Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Kedatangan Bu Nyai
Hanung menjalani rutinitasnya seperti biasa. Sampai beberapa hari kemudian, Ayra menghubunginya.
"Maaf ya, Nung. Lamaran kamu tidak diterima karena ternyata, manajer kemarin membawa pulang karyawan yang mengisi bagian fotokopi." kata Ayra, teman Hanung yang bekerja di percetakan.
"Tidak apa-apa, Ayra. Belum rejeki kerja di percetakan."
"Terus berkas kamu ini bagaimana?"
"Tolong simpankan dulu ya, nanti aku ambil."
"Oke. Atau kamu mau aku kirimkan berkas ini ke koperasi? Kebetulan ada lowongan di koperasi Bina Sejahtera."
"Tidak, Ayra. Terima kasih. Lain kali saja kalau ada pekerjaan yang cocok."
"Oke."
Pekerjaan di koperasi yang berhubungan dengan riba, tentu akan ditentang oleh Ibu Jam. Walaupun koperasi itu berbasis syariah, image riba tetap melekat pada yang namanya koperasi.
Hanung pun melanjutkan kegiatannya menyiram bunga. Satu hobi barunya sejak menganggur dirumah, menanam berbagai macam bunga yang ia dapat dari anak-anak yang sengaja mencarikan bibit untuknya.
"Mbak Hanung!" seru Didik dari jalanan di depan rumah Hanung.
"Hati-hati, jangan lari!"
"Hehehe.. Ini Didik bawakan bibit bunga matahari."
"Dapat darimana?" tanya Hanung yang menerima satu bonggol bunga matahari dari Didik.
"Dari rumah Pakdhe Karso."
"Kamu tidak mencurinya kan?"
"Tidak, Mbak! Kebetulan Pakdhe Karso sedang membersihkan kebunnya, jadi aku minta bibitnya."
"Pintar!" Hanung mengusap kepala Didik.
Didik pun tertawa. Kemudian pamit pulang karena masih harus menggembala kambing. Hanung melambaikan tangannya dan mulai merontokkan biji bunga matahari. Untuk memilah bibit, Hanung menggunakan metode rendam air. Bibit yang mengambang ia buang dan bibit yang tenggelam ia semai di pot dengan perbandingan tanah, pupuk dan sekam padi, 1:1:1.
Hanung yang asyik dengan kegiatan menanamnya sampai tidak sadar, ada mobil yang berhenti didepan halamannya. Tanah rumah Hanung lebih tinggi dibandingkan jalan desa. Mobil dan motor yang akan masuk ke halamannya harus melewati jalan disebelah kanan rumah yang tidak terlihat dari arah depan.
"Assalamu'alaikum Hanung.." sapa seorang perempuan paruh baya.
"Wa'alaikumussalam.." Hanung terkejut kala melihat siapa yang menyapanya.
"Umi.." Seru Hanung yang segera membersihkan tangannya dan mengeringkan nya sembarangan dengan gamisnya.
Hanung mencium punggung tangan Bu Nyai dan mempersilahkan beliau masuk ke rumah. Ia juga mengetuk pintu kamar Ibu Jam, mengabarkan kedatangan Bu Nyai Khairunissa.
"MasyaAllah, Bu Nyai. Kenapa tidak kasih kabar kalau mau mampir." kata Ibu Jam sambil mencium punggung tangan Bu Nyai.
"Sengaja Jam, soalnya curi-curi waktu Abah."
"Apa Bu Nyai kesini sendiri?" Bu Nyai hanya tersenyum.
"Silahkan diminum Umi." Hanung menyuguhkan teh hangat dan keripik pisang buatan Ibu Jam.
"Diminum, Bu Nyai."
"Terimakasih."
Setelah menyeruput teh yang disuguhkan Hanung. Bu Nyai mulai menanyakan kegiatan Hanung selama di rumah. Ibu Jam pun menjawab apa adanya kegiatan anak tirinya, sedangkan Hanung duduk menunggu di dapur bersama Iwan yang asyik memainkan game botnya.
"Apa sudah ada yang datang mengkhitbah, Hanung?" tanya Bu Nyai tiba-tiba.
"Maaf, Bu Nyai. Belum. Sempat ada kemarin, tetapi batal." jawab Ibu Jam jujur.
"Kenapa?"
"Hanung belum siap."
"Apa hanya karena belum siap?" tanya Bu Nyai menelisik.
"Orang tua pihak laki-laki tidak setuju karena Ayah Hanung sudah meninggal." Bu Nyai menganggukkan kepalanya.
