Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Jam Kerja yang Panjang
Adara memandang jam di dinding ruang kerjanya. Jarum pendek sudah mendekati angka delapan, sementara jarum panjang berputar perlahan menuju angka dua belas. Kantor telah sepi sejak dua jam yang lalu, hanya beberapa lampu redup yang masih menyala di sudut-sudut ruangan. Sebagian besar karyawan sudah pulang, membawa rasa lelah mereka setelah hari yang penuh tekanan.
Namun, bagi Adara, hari itu belum berakhir. Sejak menjadi sekretaris pribadi Arga Pratama, jadwal kerjanya berubah drastis. Pekerjaan ini menuntut lebih dari sekadar kemampuan administratif; ini adalah ujian ketahanan mental dan fisik. Sejak bergabung di perusahaan besar ini, Adara harus menyesuaikan diri dengan ritme kerja Arga yang tak kenal lelah. Bagi Arga, waktu adalah aset paling berharga, dan ia tidak ragu mengorbankan apa pun demi mencapai tujuannya, termasuk istirahat.
Adara menghela napas panjang, merapikan beberapa dokumen yang masih berserakan di mejanya. Sebagai sekretaris, tugasnya tidak hanya mengatur jadwal, tetapi juga memastikan semua pekerjaan dan proyek berjalan sesuai rencana. Pekerjaan administratif sudah selesai sejak beberapa jam yang lalu, namun sekarang ia harus menyiapkan materi presentasi yang akan digunakan Arga dalam rapat penting esok hari. Deadline semakin mendekat, dan setiap detail harus sempurna.
Sambil duduk di kursinya, Adara merasa pegal di punggung. Kelelahan mulai merayap di tubuhnya. Dia melirik layar laptop, mencoba tetap fokus meskipun kepalanya mulai terasa berat. Mungkin ini karena kurang tidur—sudah beberapa malam terakhir ia bekerja lembur, dan malam ini tampaknya tidak akan berbeda.
Heningnya kantor malam itu hanya diisi oleh suara tik-tik keyboard dan sesekali deru AC yang menderu pelan. Di tengah-tengah konsentrasinya, Adara teringat percakapannya dengan salah satu rekan kerjanya tadi siang. "Kamu tahu, Adara," ujar Mira, salah satu karyawan di departemen lain. "Aku salut sama kamu. Kalau jadi sekretaris Pak Arga, aku pasti udah tumbang. Dia kan terkenal nggak kenal waktu kerja."
Adara hanya tersenyum kecil saat itu. Ia tahu betul apa yang Mira maksud. Arga memang sosok yang ambisius, pekerja keras, dan menuntut kesempurnaan dari setiap orang yang bekerja dengannya. Tapi itulah bagian dari pekerjaan ini, pikir Adara. Dia menerima tantangan itu saat pertama kali menerima tawaran posisi ini.
Pikiran Adara terhenti ketika pintu ruang kerjanya terbuka. Dia menoleh dan melihat sosok yang sudah tidak asing lagi. Arga Pratama, dengan penampilan rapi yang khas, masuk ke ruangan tanpa suara. Wajahnya tetap tenang meskipun lelah terlihat jelas di matanya. Jas hitamnya masih melekat sempurna di tubuhnya, seakan jam kerja tidak pernah mengurangi penampilannya yang sempurna.
"Kamu masih di sini?" tanya Arga dengan nada datar, meskipun ada sedikit kejutan dalam suaranya. "Aku pikir kamu sudah pulang."
Adara tersenyum sopan. "Saya masih menyelesaikan materi presentasi untuk besok, Pak. Ada beberapa revisi kecil yang harus saya lakukan."
Arga mengangguk pelan, lalu berjalan mendekat ke meja Adara. Dia mengambil satu dokumen yang sudah tersusun rapi di meja, memeriksanya sekilas. "Kamu terlalu keras pada dirimu sendiri," ujarnya sambil menaruh dokumen itu kembali. "Aku tidak ingin sekretarisku kelelahan sampai tidak bisa bekerja maksimal esok hari."
Adara terkejut mendengar kata-kata itu. Arga jarang sekali memberikan komentar personal semacam itu. Sebagai bos, dia dikenal tegas dan fokus pada pekerjaan, bukan pada kondisi karyawannya. Tetapi entah mengapa, malam ini ada sesuatu yang berbeda.
"Tidak apa-apa, Pak. Ini sudah menjadi bagian dari tugas saya," jawab Adara dengan tenang, meskipun dalam hatinya ia merasa tertekan oleh beratnya pekerjaan.
Arga menatapnya sejenak, seolah menimbang sesuatu dalam pikirannya. "Istirahatlah sebentar. Kamu sudah bekerja cukup keras hari ini. Aku tidak ingin presentasi besok gagal hanya karena sekretarisku kurang tidur."
Adara tertawa kecil, meskipun ia tahu Arga berbicara serius. "Saya akan beristirahat setelah ini selesai, Pak."
Arga memandangnya dalam diam, lalu tanpa berkata lagi, ia berjalan keluar dari ruangan. Pintu tertutup pelan, meninggalkan Adara dalam hening kembali. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Perhatian kecil yang ditunjukkan Arga tadi membuat Adara merasa sedikit lebih dihargai. Biasanya, Arga tidak pernah menaruh perhatian pada hal-hal kecil seperti ini.
Adara kembali menatap layar laptopnya, mencoba fokus kembali pada pekerjaannya. Namun pikirannya terus melayang-layang, memikirkan interaksi singkat tadi. Arga memang misterius, pikir Adara. Di satu sisi, ia bisa begitu dingin dan profesional. Namun di sisi lain, ada momen-momen seperti tadi yang membuat Adara merasa bahwa di balik sikap kerasnya, Arga mungkin menyimpan sisi manusiawi yang jarang ia tunjukkan.
Waktu terus berjalan, dan akhirnya Adara berhasil menyelesaikan semua pekerjaannya. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Rasa lelah mulai benar-benar terasa di seluruh tubuhnya. Dia meregangkan otot-ototnya yang tegang, mematikan laptop, dan merapikan dokumen-dokumen di meja.
Saat berjalan keluar dari ruangan, dia melewati kantor Arga yang masih terang benderang. Pintu ruangannya sedikit terbuka, dan dari dalam Adara bisa melihat Arga yang masih duduk di kursinya, menatap layar komputernya dengan ekspresi serius. Rupanya, malam yang panjang ini belum berakhir juga bagi Arga.
Adara tersenyum kecil sambil melangkah menuju lift. Jam kerja yang panjang memang sudah menjadi bagian dari hidupnya sekarang. Tapi di balik semua kelelahan itu, ada kebanggaan dalam dirinya. Dia tahu bahwa dia adalah bagian penting dari roda besar yang menggerakkan perusahaan ini. Dan meskipun Arga sering tampak dingin, Adara merasa bahwa ia dihargai atas semua dedikasi dan kerja kerasnya.
Ketika pintu lift terbuka, Adara melangkah masuk, siap untuk meninggalkan kantor dan pulang ke rumah. Hari esok pasti akan lebih menantang lagi, tapi untuk malam ini, dia bisa beristirahat sejenak, mempersiapkan diri menghadapi apa pun yang akan datang.
Lift bergerak turun, dan dengan itu, Adara menutup lembaran satu lagi dari kisah panjangnya sebagai sekretaris pribadi Arga Pratama.