Aiden Valen, seorang CEO tampan yang ternyata vampir abadi, telah berabad-abad mencari darah suci untuk memperkuat kekuatannya. Saat terjebak kemacetan, dia mencium aroma yang telah lama ia buru "darah suci," yang merupakan milik seorang gadis muda bernama Elara Grey.
Tanpa ragu, Aiden mengejar Elara dan menawarkan pekerjaan di perusahaannya setelah melihatnya gagal dalam wawancara. Namun, semakin dekat mereka, Aiden dihadapkan pada pilihan sulit antara mengorbankan Elara demi keabadian dan melindungi dunia atau memilih melindungi gadis yang telah merebut hatinya dari dunia kelam yang mengincarnya.
Kini, takdir mereka terikat dalam sebuah cinta yang berbahaya...
Seperti apa akhir dari cerita nya? Stay tuned because the 'Bloodlines of Fate' story is far form over...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Detia Fazrin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekhawatiran
...»»————> Perhatian<————««...
...Tokoh, tingkah laku, tempat, organisasi profesi, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiktif dan dibuat hanya untuk tujuan hiburan, tanpa maksud mengundang atau mempromosikan tindakan apapun yang terjadi dalam cerita. Harap berhati-hati saat membaca....
...**✿❀ Selamat Membaca ❀✿**...
Senja datang menghampiri bumi Elara, dia melangkah keluar dari kantor dengan hati yang ringan. Senyum tak lepas dari wajahnya. Pujian yang baru saja diterimanya dari Aiden Valen, bosnya, mengisi dirinya dengan rasa bangga.
Elara akhirnya bisa membuktikan bahwa ia mampu melakukan pekerjaan dengan baik. Walau baru beberapa minggu bekerja sebagai sekretaris pribadi, ia sudah mulai menunjukkan kemajuan yang signifikan.
"Aku berhasil!" gumamnya pelan sambil tersenyum sendiri.
Hari itu, bukannya memesan taksi online seperti biasa, Elara memutuskan untuk naik bus umum. Dengan gaji pertamanya yang belum cair, ia merasa perlu lebih hemat. Saat dia duduk di kursi bus, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari bibinya yang membuat kebahagiaannya itu berubah menjadi kecemasan.
"Elara, nenek Mika butuh biaya untuk berobat. Tolong segera kirim uang."
Elara menatap pesan itu dengan penuh rasa khawatir. Dia baru bekerja, begitu dengan tabungannya sudah hampir habis. Sambil memegang erat ponselnya, dia menarik napas dalam-dalam dan mencoba berpikir tenang. Namun, belum sempat ia membalas pesan tersebut, telepon dari bibinya langsung masuk.
"Elara, kamu sudah baca pesanku? Besok nenek harus dibawa berobat. Kamu harus segera kirim uang, ini penting!" Bibi berbicara dengan nada mendesak.
"Tapi, Bi, aku baru mulai bekerja... Aku belum terima gaji. Tabunganku juga sudah hampir habis," jawab Elara dengan nada putus asa.
"Bibi nggak mau tahu! Kalau kamu nggak kirim uang, lebih baik nenek kamu bawa ke kota saja. Biar Bibi nggak repot ngurus nenek sendirian!" sergah bibinya, terdengar frustrasi.
Elara mengernyitkan dahi, bingung dengan tuntutan bibinya. "Tapi kan aku sudah kirim uang bulan lalu untuk kebutuhan nenek. Kenapa sudah habis, Bi? Ini belum awal bulan..."
"Terserah kamu mau bilang apa. Pokoknya kalau kamu sayang nenek, kamu harus kirim uang secepatnya. Kalau nggak, ya terserah kamu aja, Elara. Nenek sudah makin sakit."
Sebelum Elara sempat menjawab, bibinya sudah menutup telepon. Elara terduduk diam, tangan gemetar, dan matanya mulai berkaca-kaca. Dia tahu tanggung jawab untuk merawat nenek ada di pundaknya, tetapi dia juga tahu keadaannya belum memungkinkan. Dia merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Air matanya mulai menetes tanpa bisa ditahan lagi.
❦┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈ Bloodlines of Fate
Setibanya di apartemennya, Elara dengan langkah berat memasuki kamar. Di sana, ia membuka laci meja kecil di sudut ruangan dan mengeluarkan sebuah kotak emas kecil. Di dalamnya terdapat kalung yang sangat berharga, peninggalan terakhir dari ibunya yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Elara menatap kalung itu dengan penuh haru.
Flashback
Elara kecil, yang saat itu berusia tujuh tahun, sedang tertidur di kamar bersama ibunya. Di tengah malam, ibunya terbangun dan mengenakan kalung itu ke leher Elara. Ia membelai lembut rambut anaknya sebelum meninggalkan kamar.
Namun, tak lama kemudian, suara keras dari ruang tamu membangunkan Elara. Suara pertengkaran antara ibunya dan ayah tirinya terdengar jelas. Elara kecil berlari menuju pintu dan mengintip dari lubang kunci. Yang ia lihat membuatnya ketakutan. Ayah tirinya menyerang ibunya, dan Elara hanya bisa bersembunyi, ketakutan, tanpa tahu harus berbuat apa.
"Ibu...." Elara mulai menangis.
Setelah lima hari terkurung di kamar, akhirnya tetangga mendobrak pintu dan menemukan Elara dalam keadaan tidak sadar.
