SMA Rimba Sakti terletak di pinggiran Kota Malang. Menjadi tempat di mana misteri dan intrik berkembang. Di tengah-tengah kehidupan sekolah yang sibuk, penculikan misterius hingga kasus pembunuhan yang tidak terduga terjadi membuat sekelompok detektif amatir yang merupakan anak-anak SMA Rimba Sakti menemukan kejanggalan sehingga mereka ikut terlibat di dalamnya.
Mereka bekerja sama memecahkan teka-teki yang semakin rumit dengan menjaga persahabatan tetap kuat, tetapi ketika mereka mengungkap jaringan kejahatan yang lebih dalam justru lebih membingungkan.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan siapa yang bisa dipercaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moon Fairy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26
Dimas baru saja memarkirkan motornya di area parkir sekolah ketika pandangannya tertuju pada seorang siswa yang berdiri dengan pandangan kosong di kejauhan. Cahaya matahari pagi menyilaukan namun siswa itu tampak tak terpengaruh, seolah-olah terjebak dalam dunianya sendiri. Dimas mengenali wajahnya sebagai salah satu anggota Klub Misteri. Fira yang ia temui. Siswi dari 11 IPS 1 yang sering kali terlihat melamun di kelas.
Dengan sedikit penasaran, Dimas mendekat, “Fir, lagi ngapain di sini?” tanyanya santai.
Fira menoleh perlahan, tapi pandangannya tetap kosong. “Mereka sudah datang,” katanya dengan nada datar, tanpa menjelaskan siapa ‘mereka.’ Kemudian, dengan gerakan lamban, dua berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Dimas yang berdiri bingung. Kata-katanya terasa begitu aneh dan tidak nyambung, seakan dia sedang berbicara dengan seseorang yang tak terlihat.
Dimas menggaruk tengkuknya yang tak gatal, merasa ada sesuatu yang tidak beres. “Apaan coba?” gumamnya. Tidak biasanya Fira bertingkah lebih aneh dari biasanya.
Ia segera menuju kelas, perasaan gelisah masih menggantung di pikirannya. Saat masuk ke kelas 11 IPS 2, ia melihat Rian duduk di kursinya sibuk mencoret sesuatu di buku catatannya. Tanpa pikir panjang, Dimas menghampiri dan duduk di kursi sebelah Rian.
“Lagi nulis apaan, pagi-pagi udah sibuk aja?” Dimas bertanya sambil melepas tas cangklongnya dan melirik ke arah buku catatan Rian yang dipenuhi tulisan.
Rian menghela napas gusar. “PR Sosiologi, belum kelar ngerjain, padahal bentar lagi bel masuk.”
Dimas tersenyum tipis, mengingat kejadian yang baru dialaminya tadi. “Eh, aku tadi ketemu Fira, anak Klub Misteri itu. Dia ngeliatin aku tatapannya kosong banget, terus ngomongnya aneh. Dia bilang, ‘mereka sudah datang’. Gak jelas banget.”
Rian menaikkan alisnya sambil tetap menulis. “Fira kan memang gitu. Anak yang dari kelas Nadya itu, kan? Dia kan memang dari kelas 10 sering bengong.”
Dimas menggeleng, “Ini beda, Yan. Kali ini tatapannya serem, kayak lagi kemasukan.”
Rian berhenti menulis sejenak, berpikir. “Eh, ngomong-ngomong soal kemasukan, aku pernah dengar gosip soal Fira pas kita kemah di kelas 10 dulu. Katanya, pas itu ada lima orang yang kesurupan, dan yang pertama kali mulai ya Fira. Banyak yang bilang dia kayak ‘pemancing’ kesurupan gitu, semacam awal mula.”
Dimas memandang Rian dengan terkejut. “Seriusan?”
Rian mengangguk, tapi tiba-tiba senyumnya melebar. “Tapi ya, namanya juga gosip. Siapa yang tau bener apa enggaknya, kan?”
