kisah ini sekuel dari novel Karma pemilik Ajian Jaran Goyang.
Adjie merasakan tubuhnya menderita sakit yang tidak dapat diprediksi oleh dokter.
Wati sang istri sudah membawanya berobat kesana kemari, tetapi tidak ada perubahannya.
Lalu penyakit apa yang dialami oleh Adjie, dan dosa apa yang diperbuatnya sehingga membuatnya menderita seperti itu?
Ikuti kisah selanjutnya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Petaka3
Adjie terbaring diatas tikar. Ia mengerang kesakitan karena perutnya bagaikan di re-mas dan bagian anunya semakin membengkak.
Sosok yang bertubuh tinggi terlihat menatap Adjie dan sesaat menggumpal seperti asap, lalu terdengar suara geraman yang cukup keras dari ruangan tersebut.
Sementara itu, dari dalam tubuh Adjie, tiga sosok mengerikan keluar bersamaan dan bertarung melawan sosok tinggi tersebut.
Makhluk berbulu yang merupakan genderuwo, sosok kuntilanak, dan juga Wewe Gombel melesat menyerang sosok panjang yang tak lain Begu Ganjang peliharaan Opung Saragih.
Ketiganya saling serang dan terlihat Opung Saragih berusaha untuk mempertahankan posisinya dan membalas serangan dari ketiganya.
Hingga dimenit berikutnya, terdengar suara dentuman yang cukup keras saat petir menyambar diatas atap rumah milik pria dukun tersebut.
Wati yang terkejut sampai berjingkat dari duduknya dan memegang dadanya yang bergemuruh.
Sedangkan Opung Saragih berusaha meraih senjata tajam berbentuk sedikit ramping dan melengkung yang disebut dengan Piso Surit sebagai senjata khas bata Karo.
Ia membuka sarungnya dengan tangan yang gemetar dan terdengar bunyi gemeretak saat piso Surit terlepas dari pengamannya.
Pria paruh baya itu mengangkat senjata itu keatas. Suasana semakin memanas, sebab dikejauhan sana, Anton ternyata menyadari jika ada sebuah serangan yang datang mengancamnya.
Pria itu semakin menggila dan merapalkan mantra yang bertujuan untuk mengirimkan bala bantuan berupa iblis yang ia jaring dari berbagai arah penjuru mata angin.
Seketika angin bertiup sangat kencang dan seolah hendak merobohkan rumah sang Opung.
Baru saja Wati khawatir akan hal itu, tiba-tiba atap rumah opung terlepas dan hal itu memperlihatkan sebuah kemarahan yang cukup besar dari sang pengirim para dedemit.
Semakin Opung Saragih bertahan dengan kekuatannya, semakin besar pula bala tentara yang datang.
Kali ini disertai dengan hujan yang turun cukup deras dan membuat jendela kayu itu terhempas berulang kali, bahkan kali ini terlepas dan melayang yang mana benda itu menyasar pada sang empunya rumah yang harus terkena sambarannya.
Pria itu terhenyak. Piso Surit yang digenggamnya terlepas dan keningnya mengalami benjol d8sertai darah yang mengalir dari sudut mulutnya.
Selama ini ia selalu menang dalam melawan musuhnya.
Akan tetapi kali ini ia menyerah. Sebab Anton mengirimkan pasukan dalam jumlah yang berlipat.
Pria itu memegang dadanya. Saat bersamaan, suara petir yang menggema memecah kesunyian kembali menggelegar disertai dengan hujan angin yang cukup kencang dan menerbangkan apa saja.
Duuuuuuuaaar.....
Kembali suara petir menyambar dengan keras dan penerangan yang tiba- tiba mati total.
Adjie yang sedang sekarat menyemburkan darah dari mulutnya. Wajahnya semakin pucat dan tubuhnya kurus kering.
"Maaf, opung tidak dapat membantu kalian. Mintalah bantuan pada yang lebih kuat," pria itu menyerah. Ia tak ingin mengambil resiko yang lebih besar dengan meneruskan pengobatan untuk Adjie.
Lagi-lagi Wati harus menahan sedih karena tidak ada yang dapat membantunya, bahkan Sofyan yang ia harapkan juga tidak berkabar.
Ia bingung dengan kondisinya, dan bathinnya menjerit menahan semua beban yang ada didalam dirinya.
Malam yang semakin menuju pagi, memaksa Wati dan Adjie kembali pulang dengan ke sia-siaan.
"S-sudahlah, Dik. Jangan habiskan waktu dan uangmu untuk mengobati akang," Adjie berusaha mengingatkan sang istri.
Wanita itu tak bergeming. Ia menatap suaminya dan menggenggam jemari tangan sang pria. Ia meyakini jika masih ada harapan didalam semua usahanya.