Saat terbangun di rumah sakit, Elara hanya diberi kabar bahwa ibunya telah meninggal. Sejak saat itu, Elara tinggal bersama neneknya, tanpa pernah tahu dengan pasti apa yang terjadi malam itu.
❦┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈ Bloodlines of Fate
Kembali ke masa sekarang
Elara menghapus air matanya dan menarik napas panjang. Dia tahu satu-satunya cara agar bisa membantu nenek adalah dengan menggadaikan kalung berharga itu. Meskipun berat, dia tahu ini adalah pilihan yang harus dia ambil. Tanpa pikir panjang, Elara mengambil kalung tersebut dan bergegas keluar dari apartemennya.
Dia memesan taksi online dan menuju toko pegadaian. Hatinya terus berdebar, berharap dia masih sempat sebelum toko tutup. Namun, saat sedang menyeberang jalan di tengah perjalanan, sebuah mobil melaju kencang dan hampir menabraknya.
"Aaa!" Ia berteriak dan melompat mundur dengan cepat. Mobil itu berhenti mendadak, dan seorang pria keluar dari dalamnya.
"Maafkan saya, Anda baik-baik saja?" tanya pria itu dengan nada khawatir.
Elara mengangkat wajahnya dan menatap pria tersebut. Dia terkejut. Sosok di depannya bukan orang asing. Itu adalah pria yang pernah ia lihat sebelumnya. Namun, pria itu tampaknya tidak mengenalinya.
"Ya, aku baik-baik saja," jawab Elara singkat, mencoba tetap tenang.
Pria itu memeriksa Elara sejenak sebelum kembali ke mobilnya setelah memastikan semuanya baik-baik saja. Elara menghela napas lega, tetapi hatinya masih berdebar, bukan hanya karena hampir kecelakaan, tetapi karena identitas pria itu yang tiba-tiba membuatnya gelisah.
❦┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈ Bloodlines of Fate
Setelah insiden itu, Elara melanjutkan perjalanannya ke toko pegadaian. Sayangnya, ketika dia sampai di sana, toko sudah tutup. Kekecewaan besar melanda hatinya. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Dia duduk di bangku panjang di depan toko, matanya menatap kosong ke jalanan. Air matanya kembali mengalir tanpa henti.
"Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya putus asa.
Dia merogoh ponselnya dan dengan tangan gemetar, menghubungi Aiden Valen, bosnya.
"Aiden...," suaranya bergetar di telepon, "Aku butuh bantuan... Aku nggak tahu harus bagaimana lagi."
"Apa yang terjadi, Elara? Kamu baik-baik saja?" tanya Aiden, suaranya terdengar penuh kekhawatiran.
"Aku... Aku dalam masalah. Aku butuh uang untuk biaya berobat nenekku... Aku sudah mencoba, tapi..." Elara tak mampu menyelesaikan kalimatnya, air mata sudah membuat suaranya terputus-putus.
"Tunggu di situ. Aku akan mengirim Kevin untuk menjemputmu," kata Aiden tanpa ragu.
❦┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈ Bloodlines of Fate
Tak lama kemudian, Kevin, asisten setia Aiden, tiba di tempat Elara dan membawanya ke rumah Aiden. Rumah Aiden terlihat megah dan misterius, dengan taman luas dan suasana yang sepi. Malam itu begitu sunyi, hanya suara angin yang berbisik lembut di antara pepohonan.
Setelah tiba di rumah, Elara dibawa masuk ke dalam ruang tamu yang luas. Aiden sudah menunggu di sana, duduk di sofa besar dengan ekspresi khawatir.
"Elara, ceritakan semuanya padaku," kata Aiden dengan nada lembut.
Elara mengusap air matanya dan mulai bercerita. "Nenekku sakit parah. Aku baru saja mulai bekerja dan belum dapat gaji, tapi bibiku menuntut aku untuk segera mengirim uang untuk berobat dan biaya hidup nenek. Aku sudah coba menggadaikan kalung peninggalan ibuku, tapi toko pegadaian sudah tutup."
Aiden menghela napas, lalu menatap Elara dengan pandangan penuh pengertian. "Sudahlah, Elara. Jangan menangis lagi. Aku akan membantumu."
"Tapi...," Elara ragu, "Aku tidak ingin merepotkanmu, Aiden."
"Jangan pikirkan itu. Kamu tidak perlu merasa terbebani," kata Aiden sambil tersenyum tipis.
"Kamu sudah bekerja keras. Kamu pantas mendapatkan bantuan ini."
Elara terdiam, tak mampu berkata-kata. Perasaan lega dan syukur menyelimuti hatinya. Tanpa sadar, dia tiba-tiba memeluk Aiden erat-erat.
"Terima kasih, Aiden. Aku... aku sangat berterima kasih," ucapnya sambil menahan air mata.
Aiden terkejut dengan pelukan mendadak itu, tetapi dia tidak menolak. Sambil merasakan kehangatan pelukan Elara, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Setelah beberapa saat, Elara melepaskan pelukannya dan menatap Aiden dengan senyum malu-malu.
"Maaf, aku terlalu emosional," kata Elara, menyeka sisa air matanya.
"Tidak apa-apa," jawab Aiden, masih tersenyum lembut. "Kadang kita semua butuh seseorang untuk bersandar."
Malam itu, meskipun suasana terasa canggung, ada sesuatu yang berubah di antara mereka. Keduanya tahu, hubungan mereka mungkin tidak akan pernah sama lagi setelah momen ini.