“Aku menghamilinya, Arini. Nuri hamil. Maaf aku selingkuh dengannya. Aku harus menikahinya, Rin. Aku minta kamu tanda tangani surat persetujuan ini.”
Bak tersambar petir di siang hari. Tubuh Arini menegang setelah mendengar pengakuan dari Heru, suaminya, kalau suaminya selingkuh, dan selingkuhannya sedang hamil. Terlebih selingkuhannya adalah sahabatnya.
"Oke, aku kabulkan!"
Dengan perasaan hancur Arini menandatangani surat persetujuan suaminya menikah lagi.
Selang dua hari suaminya menikahi Nuri. Arini dengan anggunnya datang ke pesta pernikahan Suaminya. Namun, ia tak sendiri. Ia bersama Raka, sahabatnya yang tak lain pemilik perusahaan di mana Suami Arini bekerja.
"Kenapa kamu datang ke sini dengan Pak Raka? Apa maksud dari semua ini?" tanya Heru.
"Masalah? Kamu saja bisa begini, kenapa aku tidak? Ingat kamu yang memulainya, Mas!" jawabnya dengan sinis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh
Heru benar-benar disibukkan dengan pekerjaannya sekarang. Ia kadang sampai lupa waktu yang membuat Nuri semakin kesal karena Heru sekarang lebih mementingkan kariernya. Apalagi dia sudah menjabat sebagai Direktur saat ini. Raka sengaja membuat karier Heru melambung, tanpa sadar Heru sudah berada di dalam genggaman tangan Raka.
“Kau puas, Ka?” tanya seorang laki-laki bernama Gandi, dia adalah Dewan Komisaris di perusahaan Raka.
“Idemu cemerlang, Bro! Gue puas lihat dia begitu senang!”
“Dia memang pantas jadi Direktur sih, dia itu kerjanya bagus, satu visi dan misi denganku, tapi aku gak suka laki-laki yang kasar sama wanita! Sekalinya lembek, eh kelembekan seperti kamu? Diselingkuhi tetap saja cinta sama Asti?” sindir Gandi.
“Kau sedang mengejekku?” kesal Raka.
“Cuma ngepasin saja sih? Kau lihat saja, dia bahkan cuek dengan selingkuhannya itu. Dia benar-benar berambisi dengan jenjang kariernya!” ujar Gandi.
“Begitulah, biar saja, lihat saja nanti. Pasti sebentar lagi kantor ini akan ramai, dan akan jadi bom waktu untuk mereka berdua!” ucap Raka dengan mengepalkan tangannya.
Raka melihat cara kerja Heru memang bagus, dia selalu fokus dan bertanggung jawab sekali terhadap pekerajaannya. Namun, saat Raka melihat kegelisahan Nuri yang selalu dinomor duakan olah Heru, Raka tersenyum puas, karena Raka yakin sebentar lagi Nuri akan marah dengan Heru yang selalu cuek dan abai akan dirinya. Bahkan Heru lupa akan gugatan cerai dari Arini.
Ambisi untuk membuktikan pada papanya akhirnya terlaksana. Namun, tanggapan Papanya hanya biasa saja, tak ada ekspresi bahagia atau apa pun. Meski begitu Heru sangat bangga dengan pencapaiannya kali ini.
Heru langsung pulang ke apartemen Nuri setelah menyelesaikan pekerjaannya. Nuri sudah pulang lebih dulu, karena sudah dibelikan mobil sendiri dari Heru. Setelah menjadi direktur, Heru bisa membelikan apa pun yang Nuri mau, termasuk mobil.
“Hai sayang?” Heru langsung menyapa Nuri yang sedang minum susu hamil.
“Hmmm ...,” sahut Nuri dengan malas.
“Kok gitu jawabnya?” ucap Heru.
“Sudah kerjanya? Kamu naik pangkat bukannya banyak waktu senang-senangnya dengan aku, kok malah sibuuukkk terus? Kapan sih kamu manjain akunya, Mas?” ucap Nuri kesal.
“Sayang ... jabatan aku gak main-main lho? Banyak yang mau jabatan aku ini? Aku ini sangat beruntung dipercaya Pak Raka dan Pak Gandi, kamu harusnya senang, karena aku sudah naik jabatan, lalu sebentar lagi aku akan menikahimu. Ternyata kamu dan anak kita membawa hoki, ya? Aku terima kasih sekali lho, Sayang?” ucap Heru sambil memeluk Nuri.
“Hoki sih hoki, tapi aku jarang ditemani, aku ini kayak gak punya kamu, Mas! Berangkat sendiri, pulang sendiri?”
“Lho kan memang biasanya begitu? Kamu mau orang sekantor tahu kita ada hubungan? Jangan dulu dong, sabar ya? Nunggu aku selesai dengan Arini.”
Heru tidak peduli lagi jika dia harus pisah dengan Arini, dia semakin gila dengan jabatannya sekarang. Ada untungnya juga dia kenal dekat dengan Raka, dan Raka pun mempercayai cara kerja dirinya.
Heru mencumbu Nuri, tapi Nuri yang sudah kadung kecewa dengan Heru yang setelah menjadi direktur malah jarang ada waktu untuknya. Dia menjadi gila dalam bekerja.
“Aku capek, Mas!”
“Hei ... kok gitu? Aku kangen, Sayang?”
“Mas, aku tuh capek! Ngerti gak sih?!”
“Kamu kok jadi kasar gini?”