Sebelum Dimas sempat menjawab, bel sekolah berbunyi, tanda bahwa jam pelajaran akan segera dimulai. Guru Sosiologi mereka tiba lebih cepat dari biasanya, masuk ke kelas dengan wajah serius, dan langsung membuka buku catatan. Rian panik. “Wah, gawat! Mana belum selesai lagi PR-nya!”
Dimas menahan tawa. “Lagian, makanya jangan ngurusin gosip mulu.”
Rian menatap Dimas dengan tatapan putus asa sebelum sibuk menulis kembali. “Elah, Bu Nia datengnya kenapa lebih cepet dari bel, sih? Padahal baru bunyi. Ini salahmu, Dim, malah ngajak ngobrol.”
Sementara Dimas yang dituduh hanya memandangnya tak terima.
...—o0o—...
Di kelas 12 IPS 1 yang saat ini tengah serius dalam pelajaran geografi, Nadya duduk di barisan paling depan, tepat di dekat papan tulis. Matanya fokus ke guru yang sedang menjelaskan tentang persebaran flora dan fauna di Indonesia, namun pikirannya tidak bisa sepenuhnya tenang. Di sebelahnya, Fira, teman sebangkunya, duduk diam dengan wajah tertelungkup di atas meja, seperti tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya.
Nadya merasa risih. Bukan sekali dua kali Fira menunjukkan tingkah laku aneh seperti ini. Sejak kelas 10, Nadya memang sering memperhatikan Fira. Bukan karena mereka dekat, tapi lebih karena perasaan iba. Fira dulu pernah dibully oleh beberapa anak di sekolah, dan sejak saat itu, dia semakin tertutup. Nadya tak bisa menolak saat dipasangkan duduk bersama Fira, meski dalam hati ia lebih memilih duduk sendiri.
‘Kebo banget nih anak,’ batin Nadya, merasa jengah dengan Fira yang masih tertelungkup tak bergerak. Ia pun mencoba menyentuh lengan Fira dengan perlahan, berharap bisa membangunkannya. “Fir, bangun,” bisik Nadya, mencoba halus agar tidak menarik perhatian guru. Namun, tidak ada respon.
Fira tetap saja diam, tak ada gerakan sedikit pun. Nadya mulai merasa gelisah. Ini sudah terlalu lama. ‘Serius kebo banget dia...’ pikir Nadya. Di depan kelas, guru Geografi yang terkenal cukup killer—Pak Ilham—mulai menyadari keanehan. Sebab beliau bukan tipe guru yang membiarkan murid-muridnya tidur atau bermalas-malasan di kelasnya.
“Fira!” panggil Pak Ilham dengan suara tegas, membuat seluruh kelas langsung terdiam. Suasana yang tadinya cukup hening kini berubah tegang. Semua mata tertuju ke arah Fira yang masih tertelungkup.
“Nadya, bangunin temanmu!” perintah Pak Ilham sambil menatap tajam ke arah Nadya. Dengan sedikit gugup, Nadya kembali mengguncang lengan Fira. “Fir, ayo bangun,” katanya dengan lebih keras, tapi tetap saja tak ada reaksi.
Salah satu teman sekelas yang duduk di belakang berbisik pelan, “Eh, jangan-jangan dia pingsan?”
Seketika, suara berbisik mulai terdengar di seluruh kelas.
Mendengar kemungkinan itu, salah satu anggota PMR di kelas, seorang siswi bernama Diah, berdiri dari tempat duduknya dan segera menghampiri Fira. “Biar ku cek,” katanya sambil memegang kedua bahu Fira dengan hati-hati.
Namun, tepat saat Diah menyentuh bahunya, Fira tiba-tiba bangun. Semua yang ada di kelas terkejut. Fira berdiri perlahan tanpa mengeluarkan suara, dan rambut panjangnya yang digerai tampak menutupi sebagian wajahnya. Tanpa bicara, dia mulai melangkah perlahan menuju pintu kelas.
