Wanita tegar dan nampak kuat itu ternyata memiliki luka dan beban yang luar biasa, kehidupan nya yang indah dan bahagia tak lagi ada setelah ia kehilangan Ayah nya akibat kecelakaan 10 tahun lalu dan Ibunya yang mengidap Demensia sekitar 7 tahun lalu. Luci dipaksa harus bertahan hidup seorang diri dari kejinya kehidupan hingga pada suatu hari ia bertemu seorang pria yang usianya hampir seusia Ayahnya. maka kehidupan Luci yang baru segera dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahayu Dewi Astuti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perubahan Tak menyenangkan
Sudah hampir seminggu sejak Luci bertanya perihal wanita idamannya ia menjadi sangat berbeda. Jarang sekali Luci mau berbincang lama dengan William, bahkan Luci tak mau dipeluk atau hanya sekedar dikecup keningnya oleh William.
Seperti pagi-pagi biasanya, kini Luci sudah bersiap-siap untuk pergi ketempat kurusnya beberapa menit lagi Sabrina akan menjemput, William bahkan hanya makan sendiri sedangkan Luci seperti kesana kemari mencari kesibukan lain.
"Luci apa kau tak sarapan?" Tanya William dengan nada lembut.
"Tidak, aku sedang diet." Jawab Luci bohong.
padahal kemarin sore saat William pulang bekerja ia melihat sampah bekas mie cup, jika bukan bekas Luci lalu bekas siapa.
"Daddy, aku akan segera turun karena Sabrina sudah hampir sampai." Ujar Luci. Ia nampak tersenyum namun itu seperti palsu.
"Tunggu, bukankah kita bisa turun bersama?" Tanya William yang sudah sangat kesal dan bingung apa yang terjadi pada hubungan mereka.
Saat lift terbuka benar saja disana sudah ada Sabrina menunggu dan tentu saja supir pribadi William. Belum saja William mengatakan satu patah kata Luci sudah pergi dan masuk kedalam mobil Sabrina.
"Ya... apa kau masih tak bicara dengan William?" Tanya Sabrina yang dijawab anggukan oleh Luci.
"Bahkan saat aku diam saja dia tak bertanya aku kenapa. Arghh menyebalkan." Jawab Luci malas.
Melihat sahabatnya menjadi kesal, Sabrina lebih memilih untuk segera membawanya pergi dari hadapan William ia tak mau semakin merusak mood Luci.
Dijalan, Luci menatap lama layar poselnya seperti orang sedang membaca pesan. Mungkin itu adalah pesan dari William.
"Apakah William mengirim pesan kepadamu?" Tanya Sabrina.
"Iya, dia hanya mengingatkanku untuk tidak lupa makan." Ujar Luci.
"Bukankah ini terlalu berlebihan? Tidak, maksudku mengapa kau tidak mengatakan yang sesungguhnya pada William. Mungkin karena faktor usianya sehingga ia tidak peka padamu." Sabrina begitu hati-hati menyampaikan kata-katanya kepada Luci.
"Lalu, aku harus mengatakan yang sesungguhnya kepada William? Arghh aku rasa itu sangat memalukan."
"Lalu sampai kapan kau akan mendiamkan pria tanpa alasan? kau tidak khawatir jika nantinya William mencari perempuan lain dan mendepakmu dari rumahnya."
"SABRINA, kau membuatku semakin merasa bersalah. Sudahlah nanti aku akan mencoba berbicara dengannya."
Kini Luci dan Sabrina sudah sampai ditempat kursus, mereka mulai bersiap karena chef akan segera datang.
disetiap pertemuan Luci dan Sabrina selalu mendapatkan pujian karena mereka sangat cekatan dan dapat mengikuti intruksi dengan sangat baik, begitupun dengan kelas hari ini hasil kocokan putih telur milik Luci dan Sabrina nyaris sempurna dan hal itu membangun suasana hati Luci menjadi lebih baik dari pada sebelumnya.
Berbeda dengan suasa hati Luci yang cepat membaik, akhir-akhir ini justru William terlihat seperti monster. Entah berapa projek yang ia batalkan karena tak sesuai keinginan nya, entah berapa banyak gelas yang ia lempar karena anak buahnya melakukan kesalahan.
Simon yang mengetahui sifat William tidak lagi terkejut, karena dulu saat Maria diketahui selingkuh William pun mengamuk seperti ini bahkan ia pernah meminta Simon untuk membawakan seseorang yang rela di bayar untuk di hajar oleh William sampai dirinya merasa puas, hingga orang itu koma selama tiga hari.
"Apakah kalian tidak becus membuat laporan semudah ini?" William murka kepada manager marketing dengan alasan laporan yang mereka buat tidak sesuai dengan keinginan William.
"Maaf Mr, ka..kam..kami akan memperbaikinya lagi." Ujar manager itu.