“Itu karena kamu! Kamu sudah gak ada waktu lagi denganku!”
“Hei ... aku kerja, kerja buat kamu dan calon anak kita, buat masa depan keluarga kita! Kok kamu gitu? Harusnya kamu senang dong? Kamu mau jadi Nyonya Heru, seorang Direktur!”
“Aku juga butuh kamu, perhatian kamu, gak begini, Mas!”
“Sabar dong, Sayang? Aku baru naik jabatan, jadi aku harus cari muka di depan Pak Raka dan Pak Gandi, biar mereka tahu kerjaku itu bagus!”
“Ahhh bulshit!!!”
Nuri meninggalkan Heru ke kamarnya. Ia hanya butuh perhatian saja. Ia butuh Heru selalu ada di sisinya, kerja hanya sewajarnya seperti dulu, bukan seperti sekarang, banyak uang tapi perhatian Heru kurang untuknya.
“Kalau gini apa bedanya? Gak ada gunanya juga ninggalin dia, malah Heru sama saja seperti dia, gila kerja!”
Heru memijit keningnya. Nuri akhir-akhir ini memang sering marah, mungkin itu bawaan bayinya. Heru memakluminya, akan tetapi tetap saja Heru kesal, karena Nuri menolak cumbuannya tadi.
Heru duduk di sofa ruang tamu. Ia melihat amplop cokelat tergeletak di meja. Heru ambil amplop itu lalu membukanya, ternyata isi dari amplop itu adalah undangan panggilan sidang perceraian pertamanya dengan Arini.
“Lusa ternyata sidangnya. Oke ini mau kamu, Rin! Kamu akan menyesal sudah memilih jalan ini. Padahal aku sudah bicara baik-baik sama kamu, supaya kamu mau berbagi, dan aku akan adil pada kamu, tapi kamu memilih ini. Siap-siap saja kariermu akan hancur juga!” ucap Heru dengan mengepalkan tangannya.
^^^
Arini sudah siap untuk menghadiri persidangan siang ini. Dia bersama ayahnya. Untung selama menunggu sidang, ayahnya selalu memberikan semangat. Ada perasaan yang tidak seharusnya Arini rasakan saat ini. Melihat Heru yang sudah datang lebih dulu di pengadilan, degub jantungnya semakin kencang, apalagi Heru berpenampilan sangat rapi dan terlihat sangat tampan hari ini.
“Ya Tuhan ... tolong kondisikan hatiku, aku tidak boleh begini. Dia orang yang sudah menyakitiku, ini keputusanku,” batin Arini saat melihat Heru yang menyapa dia dari jauh dengan melambaikan tangannya dan tersenyum padanya.
“Keren ya dia? Sudah jadi direktur dia, Rin. Rela mau dilepas?” goda ayahnya.
“Kalau dia gak nyakitin fisik dan hatiku, aku masih bertahan apa pun yang terjadi, Yah. Mau dia melarat pun, kalau dia setia dan tidak menyakiti hatiku, aku akan bertahan mendampinginya sampai tua,” ucap Arini.
“Jadi kamu sudah siap?”
“Sudah, Yah.”
“Dia kelihatan ganteng lho, Rin?”
“Masih ganteng ayahku ini! Jangan goda Arini, Yah!” tukas Arini.
“Tapi masih ganteng, keren, dan gagah Raka sih?”
“Itu beda, Yah! Jelas beda sekali! Kastanya saja sudah beda!”
“Ya sudah buruan selesaikan sama Heru, lalu sama Raka!”
“Ayah, ih! Aku pengin bebas dulu, Yah. Aku belum mikir begitu!”
“Yakin? Kamu kan suka Raka dari jaman orok?”
“Ayah ih! Jangan bercanda mulu ah!”
“Biar gak tegang, ayo samperin Heru dulu, kalian bertemu baik-baik, pisah juga harus baik-baik, meski karena suatu masalah yang gak baik kalian jadi begini.”
Arini mengangguk, Farid mendampingi putrinya menemui Raka sebelum nama mereka di panggil untuk masuk ke dalam ruang sidang.
“Bagaimana kabarnya, Yah?” tanya Heru.
“Baik, kamu bagaimana? Sepertinya tambah keren nih? Bagaimana kabar calon istri barumu?” tanya Farid.
“Ayah bisa saja, ya begini lah saya saat ini,” ucapnya dengan membanggakan diri. “Oh ya, calon istriku baik, kandungannya sehat, dan setelah selesai masalah ini, kami akan segera menikah,” ucap Heru.
“Bagus kalau begitu,” ucap Farid.
“Hai, Rin? Kamu gimana kabar? Lama gak ketamu kamu, kamu makin kurusan saja? Kamu sudah siap melepaskan aku? Yakin dengan semua ini?” ucap Heru.
“Yakin, kan saya yang mengajukan? Kenapa saya mesti gak yakin? Jelas yakin sekali lah!” jawab Arini.
“Hmmm ... bagus deh! Kamu itu gak mau berbagi sayangnya, padahal aku kan siap untuk adil sama kalian?”
“Gak usah banyak basa-basi yang basi, Her! Aku sudah muak dengan kata adil kamu, yang ujungnya tidak pernah terealisasi!” tukas Arini.
Heru tersenyum miring, Arini benar-benar sudah mantap dengan keputusannya. Dari sorot matanya saja, keputusan Arini kali ini begitu tegas.