Pak Ilham yang mulai curiga, menghentikan penjelasannya. “Fira, kamu mau ke mana?” tanyanya dengan nada serius. Kelas kembali terdiam, menunggu jawaban.
Fira berhenti di ambang pintu, namun tidak menoleh. Suaranya terdengar pelan dan dingin, “Toilet.”
Tanpa menunggu persetujuan, Fira melanjutkan langkahnya keluar dari kelas.
Begitu pintu kelas tertutup, seluruh kelas serentak menarik napas panjang. “Ya ampun, aneh banget sih dia,” gumam salah satu murid di belakang. “Serem sumpah,” sambung yang lain.
Nadya menatap pintu dengan penuh kebingungan. Ia tidak bisa berhenti memikirkan kejadian aneh yang baru saja terjadi. Dalam hatinya, Nadya mulai mengaitkan perilaku Fira dengan apa yang dilihatnya semalam, tentang ritual aneh yang dilakukan oleh Klub Misteri di hutan belakang sekolah.
Pak Ilham yang kesal karena kelas menjadi berisik lagi, segera memanggil murid lain yang paling berisik untuk menjawab pertanyaan yang sempat terputus. “Kamu, yang di belakang, jawab pertanyaan saya!”
Kelas pun perlahan kembali ke suasana tegang seperti biasa, dan anggota PMR yang tadi membantu Fira kembali ke tempat duduknya. Namun, Nadya masih terjebak dalam pikirannya. Ada yang tidak beres, pikirnya. Semakin lama, semakin kuat perasaannya bahwa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang hanya diketahui oleh Klub Misteri.
...—o0o—...
Waktu istirahat tiba. Rian, Dimas, dan Nadya berjalan santai menuju markas mereka. Jalan setapak yang sedikit sepi dan dihiasi pohon-pohon besar di sampingnya membuat suasana terasa lebih damai, meski pembicaraan mereka kadang bercampur candaan.
“Udah lama gak ngumpul di markas,” Rian berbicara seraya menguap lebar dan menyeka wajahnya.
“Iya, penasaran sih markas udah beres apa belum. Jangan-jangan masih kayak gudang kosong,” sahut Dimas sambil memainkan kunci motornya di tangannya.
Nadya hanya tertawa kecil mendengar candaan Dimas. Mereka bertiga akhirnya sampai di depan pintu markas. Setelah Rian membuka kunci, mereka melangkah masuk, dan...
“Woah, ini gila!” seru Rian, matanya membelalak saat melihat seisi markas yang sudah jauh lebih bagus dari sebelumnya.
Markas itu kini terlihat seperti ruangan nyaman yang penuh dengan perabot. Sebuah sofa baru yang empuk dengan warna abu-abu gelap ada di sudut, meja besar yang cocok untuk rapat diletakkan di tengah, dan ada lemari di sisi lain yang terlihat masih kosong. Bahkan, ada AC terpasang di dinding, membuat ruangan ini benar-benar terasa seperti ruang kerja yang sesungguhnya.
Nadya tersenyum puas melihat ekspresi terkejut kedua temannya. “Kirain aku gak bakalan beneran beli sofa, ya? Tuh, udah ku beliin.”
Dimas yang masih terkejut memandang sofa itu, kemudian menepuk-nepuk tempat duduknya. “Ini serius banget sih. Padahal kita cuman bercanda waktu bilang mau minta sofa.”
Nadya melipat tangannya di dada. “Sofanya buat tamu. Meja besar itu buat kita rapat, lemari yang itu,” ia menunjuk ke arah sebuah lemari kecil di pojokan, “buat nyimpen jurnal. Kalau yang satu lagi itu buat alat-alat teknologi kita.”
Rian tertawa kecil, masih menatap sekeliling, “Ini terlalu serius, Nad. Beneran kayak rumah, malah lebih nyaman dari rumahku sendiri. Tapi makasih sih, kamu memang yang paling bisa diandelin kalo soal ini.”
