjadi tidak nyaman.
Aku tidak akan menunggunya jika dia tidak meminta. Aku tidak akan menjauh jika dia tidak meminta.
Satu yang aku pahami. Ini jauh lebih menyakitkan dari kematian Dani.
"Arlita! Kamu kenapa?!" pekikan itu terdengar di telingaku. Aku melihat Arzio berdiri di pintu kamar dan berlari menghampiriku.
Aku langsung memeluknya erat sambil terus menangis. Aku sudah memilihnya. Aku sudah melupakan Dani. Aku tidak mau kehilangan lagi.
"Kenapa?" tanyanya panik.
Aku tak ingin melepaskan pelukan itu. Biarkan aku menangis hingga lelah.