Dalam waktu dekat, umat manusia telah mengembangkan teknologi canggih yang memungkinkan mereka melakukan perjalanan antar bintang. Misi perurkan dengan harapan menemukan planet yang layak huni. Namun, saat kru tiba setelah bertahun-tahun dalam cryosleep, mereka menemukan sinyal misterius dari peradaban asing, mengubah misi eksplorasi ini menjadi perjuangan bertahan hidup dan penemuan besar yang bisa mengubah nasib umat manusia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifky Ramadhan Official, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5
Bab 5: Dimensi Asing
Elena membuka matanya perlahan. Cahaya yang menyilaukan dari monolit telah menghilang, digantikan oleh kegelapan yang pekat di sekelilingnya. Jantungnya berdetak kencang, dan sesaat, ia merasa seperti terombang-ambing di tempat yang hampa—tidak ada tanah di bawah kakinya, tidak ada angin, tidak ada suara.
"Apa... apa yang terjadi?" Elena berusaha berbicara, namun suaranya terdengar jauh, seolah-olah hilang di tengah kekosongan.
Kemudian, perlahan-lahan, ia mulai merasakan sesuatu di bawah kakinya. Tanah. Tapi tidak seperti lantai logam piramida yang dingin. Permukaannya kasar, keras, dan terasa sedikit berpasir. Ketika penglihatannya mulai menyesuaikan, Elena melihat sekelilingnya. Mereka tidak lagi berada di dalam ruangan piramida.
Mereka berada di suatu tempat yang baru.
Langit di atas mereka berwarna ungu gelap, dengan bintang-bintang yang menyala terang. Di kejauhan, awan hitam bergerak perlahan di atas cakrawala, sementara permukaan tanah di sekitar mereka tampak tak berujung, penuh dengan formasi batu-batu besar yang menjulang seperti menara. Udara di sekeliling mereka terasa dingin dan segar, jauh berbeda dari suasana dalam piramida sebelumnya.
"Ini... ini tidak mungkin," gumam Mark, yang berdiri tidak jauh dari Elena. Tatapannya terfokus pada cakrawala yang membentang tanpa batas.
"Kita... dipindahkan," kata Samuel, suaranya bergetar, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. "Monolit itu... entah bagaimana, mengangkut kita ke tempat lain. Ini bukan bagian dari piramida."
Anya, yang berdiri di sebelah Samuel, memandang sekitar dengan mata terbelalak. "Di mana kita? Apakah kita masih di planet yang sama?"
Elena mencoba menjawab, tapi tidak ada yang tahu pasti. Monolit itu telah menarik mereka ke dimensi yang berbeda—atau mungkin ke planet lain yang sama sekali tidak mereka kenal. Ia mengedarkan pandangan, mencari tanda-tanda kehidupan atau sesuatu yang bisa memberikan petunjuk, namun yang mereka temukan hanyalah keheningan.
"Kita harus tetap tenang," kata Elena akhirnya, suaranya terdengar lebih tegas dari yang ia rasakan. "Periksa peralatan kalian. Kita perlu tahu apakah sistem komunikasi kita masih berfungsi."
Kru mulai memeriksa perangkat masing-masing. Kara, yang bertugas sebagai ahli komunikasi, mencoba menyalakan terminal komunikasinya. Namun, wajahnya segera berubah serius.
"Kapten, aku tidak bisa mendapatkan sinyal apa pun," lapor Kara. "Tidak ada jaringan yang terhubung. Seperti... kita benar-benar terputus dari semuanya."
"Aku juga tidak dapat membaca posisi kita," tambah Samuel, yang sibuk memeriksa peta bintang digital di alat pemindai. "Sistem navigasi tidak bisa mendeteksi bintang-bintang yang familiar. Ini seperti kita berada di galaksi lain... atau dimensi lain."
Rasa dingin menjalari tubuh Elena. Tidak ada apa pun yang terasa masuk akal, tapi dia tahu mereka tidak bisa membiarkan kepanikan menguasai. "Baik. Jika kita tidak bisa mengandalkan peralatan kita, kita akan menggunakan cara lama. Kita jelajahi area ini, cari tahu di mana kita berada, dan—"
Sebelum Elena selesai bicara, suara gemuruh rendah terdengar dari kejauhan. Kru langsung terdiam, menajamkan telinga mereka. Suara itu semakin mendekat—sebuah getaran yang terasa di tanah di bawah kaki mereka.
