Buku Merah Maroon seolah menebar kutukan kebencian bagi siapapun yang membacanya. Kali ini buku itu menginspirasi kasus kejahatan yang terjadi di sebuah kegiatan perkemahan yang dilakukan oleh komunitas pecinta alam.
Kisah lanjutan dari Rumah Tepi Sungai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kuku di mangkok
Udara malam kian dingin. Meski hujan sudah berhenti sepenuhnya. Nana membetulkan letak selimut di badan Gery. Laki-laki itu tertidur tetapi tampak tidak nyenyak. Wajahnya pucat dan sesekali mengigau. Melihat kondisi temannya yang seperti itu, hati Nana terasa diiris.
Nana mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Gery. Bocah laki-laki yang disebut raksasa karena tingginya yang mencolok dibandingkan teman sebaya. Dengan tubuhnya yang besar itu banyak orang menganggap Gery menakutkan. Namun nyatanya penampilan sangar hanya luarnya saja. Hati Gery lembut, dan bagi Nana terlihat kebapak an.
Bukankah seseorang akan jatuh cinta pada orang lain yang menyerupai orangtuanya? Begitupun Nana, melihat Gery seperti sosok Bapaknya. Cara dia bercanda, bahkan logat bicaranya pun mirip.
Semenjak bertemu Gery, Nana jadi menyukai olahraga basket. Lebih tepatnya suka melihat Gery bermain basket. Binar mata yang menyala saat Gery memantulkan bola benar-benar membuat Nana berdebar. Gery sangat menyukai basket. Dan karena hal itu juga lah yang membuatnya sangat tunduk pada Aldo.
Aldo memang memiliki andil dalam keberhasilan Gery memimpin tim basket sekolah. Jika Aldo tidak membujuk Bapaknya untuk membiayai ekskul basket, mana mungkin tim basket sekolah sanggup menyewa pelatih dengan harga mahal? Sayangnya hal itu dimanfaatkan oleh Aldo untuk memperbudak Gery. Jika Aldo terluka maka Gery adalah sosok pertama yang akan berlari kencang membawakan obat merah.
"Tetaplah hidup. Aku tahu kamu kuat. Lalu setelah semua ini terlewati, tidak perlu lagi merasa memiliki hutang budi pada Aldo. Sudah cukup Ger," bisik Nana. Alis Gery terlihat bergerak, seolah laki-laki itu mendengar ucapan Nana.
Perut Nana tiba-tiba berbunyi. Sedari siang dia belum makan. Melewati hari yang berat dengan perut kosong bukan pilihan yang tepat. Nana beranjak dari duduknya. Dia melangkah perlahan menuju ke ruang makan.
Suasana rumah benar-benar sunyi. Sayup-sayup terdengar bunyi langgam jawa dari lantai atas. Lirih, tetapi berhasil membuat bulu kuduk meremang. Nana mengabaikannya dan terus melangkah ke ruang makan.
Tidak ada siapapun di meja makan. Sebuah tudung saji dari anyaman bambu ada di tengah meja. Nana membukanya perlahan. Dan menemukan semur daging yang beraroma menggoda. Nana mengedarkan pandangan sejenak kemudian mengambil piring.
Suapan pertama membuat Nana langsung mengagumi cita rasa masakan Mak Ijah. Rasanya tidak berlebihan jika dikatakan semur daging dan sate buatan Mak Ijah paling enak di seluruh penjuru negri. Rempah-rempah yang berasa pas, tidak berlebihan. Aroma smoky yang tertinggal di dinding mulut saat serat daging dikunyah gigi geraham benar-benar mewah.
"Nenek satu itu seharusnya ikut kompetisi Master Sop," gumam Nana mengangguk-angguk. Makanan enak sedikit mengobati kesedihannya.
Nana menyelesaikan makan setelah bersendawa lirih. Dia menenggak air putih sembari mengamati sekitar. Saat itu dia baru menyadari ada sesuatu di dasar mangkok semur daging. Nana memungut dan mengamatinya. Ternyata sebuah kuku jari tangan manusia. Bukan potongan, tetapi utuh. Nana sedikit mual membayangkan kuku Mak Ijah lepas dan terjatuh ke dalam bumbu semur saat memasak.
Nana buru-buru menutup kembali tudung saji. Yang penting baginya sekarang, perut sudah terisi. Dia merasa siap untuk membawa Gery pergi dari hutan saat nanti ada kendaraan yang datang. Nana bertekad akan menemani Gery hingga dia sembuh.
"Hujan sudah reda. Bukankah artinya ambulance bisa datang ke tempat ini?" gumam Nana. Dia mengambil handphone di saku. Akan tetapi ternyata jaringan wifi tidak tersambung.
