Seperti artinya, Nur adalah cahaya. Dia adalah pelita untuk keluarganya. Pelita untuk suami dan anaknya.
Seharusnya ...
Namun, Nur di anggap terlalu menyilaukan hingga membuat mereka buta dan tak melihat kebaikannya.
Nur tetaplah Nur, di mana pun dia berada dia akan selalu bersinar, meski di buang oleh orang-orang yang telah di sinarinya.
Ikuti kisah Nur, wanita paruh baya yang di sia-siakan oleh suami dan anak-anaknya.
Di selingkuhi suami dan sahabatnya sudahlah berat, di tambah anak-anaknya yang justru membela mereka, membuat cahaya Nur hampir meredup.
Tapi kemudian dia sadar, akan arti namanya dan perlahan mulai bangkit dan mengembalikan sinarnya.
Apa yang akan Nur lakukan hingga membuat orang-orang yang dulu menyia-nyiakannya akhirnya menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Wajah cantik itu berubah muram saat melihat kertas laporan yang berada didepannya.
Sisil menarik napas panjang, tiga hari berlalu salonnya mengalami penurunan yang sangat drastis.
Dia tak mau pikirannya mengenai kejadian tempo lalu akibat Bisma-lah yang membuat keadaan Salonnya sepi.
Namun, tak urung pikiran itu terpatri dalam benaknya.
Apa pelanggan Eksklusifnya mulai menjauhinya? Atau jangan-jangan ada rumor di belakannya yang tak dirinya ketahui.
Berbagai pikiran buruk berkecamuk membuatnya kesal karena pikirannya sendiri.
"Ini ngga bisa di biarin, aku harus coba hubungi mereka lagi, aku yakin mereka pasti akan mau mengerti dengan penjelasanku."
"Bu—" panggil Mira, asisten kepercayaannya itu panik.
"Ada apa Ra?"
"I-ini bu, Ibu Tiara dan teman-temannya, mendadak mengajukan pengembalian dana di kartu mereka Bu," ucap Mira takut-takut.
"APA?! Kenapa? Mereka ngomong apa Mir?" pekik Sisil terkejut bukan main.
Apa yang dia takutkan akhirnya terjadi, meski selalu membohongi perasaannya sendiri kalau semua pasti baik-baik saja, nyatanya keadan salonnya semakin memburuk.
Salah satu pelanggan eksklusifnya yang mencecarnya tempo hari benar-benar menunjukkan taringnya.
"Kamu udah jelasin, kalau uang yang sudah masuk deposit enggak bisa di bayarkan kan Mir?"
"Tapi bu," lirih Mira bimbang.
"Apa? Katakan!" bentak Sisil kesal.
"Untuk kartu Vip kan berbeda bu, ada keterangan kalau dana mereka bisa di tarik kapan pun," jelas Mira takut-takut.
Gimana tidak takut, gadis itu memikirkan nasib pekerjaannya.
Dirinya sudah berusaha tutup mata akan semua kelakuan Sisil yang selalu berselingkuh dengan Pamungkas di belakang sahabatnya.
Mira mengenal baik Nur sebab dirinya di rekomendasikan oleh wanita itu untuk bekerja di sana.
Sejujurnya selalu ada rasa bersalah saat Mira menatap mata teduh Nur jika wanita itu berkunjung kesana.
Ingin sekali dirinya memberitahu Nur yang sebenarnya, tapi hatinya selalu ciut kala melihat mata ibu dan adik-adiknya.
Sebagi tulang punggung, mencari pekerjaan sangatlah susah. Dirinya beruntung bisa menamatkan pendidikan kuliahnya.
Namun dunia kerja tak semudah bayangannya. Jika berpikir memiliki ijazah dengan gelar dibelakang namamu akan memudahkannya mendapat pekerjaan, itu pemikiran yang dangkal, nyatanya dia harus pontang-panting mencari pekerjaan bahkan menyembunyikan gelarnya hanya agar bisa menjadi pekerja buruh pabrik pun dia jabarkan.
Beruntung dirinya bertemu dengan Nur dan wanita itulah yang sudah membantunya mendapatkan pekerjaan yang layak, meski semua harus di bayar dengan rasa bersalahnya.
Kini Mira pasrah, andaikan dirinya di berhentikan oleh Sisil dia akan menganggap semua ini setimpal dengan apa yang sudah dia lakukan pada Nur.
Sisil jatuh terduduk, dirinya lupa telah merubah aturan itu hanya karena Tiara berjanji akan mengajak teman-temannya untuk berlangganan di salonnya.
Wanita itu memang menepati janjinya membawa banyak temannya untuk menjadi pelanggan eksklusifnya. Namun dia juga yang telah menghancurkan salon miliknya dengan menarik semua orang untuk pergi.
Ini tidak bisa di biarkan, Sisil tak terima di jatuhkan begitu saja oleh Tiara dan kawan-kawannya.
Namun dia tak tahu harus berbuat apa. Oleh sebab itu untuk sementara dirinya akan kembali pada Pamungkas.