"Apa itu?" tanya Anya, wajahnya tegang.
"Kita tidak sendiri," gumam Mark, mengeluarkan senjata ringannya, bersiap menghadapi apa pun yang mendekat.
Mereka semua berbalik, mencari asal suara. Di balik salah satu formasi batuan besar, muncul sosok tinggi dan besar, bergerak dengan langkah berat. Sosok itu tampak seperti makhluk mekanik—setinggi tiga meter, tubuhnya berkilau dengan cahaya biru yang familiar. Strukturnya mirip dengan monolit yang mereka temui di piramida, dengan ukiran-ukiran geometris yang bersinar di sepanjang tubuhnya.
Elena mundur selangkah, matanya membelalak melihat makhluk itu. "Apa... itu?"
"Sebuah penjaga," kata Samuel dengan napas tertahan. "Atau mungkin, salah satu penduduk tempat ini. Entah bagaimana, ini terkait dengan monolit yang kita lihat sebelumnya."
Makhluk itu bergerak mendekat, langkahnya berat, namun tidak menunjukkan tanda-tanda permusuhan. Matanya—jika itu bisa disebut mata—menyala dengan cahaya biru yang sama, memandang langsung ke arah mereka. Suasana tegang di antara kru semakin terasa. Mereka tidak tahu apakah harus melarikan diri, atau tetap di tempat.
"Kita tidak punya pilihan," kata Elena akhirnya. "Kita harus berinteraksi dengannya. Mungkin ini kunci untuk memahami apa yang terjadi."
Sebelum Elena bisa mengambil tindakan lebih lanjut, makhluk itu tiba-tiba berhenti. Dari tubuh mekanisnya, terdengar suara rendah, seperti dengungan mesin kuno yang beresonansi di udara. Lalu, makhluk itu mulai berbicara—bukan dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh telinga manusia, tetapi dalam frekuensi yang terdengar asing dan jauh.
Samuel segera mengaktifkan alat terjemahannya, berharap bisa menangkap makna dari suara itu. "Ini... sebuah pesan. Seperti... peringatan."
"Peringatan tentang apa?" tanya Mark, bersiap mengangkat senjatanya.
Samuel mendengarkan lebih dalam, matanya terbelalak ketika ia akhirnya memahami sebagian pesan itu. "Kita tidak boleh berada di sini. Tempat ini... bukan untuk kita."
"Tapi kita sudah di sini," kata Kara, matanya tak lepas dari makhluk besar itu. "Apa maksudnya?"
"Sinyal yang kita deteksi," Samuel mulai menjelaskan, suaranya terbata-bata, "itu adalah sinyal yang seharusnya tidak pernah kita temukan. Itu dibuat sebagai jebakan, atau sebagai... penanda batas. Monolit itu membawa kita ke dimensi ini, dan sekarang kita ada di luar batas yang seharusnya tidak kita langgar."
Elena merasa darahnya membeku. "Lalu apa yang terjadi sekarang?"
Makhluk itu kembali mengeluarkan suara, lebih keras dari sebelumnya. Ukiran di tubuhnya mulai bersinar lebih terang, dan tiba-tiba, sebuah portal terbuka di hadapan mereka—sebuah celah di ruang yang menganga, memancarkan cahaya biru terang.
"Sepertinya itu jalan keluar," kata Samuel cepat. "Mereka memberi kita kesempatan untuk kembali."
"Kita harus pergi," kata Mark dengan tegas. "Sekarang."
Elena memandang portal itu dengan ragu. Apakah ini benar-benar jalan keluar? Ataukah ini hanya jebakan lain? Namun, mereka tidak punya pilihan lain. Waktu mereka di tempat asing ini semakin terbatas, dan mereka perlu mengambil keputusan cepat.
"Baik," kata Elena akhirnya. "Kita masuk ke portal itu. Bersiaplah untuk apa pun yang ada di sisi lain."
Satu per satu, mereka melangkah mendekati portal, berusaha untuk tetap tenang meskipun jantung mereka berdegup kencang. Makhluk mekanik itu tetap berdiri di tempatnya, tidak bergerak, hanya mengamati dengan matanya yang bercahaya. Suara gemuruh dari portal semakin keras ketika mereka mendekat, dan Elena bisa merasakan udara di sekitarnya bergetar.
Dengan satu tarikan napas dalam, Elena melangkah ke dalam cahaya biru itu—dan dunia di sekitarnya kembali berubah dalam