Setelah Danton Aldian patah hati karena cinta masa kecilnya yang tidak tergapai, dia berusaha membuka hati kepada gadis yang akan dijodohkan dengannya.
Halika gadis yang patah hati karena dengan tiba-tiba diputuskan kekasihnya yang sudah membina hubungan selama dua tahun. Harus mau ketika kedua orang tuanya tiba-tiba menjodohkannya dengan seorang pria abdi negara yang justru sama sekali bukan tipenya.
"Aku tidak mau dijodohkan dengan lelaki abdi negara. Aku lebih baik menikah dengan seorang pengusaha yang penghasilannya besar."
Halika menolak keras perjodohan itu, karena ia pada dasarnya tidak menyukai abdi negara, terlebih orang itu tetangga di komplek perumahan dia tinggal.
Apakah Danton Aldian bisa meluluhkan hati Halika, atau justru sebaliknya dan menyerah? Temukan jawabannya hanya di "Pelabuhan Cinta (Paksa) Sang Letnan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 Akal-akalan Haliza
Setelah penolakan Aldian tempo hari, Haliza benar-benar jadi orang rumahan. Terlebih kini di dalam rumah, jika Aldian pergi ke kantor, Haliza tidak sendiri lagi. Aldian memperkerjakan salah seorang asisten rumah tangga. Sebenarnya ART itu bukan orang baru. Dia merupakan orang yang sesekali diperbantukan di rumah Aldian jika di dalam rumah sudah terlihat kotor.
Bi Kenoh nama ART itu, dia bekerja cukup sampai jam tujuh malam. Namun, jika mau menginap pun tidak masalah, Aldian justru senang sebab di rumah akan terasa lebih ramai. Tapi berhubung rumah Bi Kenoh tidak terlalu jauh dari kediaman Aldian, Bi Kenoh memutuskan pulang pergi saja setiap hari.
Haliza memilih bermalas-malasan. Pekerjaannya hanya duduk sambil ngemil, bahkan rebahan sembari memainkan Hp dan membaca novel online kesayangannya. Sebetulnya Haliza kesal juga dengan sikap Aldian yang egois. Aldian seolah mengurungnya di dalam rumah tanpa boleh berinteraksi dengan dunia luar.
"Siapa bilang aku melarang kamu berinteraksi di luar lingkungan rumah? Kamu boleh keluar rumah menyapa tetangga, tapi tidak untuk merumpi atau gosip. Kamu bisa juga menyapa tukang bakso atau tukang apa saja jika kamu sesekali pengen beli jajanan." Aldian menegaskan, itu artinya dia tidak memberi kekangan terhadap Haliza.
Haliza tidak bisa berkutik dengan sangkalan Aldian. Toh dia sebenarnya tidak benar-benar dilarang bekerja, hanya saja Aldian tidak mengijinkan dirinya bekerja di luar atau pergi kerja kantoran.
"Sayang banget ilmuku ini jika dianggurin begini. Lagipula usiamu masih produktif dan tenagaku kuat untuk bekerja. Apa salahnya aku kamu ijinkan kerja, Mas. Kalau di rumah terus, aku akan sangat bosan," protes Haliza lagi.
Aldian kembali meradang dengan sikap Haliza yang kembali protes dan menuntut bekerja.
"Sudah aku katakan aku tidak mengijinkan kamu bekerja di kantoran atau di luar. Kamu paham tidak, sih, dengan apa yang aku ucapkan? Kalau kamu tetap membantah, terserah kamu. Sudah aku katakan, silahkan kamu bekerja di kantor orang, tapi ingat mulai saat itulah kamu sudah bukan penghuni rumah ini lagi," tegas Aldian lagi. Kali ini dia mengatakan itu dengan sungguh-sungguh.
Halwa terhenyak dan kembali merenung sedih mendengar penolakan Aldian yang kedua kalinya. Meskipun pernikahan ini atas dasar perjodohan, dan Haliza belum bisa membuka hati bagi Aldian, tapi jika Haliza harus menjadi janda dalam waktu singkat, ia sungguh tidak siap dan tidak rela.
Haliza pun pergi dan berlalu meninggalkan Aldian, dengan wajah yang kecewa.
"Sudah aku katakan, kamu bisa bekerja lewat Hp atau laptop, buat apa kamu buang-buang tenaga di kantor orang yang tentu saja berseliweran teman laki-laki. Asal kamu tahu, aku kurang suka jika membiarkan kamu lebih banyak interaksi dengan teman laki-laki di luar. Alasan ini aku buat bukan karena aku cemburu atau apa, tapi sebagai suami aku risih jika melihat istri banyak bergaul dengan teman laki-lakinya," tegas Aldian lagi keras.
Haliza tidak bisa berkata-kata lagi, dia bergegas meninggalkan Aldian yang meradang. Haliza pergi menyendiri menuju balkon ruang tamu yang jarang Aldian tempati, dia menumpahkan kekecewaannya di sana dengan menangis.
