Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 6 : perihnya penyesalan
Berikut adalah versi yang diperbaiki dari tulisan Anda:
---
Malam itu terasa sangat melelahkan bagi Tiara. Dengan kondisi tubuh yang lemas, ia berjalan pulang meninggalkan klub tempatnya bekerja, tanpa menyadari ada bayangan gelap yang mengikutinya dari belakang.
Baru beberapa langkah, sebuah mobil hitam berhenti tepat di sampingnya. Tiara pun terkejut. Perlahan, jendela kaca mobilnya turun, dan muncul wajah yang tak asing lagi baginya: Fajar, tamu VIP yang baru saja ia layani. "Mau pulang, Ra? Ayo, aku antar pulang," tawarnya dengan senyum tipis yang membuat perut Tiara mual.
Meski ragu, Tiara mengangguk. “Baiklah,” jawabnya lirih, berharap bisa segera pulang. Namun, bukannya menuju rumahnya, mobil itu justru berbelok ke arah yang berbeda. Perasaan cemas mulai merayapi dirinya.
Mobil berhenti di depan sebuah gedung apartemen mewah. "Bentar ya, Ra, aku mau ngambil barang yang ketinggalan. Hhhmmm, ikut dulu yuk, nggak enak kan kalau kamu di sini sendirian? Takut ada apa-apa," pinta Fajar dengan nada yang tak bisa ditolak. Tiara, yang mulai merasa ada yang tidak beres, mencoba menolak halus, tetapi Fajar menarik tangannya dengan lembut namun pasti.
Sesampainya di dalam apartemen, Fajar langsung menuju pantry, mengambil sebotol minuman, lalu membukanya dan menawarkannya pada Tiara. "Om belum puas, Ra. Temani om lagi ya," ucap Fajar dengan tatapan tajam. Tiara berusaha menolak dengan halus, tetapi Fajar terus memaksa, menyodorkan gelas berkali-kali. Satu tegukan demi satu, hingga akhirnya Tiara mulai kehilangan kesadarannya.
Dalam keadaan setengah sadar, Tiara merasa tubuhnya diangkat dan dibaringkan di atas ranjang empuk. Matanya kabur, tetapi kesadarannya cukup untuk merasakan sentuhan Fajar yang mulai menjalar di tubuhnya. "Ja... Jangan, Om..." bisik Tiara, tetapi suaranya lemah, nyaris tak terdengar. Tangannya gemetar saat ia mencoba menolak, tetapi Fajar tak peduli. Di tengah mabuknya, Tiara hanya bisa merasakan perih di tubuhnya, sambil meneteskan air mata yang tak dapat ia bendung.
Fajar terus memperlakukannya dengan cara yang penuh nafsu, seakan-akan Tiara adalah istrinya sendiri. Tiara hanya bisa menangis dalam diam, menahan perih yang tak hanya fisik, tetapi juga batinnya yang teriris.
Beberapa jam berlalu sebelum akhirnya Fajar tertidur lelap. Dengan seluruh sisa kekuatannya, Tiara bangkit perlahan dari ranjang, menahan sakit di antara pahanya. Ia mengenakan kembali pakaiannya dengan tangan gemetar, lalu melangkah keluar dari apartemen itu dengan perasaan yang amburadul.
Di basement apartemen, tubuh Tiara akhirnya menyerah. Ia duduk di lantai, bersandar pada dinding dingin, mencoba mengumpulkan kekuatan. Tangis yang selama ini tertahan akhirnya pecah. Rasa bersalah dan penyesalan menghantamnya dengan keras, menyadari apa yang baru saja terjadi.
Seorang petugas keamanan yang baik hati melihatnya, dan tanpa banyak bertanya, menawarkan tumpangan kembali ke tempat kerja. Tiara hanya bisa mengangguk, terlalu lelah untuk berbicara. Dalam perjalanan kembali, ia memandang ke luar jendela, berpikir bagaimana bisa hidupnya jatuh sedalam ini.
Malam itu, di sudut kamar mandi tempat ia bekerja, Tiara memandangi dirinya di cermin, merasakan betapa ia telah kehilangan dirinya yang dulu. Hati dan tubuhnya terasa hancur, dan ia tahu bahwa tak ada yang akan sama lagi setelah malam itu.
Di sudut kamar mandi, Tiara meringkuk. Air mengalir membasahi rambut dan wajahnya. Tangannya memeluk lutut erat, berusaha menahan segala perasaan yang bergemuruh di dalam hatinya. Sakit yang ia rasakan di tubuhnya tak seberapa dibandingkan dengan perih yang mendera batinnya. Air mata bercampur dengan air dari pancuran, membuat isakannya semakin teredam oleh suara gemericik.
