Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Suara dari telepon yang bergetar di genggamanku memecah keheningan fajar. Kata-kata wanita asing itu masih terngiang di kepala, membuat dadaku berdebar tak menentu.
“Maaf, Anda siapa? Apa yang Anda tahu tentang Dion?” tanyaku dengan suara setenang mungkin, meski hatiku mulai dirasuki kegelisahan.
Wanita itu terdiam sejenak, seolah menimbang-nimbang jawabannya. “Aku… aku seseorang yang pernah berada dalam hidupnya,” ucapnya akhirnya. Suaranya lirih, penuh kegetiran yang membuatku merinding.
“Jadi, apa yang Anda maksud dengan ‘jangan dekat-dekat dengannya’?” tanyaku, mulai kesal dengan ketidakjelasan jawabannya. “Dia mantan suamiku, dan aku sudah meninggalkannya. Jika ada sesuatu yang harus aku ketahui, katakanlah sekarang.”
“Aku ingin memberitahumu lebih banyak, tapi ini bukan hal yang mudah. Kamu harus tahu, Dion bukan hanya pria yang manipulatif. Dia bisa lebih dari itu…” Suara wanita itu bergetar. “Aku pernah hampir kehilangan segalanya karena dia. Jika kamu dekat dengannya, hidupmu bisa hancur… lebih dari yang kamu bayangkan.”
Aku mengerutkan kening, perasaan tak nyaman semakin menguasai. “Aku sudah jauh dari hidupnya,” ucapku, mencoba meyakinkan diri. “Apa yang sebenarnya dia lakukan padamu?”
Dia menarik napas panjang, terdengar berat, sebelum menjawab, “Dion… dia tidak akan membiarkan orang yang meninggalkannya begitu saja. Jika dia merasa dikhianati, dia akan melakukan segalanya untuk membuat hidup orang itu menderita. Dan aku yakin… kamu juga sudah merasakannya.”
Kata-katanya mengingatkanku pada ancaman Dion semalam. “Aku tidak takut padanya,” jawabku pelan, meski aku tidak sepenuhnya yakin dengan pernyataanku sendiri.
“Aku hanya ingin kamu berhati-hati,” lanjutnya. “Aku bisa saja memberitahumu lebih banyak, tapi aku tak yakin apakah kamu siap mendengar semuanya.”
Perasaan ingin tahu dan takut berbaur dalam pikiranku. “Aku siap mendengar apa pun. Tolong, katakan saja.”
Dia terdiam cukup lama, membuatku gelisah. Lalu, dengan suara yang terdengar hampir seperti bisikan, dia berkata, “Ada seorang pria… mantan kekasihku. Dia… dia menghilang setelah aku mulai berkencan dengan Dion. Tak ada jejak atau petunjuk. Aku mencoba mencari tahu, tapi tak pernah menemukan apa pun. Hingga akhirnya… aku menemukan fotonya di ponsel Dion. Foto itu diambil di malam terakhir kami bertemu.”
Tubuhku merinding mendengar ceritanya, rasa takut perlahan menguasai. “Apakah… apakah kau yakin itu ada hubungannya dengan Dion?”
“Aku tak punya bukti nyata,” jawabnya pelan, “tapi tak ada yang mustahil bagi Dion jika dia merasa terluka atau dikhianati. Dia bisa menjadi seseorang yang sama sekali tak kau kenal.”
Aku menelan ludah, mencoba meredam ketakutan yang merambati tubuhku. “Aku akan mengingat peringatanmu. Tapi aku rasa ini sudah cukup, terima kasih…”
Sebelum aku menutup telepon, suara wanita itu kembali terdengar, kali ini lebih mendesak. “Kirana, hati-hati dengan orang-orang di sekitarmu. Jika Dion tahu kau memiliki orang lain yang dekat… dia takkan tinggal diam.”
Pikiranku langsung tertuju pada Andi. Kekhawatiran merayapi hatiku, membuatku teringat pada tatapan penuh kekecewaan yang ia tunjukkan semalam. Bagaimana jika Dion melakukan sesuatu untuk menghalangiku mendekatkan diri pada Andi? Pikiran itu membuatku semakin gelisah.
Setelah menutup telepon, aku terduduk lemas di sofa, tatapanku kosong memandang ke arah jendela yang perlahan diselimuti sinar fajar. Seandainya Dion benar-benar berbahaya, apakah aku harus menyusun langkah untuk melindungi diri dan orang-orang yang kucintai? Namun, bagaimana caranya? Aku hanya seorang wanita biasa, tak punya cukup kekuatan untuk menghadapi ancaman sebesar ini.
Belum selesai merenung, ponselku kembali berdering. Kali ini, Andi. Dengan jantung berdebar, aku segera mengangkatnya.
“Andi?” panggilku dengan suara pelan.
“Kirana,” suaranya terdengar datar, jauh dari kehangatan yang biasa kudengar. “Aku ingin bicara.”
“Aku juga,” jawabku cepat. “Bisa kita bertemu?”
Andi terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Di taman dekat kantor, setengah jam lagi?”