"Kenapa mama dan papa justru menjodohkan aku dengan laki-laki egois dan psikopat? Mereka hanya menilai dari luarnya saja, tanpa mengenal kalau dalamnya seperti apa," batin Haliza menyesal.
***
Sudah sebulan berlalu, pernikahan Aldian dan Haliza masih hambar. Antara mereka belum terjalin komunikasi dua arah yang baik. Keduanya masih memperlihatkan egonya masing-masing. Namun, sejak Aldian teguh melarang Haliza untuk bekerja di luar untuk yang kedua kalinya, baik Haliza maupun Aldian, kini jarang terlibat obrolan yang awal-awal sering menegangkan.
Haliza mengalah dan lebih banyak diam. Waktunya kini dia habiskan dengan duduk diam atau rebahan sembari mempermainkan Hp. Kadang Haliza berselancar dengan media sosialnya. Bertegur sapa dengan teman-temannya.
Berbeda dengan Aldian, dia lebih suka melihat Haliza berdiam diri di rumah, atau duduk santai dan rebahan main Hp atau nonton drama Korea kesukaannya daripada membiarkan Haliza bekerja di luar. Tanpa Haliza harus bekerja, Aldian sama sekali tidak keberatan asal Haliza patuh atas perintahnya.
Sunggingan senyum itu terbit di bibir Aldian, dia masih merayakan kegembiraannya karena Haliza akhirnya menerima keputusannya.
Aldian menghampiri Haliza bermaksud pamit untuk bekerja. Namun, keberadaan pembalut bersayap di atas nakas membuat Aldian lagi-lagi termenung. Sebagai lelaki normal dan sudah beristri, perasaan ingin itu begitu saja muncul. Namun, dalam sebulan ini Aldian hampir genap bisa menahan keinginannya, sebab pada kenyataannya Haliza selalu mempergunakan pembalut itu.
Namun kali ini Aldian begitu risau, dia berpikir kenapa Haliza datang bulannya hampir sebulan penuh. Apakah memang siklus bulanan perempuan muda bisa selama itu dan dalam sebulan tidak berhenti-berhenti?
"Liza, kamu masih datang bulan?" tanya Aldian tanpa basa-basi lagi. Aldian memang tipe yang kalau bicara suka langsung pada pointnya.
Haliza menoleh lalu mengangguk. "Apakah siklus bulanan kamu memang selalu begitu, dalam sebulan tanpa jeda darahnya datang terus?" heran Aldian khawatir.
"Iya, Mas. Aku juga tidak tahu."
"Kamu harusnya diperiksa ke Bidan. Jangan-jangan darah yang kamu keluarkan bukan darah mens, melainkan darah penyakit. Aku tidak mau dibilang membiarkan kamu di rumah tanpa membawanya berobat. Sebaiknya kamu ke Bidan sekarang, ya. Aku antar kamu, aku khawatir melihat kamu datang bulan terus. Kalau begitu, kapan aku bisa menjamahmu?" Akhirnya inti dari kerisauan Aldian terjawab sudah. Aldian tidak bisa menyalurkan inginnya jika Haliza datang bulannya tidak henti-henti.
Haliza awalnya tertawa geli dalam hati mendengar kekhawatiran Aldian. Haliza merasa Aldian benar-benar mengkhawatrikannya. Tapi ujung dari kalimatnya justru menohok. Aldian bukan khawatir betulan, melainkan dia khawatir karena belum bisa menyalurkan keinginannya.
Haliza tersenyum smirk, mengingat sikap Aldian yang terlalu egois, maka dari itu rencananya akan terus ia mainkan selama Aldian tidak curiga.
"Tidak, aku memang kadang-kadang begini, Mas, siklus haidnya. Kadang sebulan haidnya tidak berhenti-henti, lalu bulan depannya sambung haid lagi. Nah bulan depannya baru berhenti, tapi hanya beberapa hari," jelas Haliza tanpa memperlihatkan rasa was-was.
"Serius?" Aldian benar-benar memperlihatkan kekhawatirannya yang diangguki Haliza dengan cepat.
Namun, sepandai-pandai menyembunyikan bangkai, akhirnya kecium juga bau busuknya. Setelah Aldian pulang dari kantor dan langsung masuk kamar, Aldian tanpa sengaja melihat sebotol obat merah dan pembalut yang sepertinya lupa dimasukkan kembali ke dalam kotak make up.
"Apakah Haliza pura-pura datang bulan hanya untuk menghindar aku gauli? Keterlaluan Haliza. Dia sengaja ternyata." Aldian mendengus kesal dengan akal-akalan Haliza.
"Tunggu saja pembalasan dariku. Akan kubuat kamu mati kutu," ancam Aldian dalam hati.