Nana menekan-nekan layar handphone. Sebuah tindakan yang sia-sia saja. Jaringan wifi tetap lenyap, padahal listrik menyala.
"Mungkinkah kabel yang tadi disambungkan Gery kembali lepas?" Nana menghela napas. Dia mendorong kursi dan berdiri dari duduknya.
Nana berniat untuk memeriksa ke halaman belakang. Ia melangkah gontai melewati dapur dan menemukan pintu ke halaman belakang terbuka lebar. Udara dingin berhembus meniup wajah Nana yang masih bengkak setelah menangis terus-menerus.
Melewati pintu belakang, kegelapan langsung menyergap. Di bawah pemancar wifi, samar-samar terlihat sosok yang memakai jas hujan berdiri mendongak memandangi besi dengan karat di beberapa bagian. Nana tidak dapat menerka siapa kiranya sosok yang ada di balik jas hujan itu.
"Hey, apa yang kamu lakukan? Mak Ijah?" teriak Nana. Gadis itu tidak memiliki rasa takut. Kemampuan bela dirinya yang mumpuni membuat Nana percaya diri untuk berhadapan dengan siapapun. Asalkan masih berjalan menapak tanah, Nana tidak gentar.
Sosok berjas hujan terlihat menoleh dalam kegelapan. Tidak terlihat rupa wajahnya. Namun hal itu malah berhasil membuat Nana merinding. Seolah menjadi alarm dari tubuh sebagai peringatan akan sebuah bahaya.
Terlihat cara berjalan sosok berjas hujan yang sedikit diseret. Perlahan ia mendekati Nana. Gadis itu pun bersiap dengan kuda-kudanya. Saat jarak mereka tinggal sejengkal, Nana dapat melihat wajah Pak Dolah berada di balik tudung jas hujan. Bibirnya mengulas senyum, tetapi bola matanya memancarkan kesedihan. Entah air mata atau air hujan yang membasahi pipi Sang Survivor.
"Apa yang sedang kamu lakukan di tempat ini Pak Dolah?" tanya Nana. Kaki kanannya berada di depan. Sebagai persiapan untuk memutar badan dan menendang dengan kaki kirinya.
"Tadi aku seperti mendengar sesuatu yang berisik. Setelah kuperiksa, ternyata kabel pemancar wifi putus dan terjatuh," jawab Pak Dolah sembari menunjuk kabel di bawah kakinya.
Pantas saja sinyal wifi tidak tersambung, batin Nana. Ia menaruh curiga pada Pak Dolah. Mungkin saja malah Sang Survivor yang sengaja memutus jaringan wifi. Tapi untuk apa?
"Mungkin tersambar petir," ucap Pak Dolah kemudian. Dahinya berkerut, seolah benar-benar penasaran dengan penyebab kabel wifi terputus.
"Kemana semua orang?" tanya Nana mengalihkan pembicaraan. Sosok Aldo dan Yuzi yang ditanyakan oleh Nana. Dua kawannya itu memang tidak terlihat saat ini.
"Apakah mereka tidak berpamitan padamu? Aldo dan pacarnya pergi ke tenda untuk memanggil Pak Nafi'. Sepertinya mereka berdua ingin segera pulang. Aku sempat dengar tadi katanya ada rumah yang kebakaran," jawab Pak Dolah melepas jas hujannya.
"Rumah Rana," sambung Nana setengah berbisik. Dia sudah mendengar berita tersebut dari Yuzi. Nana tersenyum sinis. Ia menduga Aldo pasti terburu-buru mengajak pulang setelah mengkhawatirkan keadaan Rina pacarnya. Gery sudah dilupakan.
"Bukankah Rana itu bocah yang belum kembali ke tenda?" tanya Pak Dolah tiba-tiba. Dia terlihat penasaran. Nana mengangguk mengiyakan.
"Di antara semua yang berangkat ke perkemahan, aku merasa hanya Rana dan Anggoro yang bukan circle pertemanan kalian. Benarkah begitu? Aku diam-diam memang mengamati kalian saat berada di mobil tadi pagi," lanjut Pak Dolah tersenyum. Nana memandangi Sang Survivor.
"Kenapa ingin tahu? Bukan urusanmu," balas Nana cepat.
Pak Dolah merogoh saku celananya. Mengambil sebuah sapu tangan yang ia janjikan sebagai reward untuk pemenang kegiatan mengidentifikasi pohon di hutan.
"Karena aku sedang mencari, siapa kiranya yang mengenal pemilik sapu tangan ini," tukas Pak Dolah. Senyum di bibirnya tiba-tiba lenyap. Berganti dengan sorot mata penuh kebencian.
Wah, ada kuku? Kuku siapa yah 🤔🤔🤔
Mak Ijah kali ya yang grubak-grubuk mutusin kabel..