Kekecewaannya membuat ia tak sadar ada Putri berdiri di belakangnya dengan mata berkaca-kaca, seakan menahan tangis. Saat menengok ke belakang, terlihat jelas Putri berdiri di hadapannya. Mungkin Putri merasa hidup Tiara seakan hancur; ia tak pernah menyangka bahwa Tiara yang selalu ceria bisa sekacau ini.
"Teh Ira..." Putri memanggil lembut, berjongkok di sebelahnya, menyentuh bahu Tiara yang gemetar. "Teteh kenapa? Apa yang terjadi? Bukannya tadi teteh pamit pulang duluan, kok malah di sini? Kenapa? Ada masalah?"
Tiara tak menjawab, hanya terisak pelan, tubuhnya tetap meringkuk seakan takut pada dunia di luar sana. Putri tahu ada sesuatu yang sangat salah. Dengan hati-hati, ia meraih tangan Tiara dan membantu mengangkat tubuhnya yang lunglai. Mereka berdua berjalan pelan menuju ruang ganti, tempat yang lebih tenang dan jauh dari keramaian.
Sesampainya di ruang ganti, Putri mendudukkan Tiara di bangku kayu. Matanya memandang seniornya yang tampak begitu hancur. Wajah Tiara terlihat lelah, dengan jejak air mata yang belum kering.
“Teteh kenapa? Cerita sama aku…” Putri mencoba meraih pandangan Tiara, tetapi gadis itu malah memalingkan wajahnya, seolah tak sanggup bertemu dengan tatapan siapa pun.
Putri tercengang. Napasnya tercekat mendengar ucapan Tiara. "Hah? Om Fajar? Tamu yang tadi ke sini? Emangnya Om Fajar ngapain?"
Tiara menunduk, tubuhnya bergetar semakin hebat. "Dia... dia memaksa aku. Aku sudah coba buat melawan, Put, tapi... tapi aku nggak kuat... keperawananku yang ku jaga baik-baik hilang... Fajar brengsek..." Tangis Tiara pecah seketika, tubuhnya meluruh, seakan seluruh dunia runtuh di hadapannya.
Putri memeluk Tiara erat, mencoba menenangkan gadis yang sedang dilanda gelombang penyesalan yang begitu dalam. "Teh, sudah yah, jangan nangis lagi. Teteh nggak sendiri. Teteh masih berharga. Semua ini bukan salah teteh, ko. Sudah ya, teh!" ucap Putri dengan lembut, namun penuh emosi menahan tangis.
Air mata Tiara tak berhenti mengalir. "Aku nggak sanggup, Put. Aku takut, aku sudah mengecewakan orangtuaku, Put. Hidupku sudah hancur! Aaargh, aku ingin mati saja!" Suara Tiara berubah menjadi jeritan yang memilukan, dan sebelum Putri sempat menahannya, Tiara mencoba berdiri, bergerak ke arah jendela yang terbuka.
"Jangan, Teh! Teteh!!!!" Putri berteriak, segera menarik lengan Tiara sebelum ia sempat melakukan tindakan yang tak terbayangkan. "Jangan, Teh! Jangan lakukan itu. Teteh tenang ya, Putri nggak mau teteh makin nyesel. Kasihan ibu, Teh. Sudah ya, Teh. Putri mohon!"
Tiara terus meronta dalam tangisan. "Untuk apa? Aku sudah nggak punya apa-apa lagi! Aku sudah kehilangan segalanya! Nggak ada yang peduli sama aku, Put!!!"
Putri menangis, tetapi ia tetap memegang Tiara erat, menolak untuk melepaskan sahabatnya. "Dengerin aku, Teh, please! Teteh nggak sendirian. Masih ada aku, Teh. Aku nggak bakal biarin teteh terus-terusan kayak gini. Putri tahu ini berat, tapi kita mesti lalui semua ini."
Tiara terisak di pelukan Putri, suaranya mulai melemah, kelelahan dan rasa sakit menguasai tubuhnya. "Aku takut, Put... takut..."
Putri mengusap rambut Tiara, mencoba memberikan kenyamanan di tengah badai emosi yang melanda. "Iya, Teh, Putri tahu. Tapi Putri percaya Teteh itu kuat. Teteh sudah lewatin begitu banyak hal. Teteh harus kuat. Teteh berhak dapat masa depan yang lebih baik."
Pelukan Putri semakin erat, ia seakan mencoba memberi kekuatan kepada Tiara. Mereka berdua terdiam dalam kesedihan dan air mata, di tengah ruangan yang dingin dan sunyi. Untuk sesaat, waktu terasa berhenti, seakan memberi ruang bagi Tiara untuk menuntaskan kesedihannya sambil mengumpulkan kekuatan baru.