Nadya mendelik ke arah Rian dan Dimas. “Udah, jangan minta yang aneh-aneh lagi ya, yang kali ini serius.”
Rian mengangkat tangan, menyerah, sementara Dimas hanya terkekeh. “Tenang aja, bos.”
Setelah duduk sebentar, Nadya mulai membuka pembicaraan tentang kejadian pagi ini. “By the way, kalian tau gak soal Fira pagi ini? Tadi di kelas, dia aneh banget.”
Dimas yang masih menyandarkan dirinya di sofa, langsung angkat bicara. “Memang aneh banget. Tadi pagi juga aku ketemu dia di parkiran. Pas diajak ngobrol, jawabannya aneh, gak nyambung sama sekali. Pandangannya kosong banget.”
Rian mengernyitkan dahi. “Hmm... kalau dipikir-pikir, itu cewek memang dari dulu aneh sih. Waktu ada 5 anak yang kesurupan pas kemah kelas 10 itu, katanya dimulai dari Fira, kan?”
“Lho, ku kira itu cuman rahasia kelasku doang,” tanggap Nadya tak percaya si raja pendengar gosip ini justru mengetahuinya.
“Weh, ini Rian Pamungkas, bro!” jawab laki-laki Cindo itu seolah bangga dengan dirinya sendiri.
Sebelum mereka bisa melanjutkan obrolan lebih jauh, pintu markas terbuka lagi. Arga dan Aisyah muncul dengan kantong kresek besar di tangan Aisyah.
“Eh, kalian lama banget,” sambut Nadya, menyambut keduanya yang baru tiba.
Aisyah tertawa kecil sambil mengangkat kantong kreseknya. “Abis praktek kimia. Tuh, udah dibeliin jajanan buat kita.”
Arga menyodorkan tangan untuk menerima kantong kresek itu, lalu meletakkannya di meja rapat. “Lagi pada bahas apaan?” tanyanya.
Dimas langsung cerita soal Fira. “Tadi kita lagi ngomongin Fira. Anak dari Klub Misteri yang dari kelas Nadya. Tadi pagi aku ketemu dia di parkiran, dan Nadya juga ngeliat yang lebih aneh lagi di kelas.”
Nadya mengangguk setuju. “Dia tiba-tiba aja bangun pas tidur di kelas terus jalan keluar dengan... aneh. Aku rasa ada hubungannya sama yang kita liat semalam deh.”
Rian menyahut, “Klub Misteri kerjaannya cuman buat sensasi dan mereka bukan nyelidikin sesuatu yang nyata kayak kita.”
Dimas menimpali, “Iya, mereka kan lebih ke ngebikin cerita seru buat menghibur anggotanya sendiri. Biar ada kerjaan aja, biar klubnya ga dibubarin.”
Aisyah masih belum yakin. “Tapi tetap aja. Mereka itu aneh. Soalnya tadi aku pas lagi praktek kimia gak sengaja ngeliat Dani jalan di lorong gedung lab dan pandangannya bener-bener kosong juga. Dani lho, dia yang kerjaannya ngeremehin klub kita. Jujur aku memang gak begitu percaya sama hal-hal begini, tapi kalau memang benar dan dibiarin aja, yang ada mereka kenapa-kenapa.”
Nadya dan Rian bertukar pandang. “Tapi nggak ada bukti kalo mereka ngelakuin hal itu, Syah. Kita perlu buktinya secara fisik buat kasih ke guru, kalau cuman dari penglihatan kita, gak semudah itu bikin orang lain percaya.” Kata Nadya.
Sedangkan Arga yang baru saja ingin berbicara, pintu markas tiba-tiba terbanting—terbuka dengan suara keras membuat mereka semua menoleh.
BRAK!
Di ambang pintu, Kevin berdiri dengan napas tersengal, wajahnya pucat.
“Kalian! Cepet ikut! Bocah-bocah pada kesurupan!”