Hanya lelaki yang cinta mati padanya itu yang bisa dia andalkan untuk mencukupi gaya hidupnya.
Bahkan karena kesal, dirinya memilih menyingkirkan Bisma.
Lagi pula semaki sedikit beban Pamungkas, bukankah baik untuknya? Jatahnya akan bertambah karena dirinya akan membuat Pamungkas melepaskan tanggung jawabnya kepada Bisma.
Dirinya hanya memerlukan Amanda, karena untuk anak lelaki diirnya sudah memiliki Ridho, jadi buat apa Bisma, pikirnya.
.
.
Wati terheran kala ada seorang petugas berpakaian cokelat mendatangi kediaman putranya.
"Iya mas ada apa ya?"
"Ini kediaman ibu Zahra? Saudarinya ibu Nur Bahira?" tanya lelaki itu sopan.
"Benar, ada apa ya mas?" tanya Wati cemas.
Dalam benak wanita itu dia berpikir jika Nur mungkin membuat ulah dan meminta menantunya untuk membantu masalahnya.
Dia tak akan membiarkan hal itu. Bagaimana pun Wati tidak ikhlas uang hasil kerja Zahra dinikmati oleh Nur, meski wnaita itu kakak kandung menantunya.
"Ini ada surat panggilan sidang untuk ibu Nur," jelas sang lelaki.
Wati menerima map cokelat berlogo pengadilan agama itu dengan saksama. Hatinya sedikit lega kala mengetahui jika itu hanya surat panggilan sidang perceraian Nur.
"Maaf ini dengan ibu siapa?"
"Saya Wati, ibu mertuanya Zahra," jawab Wati yang mulai ramah.
"Boleh saya ketemu ibu Zahra Bu?"
"Menantu saya belum pulang, di titipkan ke saya aja, nanti saya sampaikan ke Nur."
"Baiklah, tolong tanda tangan disini ya Bu," pinta petugas itu sambil menyodorkan secarik kertas.
Wati menandatangi tanpa bertanya lagi.
Setelah Zahra pulang, Wati bergegas memberikan surat panggilan sidang milik Nur ke menantunya.
"Ini surat sidang mbakmu Ra.Kenapa harus ke alamat ini sih kirimnya," gerutu Wati.
"Mbak Nur sudah minta izin Bu, lagian cuma alamat tujuan aja," jawab Zahra malas berdebat.
"Menyusahkan, kamu kan harus kerja. Jangan bilang kamu mau bolos kerja cuma buat antar ini ke rumah adik kamu itu!"
"Ya udah malam ini Zahra ke sana aja Bu, jadi Zahra ngga perlu bolos kerja."
"Lah sama aja dong, enak di dia. Minta dia kesini, dia yang punya urusan kok kita yang repot!"
"Cuma Zahra bu, bukan ibu atau mas Farid," jawab Zahra yang mulai kesal.
"Ra, mas ngga izinkan kamu pergi malam-malam begini, lagian rumah Sulton kan jauh, minta Sulton ambil surat ini, mas ngga mau kamu buang-buang tenaga buat yang bukan urusanmu."
"Mas—" keluh Zahra putus asa.
"Ingat Ra, jangan membantah kamu sama suami. Turuti ucapan Mas, lagi pula kamu tinggal kabarin kakakmu, ngga perlu juga kali surat itu harus di antarkan!"
Zahra tercekat, bahkan hanya untuk bertemu dengan Nur pun rasanya sangat sulit. Padahal Zahra sangat merindukan kakaknya itu.
Entah kenapa perasaannya mendadak cemas, ia tak yakin jika Nur baik-baik saja di kediaman adiknya.
Malam itu saat mereka tengah menikmati makan malam, pintu rumah Zahra di ketuk.
Zahra segera bangkit untuk menyambut orang yang bertamu ke rumahnya.
Betapa terkejutnya Zahra kala melihat tamunya adalah mantan kakak iparnya dengan selingkuhannya.
"Hai Ra, apa kabar?" tanya Sisil ramah masih dengan bergelayut di lengan Pamungkas.
Melihat tatapan Zahra yang tajam terhadap mereka, Pamungkas bergegas berdehem guna mengalihkan ketegangan itu.
"Boleh kami masuk Ra?" ucap Pamungkas.
"Mau apa kalian ke sini?" tanya Zahra dingin.
Tak lama Farid mendatangi sang istri karena penasaran juga.
"Siapa Ra?" tanya Farid sambil melongok kearah depan pintu.
"Mas Pamungkas? Mari masuk!" ajak Farid antusias.
"Mas!" tegur Zahra tak terima.
"Kamu ini Ra ada tamu bukannya disuruh masuk malah dibiarkan aja di depan."
Zahra benar-benar tak mengerti dengan sikap suaminya. Mengapa dengan Pamungkas justru Farid bersikap baik, sedangkan dengan kakaknya— Nur justru kebalikannya.
Pamungkas dan Sisil melenggang masuk, saat melewati Zahra, Sisil tersenyum miring seolah mengejek wanita itu.
.
.
.
Lanjut