Mobil melaju membelah kegelapan. Entah mengapa kali ini perjalanan terasa cukup panjang.
Jali yang sedang menyetir masih tampak dingin dan tidak mengucapkan sepatah katapun.
Hingga akhirnya hari mulai tampak terang, namun dipenuhi kabut embun yang tebal dan menghalangi jalan mereka sehingga harus ekstra hati-hati.
Disebuah tikungan yang cukup tajam, tepatnya dimana simpang mereka saat tersesat malam tadi, tampak beberapa pengendara turun dari kendaraannya dan mereka mengerumuni sesuatu.
Wati berusaha melongokkan kepalanya keluar untuk melihat apa yang terjadi, tetapi terhalang oleh tubuh orang-orang.
Hingga akhirnya, mobil yang meteka tumpangi berhasil melewati kemacetan yang terjadi dengan begitu mudahnya.
Akan tetapi, saat mereka dapat melintas, ia mendengar suara teriakan yang cukup keras dan itu mirip dengan suara Jali.
Wati menoleh kearah belakang, dan semua tampak gelap, karena kabut yang tebal menutupi pandangannya.
Jujur saja ia merasa sangat penasaran, namun berusaha menepis segala yang menjadi dugaannya.
Saat bersamaan, ia merasakan suhu udara yang cukup dingin. Hal itu membuat Wati menggigil kedinginan dan seolah seluruh tulang-tulangnya membeku. Ia semakin mengeratkan genggaman jemari tangannya pada pria tersebut.
Perlahan ia merasakan rasa kantuk yang luar biasa dan akhirnya tertidur dengan pulas.
Sementara itu, Adjie masih sama sekaratnya dan ia terlihat sangat berputus asa dari segala ujian yang kini ia terima sebagai bentuk karma atas perbuatannya dimasa lalu.
Tak berselang lama, suara mobil ambulance meraung cukup keras dan melaju melalui mereka, dan perlahan menghilang cukup jauh dari mobil yang mereka tumpangi.
****
Wati mengerjapkan kedua matanya saat mendengar suara jendela mobil digedor.
Ia memijat kepalanya yang terasa sakit dan menyipitkan ujung matanya untuk memperjelas pandangannya dan melihat siapa yang berada dibalik kaca jendela mobil.
Setelah memastikan jika itu tetangganya, dan ternyata mereka telah sampai dirumah, Wati menurunkan kaca jendela dan melihat orang-orang menatapnya dengan rasa penasaran serta cukup bingung.
"Ada apa ya, Kang?" tanya Wati pada Radit yang terlihat sangat gugup.
"Siapa yang menyetir mobilnya?" tanya pria itu dengan wajahnya yang memucat.
"Kang Jali," jawab Wati singkat dengan wajah mengantuk khas bangun tidur.
Seketika warga saling pandang dan hal itu membuat Wati semakin penasaran, lalu membuka pintu mobil dan keluar untuk memastikan apa yang terjadi.
"Ada apa ya, Kang?" tanyanya dengan rasa penasarannya.
"Kamu gak salah lihat jika yang menyetir itu Jali?" cecar yang lainnya dengan wajah yang semakin penasaran.
"Iya, Kang. Itu orangnya didalam mobil," Wati melongok kedalam dan ingin memperlihatkan sopir yang ia anggap.sebagai Jali, namun sayangnya pria itu tak lagi ditempatnya, mungkin sudah keluar lebih dahulu dan tidak membangunkannya yang tertidur lelap.
"Lho, kok gak ada, ya? Apa mungkin sudah pulang ke rumah," Wati menjawab dengan polosnya. "Aku bahkan belum menyelesaikan pembayaran sewa mobilnya," ia menimpali ucapannya.
Seketika Radit dan yang lainnya semakin syok dengan apa yang dikatakan oleh Wati.
Wanita itu benar-benar terlihat sangat polos dalam ucapannya dan ia tidak mengetahui apa uang sedang terjadi saat ini, dan pastinya ini sangat mengerikan dari apa yang dibayangkan.
Wati memandangi wajah tetangganya satu persatu, yang terlihat pucat mendengar ceritanya barusan.
Sesaat mata Wati tertuju pada sebuah warga yang saat ini sedang ramai dikunjungi orang-orang dengan sebuah bendera kemalangan yang terpasang didepan rumah.
ternyata kamu kembang desa tapi kekurangan. sehingga orang semena-mena sama kamu...😥
yang pasti bukan Mande kan... jauh dari kriteria...
tapi masalahnya, kenapa mereka teriak-teriak dirumah Mande . minta pertanggungjawaban...
ada apakah gerangan...???
eh maksdnya bukan anton yg hebat, tapi para jin2 nya yg hebat
begu ini apa?