Aisha Naziya Almahyra telah menjalin hubungan selama tiga tahun dengan kekasihnya yang bernama Ikhbar Shaqr Akhdan. Hubungan mereka sudah sangat jauh.
Hingga suatu hari kedua orang tua mereka mengetahuinya, dan memisahkan mereka dengan memasukan keduanya ke pesantren.
Tiga tahun kemudian, Aisha yang ingin mengikuti pengajian terkejut saat mengetahui yang menjadi ustadnya adalah Ikhbar. Hatinya senang karena dipertemukan lagi dalam keadaan telah hijrah.
Namun, kenyataan pahit harus Aisha terima saat usai pengajian seorang wanita dengan bayi berusia satu tahun menghampiri Ikhbar dan memanggil Abi.
Aisha akhirnya kembali ke rumah, tanpa sempat bertemu Ikhbar. Hingga suatu hari dia dijodohkan dengan seorang anak ustad yang bernama Ghibran Naufal Rizal. Apakah Aisha akan menerima perjodohan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Ke Panti Asuhan
Aisha menyodorkan ponsel suaminya itu, dan berkata, "Tadi ada yang menelpon. Buah hatimu," ucap Aisha dengan suara pelan. Dadanya terasa sesak menahan sebak.
Raut wajah Ghibran langsung berubah. Terkejut dengan apa yang Aisha katakan. Dia meraih ponsel yang Aisha sodorkan.
Ghibran langsung keluar kamar. Aisha menarik napas berat. Tidak biasanya suaminya menjauh saat menghubungi seseorang.
Lebih kurang lima belas menit, Ghibran kembali masuk ke kamar. Dia tersenyum dengan sang istri, dan mengacak rambut wanita itu.
"Sayang, aku harus keluar kota lagi. Kamu ke rumah mama saja, ya. Aku takut tinggalkan kamu sendiri. Aku tidak mau terjadi sesuatu denganmu dan calon bayi kita," ucap Ghibran dengan sangat lembut.
"Aku di rumah saja, Mas. Istirahat," balas Aisha.
"Tapi kamu itu tak boleh kerja dulu. Nanti aku pesankan makanan untukmu," ucap Ghibran.
Ghibran memakai baju dengan tergesa. Lalu mengambil dompet dan mengecup pipi Aisha.
"Aku pamit, jaga diri dan anak kita. Aku sayang kamu," ucap Ghibran.
Dengan tergesa Ghibran keluar dari apartemen. Setelah pria itu menghilang dari pandangannya, Aisha mengganti bajunya dan menggunakan cadar. Dia lalu memesan taksi.
"Maaf, Mas. Bukannya aku tidak percaya dengan ucapanmu, tapi aku hanya ingin meyakinkan hatiku jika kamu tidak mungkin berbohong. Aku yakin kamu tidak akan menyakitiku," gumam Aisha dengan dirinya sendiri.
Beruntung Aisha masih mengingat nama yayasan dan di kota mana panti asuhan itu. Saat mereka video call, diam-diam Aisha mencatat dan mengingat yayasan itu.
Dengan menggunakan taksi, Aisha pergi ke kota tempat panti asuhan itu berada. Dia tidak tahu apa yang akan Ghibran katakan jika melihat dia dibuntuti.
Ghibran yang tidak sadar sedang diikuti, menarik rambutnya frustrasi. Dia merasa sangat bersalah karena kembali membohongi istrinya itu.
"Maafkan aku, Aisha. Kembali aku membohongi kamu. Aku janji, saat aku pulang nanti aku akan jujur," gumam Ghibran dalam hatinya.
Empat jam perjalanan dia sampai di panti asuhan. Ghibran langsung turun dan masuk ke panti. Bunda Yeyet menyambutnya.
"Syifa nya mana, Bunda? Apa masih terus menangis?" tanya Ghibran kuatir.
"Baru saja tertidur. Mungkin capek menangis," jawab Bunda Yeyet.
"Sebenarnya Syifa kenapa, Bunda?" Kembali Ghibran bertanya.
"Kemarin teman-temannya mengejek dia anak yatim piatu, tidak punya ayah ibu, makanya tinggal di panti asuhan," jawab Bunda Yeyet.
"Pasti Syifa sangat sedih," ucap Ghibran dengan lirih.
Dia minta izin masuk ke kamar putrinya. Syifa memiliki kamar sendiri, itu semua Ghibran yang bangun. Dalam kamar tersedia juga kulkas khusus untuk makanannya.
Ghibran duduk di tepi ranjang dan mengecup dahi sang putri, membuat Syifa membuka matanya. Dia tersenyum melihat sang Papi yang datang. Bocah cilik itu langsung bangun dan memeluknya.
"Papi, aku tak mau sekolah. Aku mau tinggal dengan Papi. Biar teman-teman tidak mengejekku lagi," ucap Syifa.
"Papi janji akan membawamu segera. Tunggu Papi bicara dengan mami dulu. Mungkin satu minggu lagi kita akan tinggal bareng," balas Ghibran.
"Papi janji ya," ujar Syifa dengan mengacungkan kelingkingnya. Ghibran menjawab dengan menganggukan kepalanya.
Setelah cukup lama berbicara, dan membujuk, akhirnya Syifa mengerti. Ghibran lalu mengajak putrinya untuk makan siang.
