Di tengah hujan yang deras, Jane Rydell, melihat seorang pria terkapar, di pinggir jalan penuh dengan luka.
Dengan tanpa ragu, Jane menolong pria itu, karena rasa pedulinya terhadap seseorang yang teraniaya, begitu tinggi.
Hendrik Fernandez, ternyata seorang pria yang dingin dan kaku, yang tidak tahu caranya untuk bersikap ramah.
Membuat Jane, gadis berusia dua puluh tiga tahun itu, dengan sabar menunjukkan perhatiannya, untuk mengajarkan pada pria dingin itu, bagaimana caranya mencintai dan di cintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KGDan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3.
Esok harinya.
Jane meregangkan tubuhnya, dan perlahan membuka matanya. Ia ternyata bangun kesiangan.
Cahaya matahari telah masuk, ke sela-sela jendela kamar apartemen, dan ia sudah harus bangun, karena sebentar lagi akan berangkat kerja paruh waktunya.
Jane menyingkirkan selimutnya ke samping, lalu turun dari atas tempat tidur.
Tunggu dulu!
Jane sesaat bingung, kenapa ia tidur di atas tempat tidur, bukankah tadi malam ia tidur di sofa?
Kepala Jane dengan cepat menoleh ke atas tempat tidur, dan melihat hanya dia sendiri saja yang ada di dalam kamar.
Ia ingat tadi malam menolong seorang pria yang terluka, tapi sekarang kenapa hanya ia sendiri saja yang ada di dalam kamar?
Jane kebingungan, ia lalu berlari keluar kamar, mungkin pria itu kelaparan, dan mencari makan untuk mengisi perutnya yang lapar.
Jane tidak menemukan pria itu di luar kamar, dan di seputar apartemennya.
"Apakah ia sudah pergi, begitu ia sadar dari pingsannya?" gumam Jane berpikir.
Jane memeriksa pintu apartemennya, terkunci seperti biasanya, tapi kunci cadangan bagian atas sudah tidak terkunci lagi.
"Berarti dia sudah pergi, begitu ia sadar dari pingsannya" gumam Jane, setelah memeriksa kunci pintu apartemennya.
Ia kembali ke kamarnya, merapikan tempat tidur, dan membuka jendela kamar, agar udara pagi masuk ke dalam kamar.
Setelah kamar rapi, ia pun masuk kamar mandi untuk sikat gigi, dan membersihkan diri, agar tubuh terasa segar.
Baru saja kakinya akan melangkah ke dalam kamar mandi, ponselnya bergetar di atas meja kecil, di samping tempat tidur.
Ia terpaksa berbalik lagi, untuk mengangkat ponselnya yang sedang bergetar.
"Halo!" jawab Jane, meletakkan ponsel ke telinganya.
"Cepat pulang!" ujar seorang pria dari dalam ponsel, kemudian ponsel di tutup begitu pria itu selesai bicara dua kata tersebut.
Jane menatap layar ponsel, matanya berkedip mendengar nada dingin, dari suara pria yang baru saja meneleponnya tersebut.
Jane memiliki seorang Ayah yang kasar dan kejam.
Ayahnya menikah lagi, setelah Ibunya meninggal satu minggu kemudian, dengan selingkuhannya, dan membawa putri hasil selingkuhannya ke rumah mereka.
Ibu tiri dan adik tiri yang selalu memprovokasi Ayahnya, membuat Jane harus keluar dari rumah itu, untuk hidup sendiri dan mandiri.
Dalam satu tahun belakangan, ia berhasil mendapat pekerjaan paruh waktu di tiga tempat, dan, berhasil menyewa sebuah apartemen dari hasil gajinya.
Ayahnya baru saja mengatakan, ia harus pulang ke rumah, yang sedikitpun ia tidak pernah menganggap rumah itu sebagai rumahnya lagi.
Jane menghela nafas dengan berat, ia begitu benci menginjakkan kakinya lagi ke rumah Ayahnya itu.
Tapi, ia harus pergi, dan melihat, apa yang ingin Ayahnya lakukan lagi padanya. Apakah ada ikut campur ke dua wanita, yang sangat di sayangi Ayahnya itu.
Setelah ia selesai mandi dan sarapan, ia pun bergegas pergi ke Mansion Ayahnya.
Begitu Jane memasuki rumah, yang dulunya tempat tinggalnya dan Ibunya, sikap dua wanita tiri, yang sekarang menggantikan posisi Ibu dan dirinya, terlihat begitu dingin menatapnya.
Mata tajam dan dingin ke dua wanita itu, membuat Jane ingin sekali menampar wajah ke dua wanita itu.
"Duduk!" perintah Ayahnya dengan datar.
Dengan sikap dingin, Jane menuruti saja apa yang di perintahkan oleh Ayahnya itu.
Jane meletakkan bokongnya, duduk di depan ketiga orang yang menatap nya dengan lekat.
Brak!
Ayahnya melemparkan sebuah map ke atas meja dengan kasar, yang nyaris hampir jatuh ke lantai.
"Grup Fernandez mengantarkan surat wasiat, yang harus kau penuhi isi wasiat nya!" sahut Ayahnya datar.
Dua wanita yang menatapnya, tersenyum mencibir penuh rasa tidak suka.
Tangan Jane meraih map tersebut, lalu membukanya, dan membaca tulisan pada sehelai kertas yang sedikit usang.
Perjanjian pernikahan, yang telah di tulis beberapa tahun yang lalu, lebih tepatnya sepuluh tahun yang lalu.
Mata Jane tidak percaya membaca surat wasiat tersebut, di dalam surat hanya tertulis putri dari keluarga Rydell.
Tidak di beritahu, siapa lebih tepatnya, yang harus memenuhi surat wasiat tersebut.
Jane mengangkat wajahnya, dan memandang Ayahnya, mencoba untuk meminta penjelasan arti dari surat tersebut.
Sementara dua wanita, yang sangat memuakkan bagi Jane, hanya terlihat cengengesan saja, tidak perduli dengan isi dari surat tersebut.
Bersambung.....