“Baik,” sahutku, merasa sedikit lega tapi sekaligus takut tentang apa yang akan terjadi. Aku segera bersiap dan bergegas keluar dari apartemen.
Di perjalanan menuju taman, perasaanku campur aduk. Ada keinginan kuat untuk menjelaskan semuanya kepada Andi, namun di sisi lain, ketakutan tentang bagaimana dia akan bereaksi membuatku ragu.
Saat tiba di taman, aku melihat Andi duduk di bangku kayu, memandang ke arah pepohonan dengan tatapan sendu. Aku mendekatinya perlahan, mencoba mencari kata-kata yang tepat.
“Andi…” panggilku dengan suara pelan.
Dia menoleh, matanya menatapku dalam-dalam, seolah berusaha mencari jawaban dari setiap pertanyaan yang tersimpan dalam hatinya. “Kirana, aku benar-benar bingung dengan semuanya. Kamu bilang sudah meninggalkan Dion, tapi melihatmu bertemu dengannya kemarin… aku merasa kamu masih ada ikatan dengannya.”
Aku menggeleng, berusaha meyakinkannya. “Aku tidak ada perasaan lagi padanya, Andi. Aku hanya ingin memastikan semuanya selesai tanpa ada yang menggantung. Dia memintaku untuk bertemu, dan aku pikir… itu mungkin bisa membantuku menutup bab ini dengan baik.”
Andi menghela napas panjang. “Tapi, kamu tahu apa yang kupikirkan, Kirana? Dia memanfaatkan kelembutanmu. Dia tahu kamu masih memiliki sisi yang ingin memaafkan atau membantu, dan dia menggunakan itu untuk mendekatimu kembali.”
Aku terdiam, menyadari ada benarnya dalam ucapan Andi. Dion memang selalu tahu bagaimana cara bermain dengan perasaanku. “Aku mengerti, Andi. Aku seharusnya lebih tegas. Tapi kali ini… aku benar-benar ingin jauh darinya. Aku hanya ingin fokus pada masa depanku. Dengannya atau tanpa siapa pun.”
Tatapan Andi melunak, ada seberkas harapan di sana. “Kirana, aku ingin ada di sampingmu. Tapi aku juga tidak mau berakhir hanya menjadi pilihan kedua. Kalau kamu masih belum bisa sepenuhnya meninggalkan masa lalumu, mungkin kita sebaiknya berhenti di sini.”
Perkataan itu menghantamku seperti pukulan. “Andi, kamu bukan pilihan kedua,” jawabku pelan. “Aku hanya… aku ingin membangun hidup baru. Tapi aku butuh dukunganmu.”
Andi menatapku, seolah mencari kepastian dalam tatapanku. “Kirana, aku ingin percaya padamu. Tapi jika Dion muncul lagi… aku tidak tahu apakah aku bisa bertahan.”
Sebelum aku sempat menjawab, kami mendengar derap langkah yang mendekat. Kami berdua menoleh dan melihat seorang pria berjas hitam, membawa amplop besar, berjalan mendekat.
“Anda Kirana?” tanya pria itu.
Aku mengangguk bingung. “Ya, saya Kirana. Ada apa?”
Pria itu mengulurkan amplop dan berkata, “Ini ada surat dari pihak pengacara Tuan Dion. Dia mengajukan sesuatu terkait aset yang kalian miliki bersama.”
“Apa?” aku tergagap, tidak percaya. “Aset? Kami sudah lama tidak membicarakan aset apa pun.”
Pria itu hanya mengangguk sopan sebelum berbalik pergi, meninggalkan amplop di tanganku. Aku merasakan tangan Andi di bahuku, seolah memberi dukungan.
Saat membuka amplop itu, mataku langsung tertuju pada beberapa kata di dalam surat: "Penuntutan Hak Milik Bersama."
Dengan perasaan cemas, aku membaca lebih lanjut dan menemukan bahwa Dion mengajukan klaim terhadap sejumlah aset yang sebelumnya kami beli bersama. Ini termasuk apartemenku—tempatku bersembunyi dari dunia dan dari dirinya selama ini.
Tiba-tiba saja, nafasku terasa berat. Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku setelah semua yang dia lakukan? Aku merasa terjebak dalam perangkap yang semakin menjerat. Jika dia berhasil memenangkan klaim ini, aku akan kehilangan satu-satunya tempat yang kumiliki.
Andi, yang melihat ekspresiku, bertanya dengan khawatir, “Apa yang sebenarnya dia inginkan, Kirana?”
Aku menatapnya, air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. “Dia ingin menghancurkan hidupku, Andi. Jika aku tak bisa bersamanya, dia takkan membiarkanku hidup dengan tenang…”
Andi mengepalkan tangannya, seolah-olah ingin melindungiku dari Dion. Namun, sebelum sempat bicara, aku menerima pesan dari nomor tak dikenal.
Pesan itu hanya berisi satu baris yang membuat tubuhku bergetar, “Kamu pikir kamu bisa lari dariku, Kirana? Ini baru permulaan.”