Ghibran, Bunda Yeyet dan Syifa, mereka duduk di bawah pohon samping yayasan. Mengobrol sambil melihat Syifa bermain.
Sementara itu Aisha yang baru sampai meminta supir taksi menunggu sedikit jauh dari yayasan. Dengan langkah ragu, dia memasuki halaman panti asuhan itu. Dia yakin tidak salah alamat.
Aisha berjalan makin dekat dengan bangunan itu. Ketika akan mengetuk pintu, dia mendengar suara suaminya.
"Bunda rasa sudah saatnya kamu membawa Syifa. Dia berhak mendapatkan kasih sayang dari keluarga. Kakek dan neneknya juga berhak tahu atas keberadaannya. Jika kedua orang tua Alya, tidak mau menerima kehadiran Syifa, bunda berdoa kedua orang tuamu akan berbeda. Syifa tidak salah. Dia juga darah dagingmu," ucap Bunda Yeyet.
Aisha yang menguning pembicaraan mereka jadi terkejut mendengar wanita itu menyebut Syifa darah daging Ghibran. Dadanya terasa sesak mendapati kenyataan pahit ini.
"Aku akan bicara dengan istriku, Aisha. Aku akan berterus terang tentang keberadaan Syifa. Semoga dia bisa menerima kehadiran putriku dengan lapang dada. Dia wanita yang baik, aku rasa dia bisa menyayangi Syifa," ucap Ghibran.
"Kamu harus jujur tentang Syifa. Dia anakmu. Sebagai istri, seharusnya dia memang menerima kehadiran putrimu itu," balas bunda.
Aisha merasa dadanya sesak. Dia tidak ingin lebih lama lagi berada di tempat itu. Semua telah jelas. Selama ini Ghibran telah membohongi dirinya.
Dengan langkah pelan Aisha meninggalkan panti asuhan. Dia meminta supir taksi membawanya kembali ke apartemen.
Tangis Aisha pecah saat berada dalam mobil. Supir taksi itu sesekali melirik, mungkin kasihan melihatnya.
"Ini bukan soal menerima atau menolak, Mas. Jika dari awal kamu jujur, aku mungkin tidak sesakit ini. Kamu tidak menganggap aku. Kamu ragu denganku sehingga menyembunyikan semua dariku. Padahal aku telah jujur dengan masa laluku. Sakit Mas jika dibohongi begini," gumam Aisha dalam hatinya.
Aisha menghapus air matanya. Terdengar suara isakan wanita itu.
"Salah satu hal yang paling kutakutkan di dunia ini adalah dibohongi. Sebab aku tahu sedang dibohongi oleh seseorang, berarti sebelumnya aku sudah memberikan beberapa kepercayaanku padanya. Saat aku tahu bahwa faktanya apa yang aku terima berbeda dengan apa yang diucapkannya, maka saat itulah rasanya sulit meyakinkan diriku untuk percaya lagi," ucap Aisha dalam hatinya.
Jam delapan malam Aisha sampai di apartemen. Dia langsung mandi. Setelah menunaikan solat isya, wanita itu naik ke ranjang untuk beristirahat.
Tadinya dia takut Ghibran yang sampai di rumah terlebih dahulu, karena Aisha sering berhenti. Dia tadi beberapa kali muntah. Wanita itu meraih ponselnya berharap ada pesan atau telepon dari sang suami. Saat dia melihat tidak ada panggilan tak terjawab dan pesan juga tidak ada, dadanya terasa sesak.
"Ternyata aku bukan prioritasmu. Aku berharap terlalu tinggi padamu, Mas. Sehingga aku tertampar dengan kenyataan jika aku bukan siapa-siapa bagimu. Maaf, mungkin aku yang tak tahu diri karena beranggapan akulah rumahmu, ternyata salah. Aku hanyalah tempat persinggahanmu," ucap Aisha pada dirinya sendiri.
Aisha mencoba memejamkan matanya. Satu jam kemudian dia telah terlelap dalam mimpinya.
Azan subuh membangunkan Aisha. Dia melihat ke samping tidak ada Ghibran. Diraihnya ponsel, berharap ada pesan dari sang suami. Ketika dilihat tidak ada notif apa pun, hatinya terasa sangat kecewa.
Aisha bangun dan langsung membersihkan diri. Menunaikan solat subuh. Setelah itu dia mengambil tas dan mengisi beberapa helai bajunya. Dia memutuskan akan pergi untuk menenangkan diri sejenak. Menjauh dari hal yang menyakitkan hatinya untuk sementara Waktu. Mungkin ini bawaan kehamilannya.
"Orang yang terbiasa jujur akan memiliki kebebasan untuk berkata dan berbuat sesuatu tanpa keraguan. Sebaliknya, orang yang terbiasa berbohong pasti tidak memiliki kebebasan karena terbelenggu dan terperangkap oleh kebohongannya. Rasa kecewaku telah mengajari aku untuk sulit percaya lagi. Karena telah melihat mata seorang pembohong yang selama ini aku anggap dia telah berkata jujur. Karena telah mendengar kata-kata pendusta yang seakan semua dapat dipercaya. Karena pernah mendapatkan perlakuan dan tindakan seorang penipu yang seakan semua itu nyata."
...----------------...
Selamat Siang Semuanya. Sambil menunggu novel ini update, bisa mampir ke novel teman mama di bawah ini. Terima kasih.