"Jam, kamu sudah ikut saya lama. Saya memberanikan diri kemari karena melihat kamu berhasil mendidik anak tiri kamu menjadi muslimah yang baik. Maksud kedatangan saya kesini sebenarnya untuk mengkhitbah Hanung untuk Adib, Jam." Ibu Jam membeku mendengar perkataan Bu Nyai.
"Maaf, Bu Nyai. Bukan saya menolak niat baik njenengan, tetapi semua keputusan ada ditangan Hanung. Saya tidak ada hak untuk menentukan."
"Menurut kamu, apakah Hanung akan Terima?"
"Anak itu memiliki pemikirannya sendiri, saya tidak tahu apakah akan menerima atau menolak. Ngapunten."
"Tidak apa-apa, Jam. Aku juga tidak memaksa, kamu tahu sendiri Adib seperti apa."
"Gus Zam anak yang baik, Bu Nyai." Bu Nyai tersenyum.
Ibu Jam pamit kebelakang memanggil Hanung untuk ke depan menemui Bu Nyai. Hanung menurut saja, mengikuti Ibu Jam dibelakang.
"Duduk sini, Nung." Bu Nyai meminta Hanung duduk disebelahnya.
Hanung menatap Ibu Jam yang memberikan anggukan. Dengan sungkan Hanung duduk disebelah Bu Nyai. Bu Nyai memegang tangan Hanung dengan lembut.
"Hanung, saya kesini dengan niatan mau mengkhitbah kamu untuk anak Umi. Namanya Adib Zamroni, umurnya sekarang 24 tahun, anaknya pemalu dan tidak suka keramaian. Apa kamu bersedia?" Mata Hanung membulat tak percaya.
Seorang Bu Nyai sedang mengkhitbah nya saat ini. Sontak saja otak Hanung kosong, ia tak tahu harus bagaimana menanggapinya. Cukup lama Hanung diam mencerna informasi, sampai Bu Nyai memanggil namanya.
"Maaf, Umi. Hanung minta waktu untuk memikirkannya."
"Iya. Umi akan datang kemari secara resmi minggu depan untuk menagih jawaban kamu." goda Bu Nyai sambil mengusap lembut pipi Hanung.
Hanung tersenyum mengangguk. Yang penting ia meminta waktu dulu, urusan jawaban bisa ia pikirkan nanti.
Bu Nyai pun mulai membahas hal lain seperti berterimakasih atas kiriman bahan kemarin. Dari sana beliau tahu kalau bahan makanan tersebut bayaran untuk Hanung dari warga desa. Mendengar hal tersebut membuat Bu Nyai semakin mantap menentukan Hanung sebagai menantunya.
Ibu Jam yang melihat kedekatan Bu Nyai dan Hanung pun hanya bisa tersenyum. Bu Nyai yang ia layani selama ini termasuk orang yang pilih-pilih. Dalam artian, beliau tidak sembarangan dekat dengan seseorang kecuali beliau benar-benar cocok dengan sifat mereka. Bahkan para abdi dalem lebih segan dengan Bu Nyai, dibandingkan dekat. Hanya Umi Siti, Ibu Jam dan Umi Halimah yang dekat dengan Bu Nyai.
"Kalau begitu saya pamit, Jam. Jangan lupa minggu depan saya kemari lagi dengan suami saya."
"Baik, Bu Nyai." Ibu Jam pun mengantarkan Bu Nyai menuju mobil yang diparkir didepan rumah, diikuti Hanung.
"Hati-hati, Umi." kata Hanung sambil menyalami Bu Nyai.
"Istikharah, Nak. Minta jawaban pada Gusti, semoga keputusan yang diberikan baik untuk semuanya."
"Aamiin.." jawab Hanung dan Ibu Jam.
Setelah kepergian Bu Nyai, Ibu Jam duduk di teras memperhatikan Hanung yang kembali sibuk dengan tanamannya. Beliau mengenal Gus Zam dari kecil, tetapi beliau tidak bisa mengungkapkannya kepada Hanung. Entah bagaiamana Allah menentukan jalan Hanung, beliau hanya berharap semuanya membawa kebaikan.
Ibu Jam masuk kedalam rumah kala terdengar tangisan Nada. Hanung pun telah selesai menata pot dan menyiram semua tanaman. Setelah tangannya berhenti bergerak, kini pikirannya terpaku pada khitbah Bu Nyai. Ia yang belum ingin menikah bisa saja menolak, tetapi ia sungkan karena status Bu Nyai. Satu-satunya cara adalah meminta petunjuk kepada Allah.
"Berikanlah hamba pilihan yang terbaik, ya Allah.." doa Hanung dalam hati.
lagi...
lagi..../Smile/
tebawa suasana
JD + semngat nunggu bsb yg lain ny