"PERGI!! Jangan berani-berani menunjukan wajahmu itu dihadapanku jika belum membawa laporan yang sesui." William mengusir dengan nada yang tinggi dan raut muka yang sangat marah.
"Ba..baik, Mr."
Simon membukakan pintu untuk manager itu keluar. Setelah itu Simon membawakan sebotol air untuk William karena nampaknya ia begitu kelelahan setelah 4x marah kepada pimpinan perusahaan.
"Apa kau belum mendapat info apapun tentang Maria?" Tanya William pada Simon.
"Belum tuan, bahkan saat saya bertanya pada security penjaga rumahnya, Maria tidak pernah pulang. Sepertinya dia pergi keluar negri." Ujar Simon.
William menghela napas panjang, "tetap cari tau, aku khawatir dia akan melakukan gebrakan tak terduga. Aku hanya khawatir jika itu bisa melukai Luci." Ujar William dengan nafas yang lebih tenang.
"Baik tuan."
"Ah Simon, tolong pertemukan aku dengan Sabrina sore ini tanpa sepengetahuan Luci. Ada hal yang ingin aku tanyakan padanya."
"Baik Tuan akan aku sampaikan pada Sabrina."
Kini Simon keluar dari ruangan William menuju ruangan pribadinya. Ia juga segera mengirimkan pesat singkat kepada Sabrina.
To: Sabrina
From: Simon
'Mr.William ingin menemuimu sore ini, tanpa sepengetahuan Luci.'
Pesan singkat itu telah diterima dan dibaca oleh Sabrina, hal itu membuat Sabrina tau hal apa yang akan William tanyakan padanya.
"Luci bagaimana jika kita berbelanja, aku ingin melihat-lihat pakaian tidur serta melihat beberapa makeup." Ajak Sabrina.
"Ah aku tidak dalam mood yang baik, sepertinya aku harus pulang saja." Ujar Luci yang telihat tak bersemangat itu.
"Ayolah... jika kau pulang sekarang mungkin suasana hatimu akan semakin berantakan." Sabrina terus membujuk Hingga akhirnya berhasil.
"Baiklah." Luci menerima tawaran itu.
Setelah selesai makan siang, mereka mulai menyusuri setiap tokok yang ada di Mall, bahkan Luci yang awalnya tak ingin membeli apapun tergiur untuk membeli karena Sabrina.
"Lihat lingerie itu sangat cantik!." Sabrina menunjuk sebuah pakaian tidur sexi berwarna maroon.
pakaian yang ditunjuk oleh sabrina semi transparan sehingga Luci tak percaya jika ada orang yang mau membelinya termasuk Sabrina yang tertarik dengan pakaian seperti itu.
"Tolong ambilkan aku ukuran Large ya." Ujar Sabrina pada pelayan toko tersebut.
"Sabrina, apa kau tak salah pilih? kapan kau akan mengenakan pakaian seperti itu?" Tanya Luci.
"Malam ini, aku ingin menunjukannya pada Simon." Pikiran Sabrina langsung melayang jauh entah kemana.
"APA KAU BILANG?!" Luci berkata dengan cukup kecang sehingga beberapa orang customer melirik kearah mereka.
"Ya!! Pelankan suaramu." Sabrina segera menutup mulut Luci.
"Apa kau sudah tidur dengan Simon?" Tanya Luci begitu polosnya.
"Tentu saja, itu rutinitas aku dengannya." Sabrina tertawa bangga sekaligus menggoda Luci.
"Aku tidak percaya Simon mau melakukannya denganmu, dia pria yang begitu dingin." Luci tak percaya pada ucapan sahabatnya itu hingga pada saat Sabrina menarik Luci ke kamar pass dan menunjukan beberapa tanda merah di dadanya.
"Kini kau percaya? Tidak mungkin aku melakukan ini sendiri bukan?" Sabrina tersenyum nakal pada Luci.
Luci sebenarnya tak begitu percaya, namun jika sudah mendapatkan bukti tak mungkin ia menyangkalnya.
Wakti sudah semakin sore, kini Sabrina sudah sampai di apartemen Luci.
"Thanks, sudah mengantarkanku pulang setiap hari." Ujar Luci.
"Tunggu dulu," Sabrina merogoh sebuah tas belanja dan memberikannya kepada Luci. "Ini untukmu." Ujar Sabrina sembari tersenyum lebar.
Luci melihat isi dalam tas belanja itu, rupanya sebuah pakaian tidur mini berwarna putih dan terdapat hiasan bulu-bulu dibagian dadanya.
"Mengapa kau memberikan pakaian ini kepadaku?" Tanya Luci, karena menurut Luci mungkin pakaian ini lebih akan terpakai oleh Sabrina dibandingkan dirinya.
"Ingin saja, mungkin sebentar lagi kau akan membutuhkannya." Ucap Sabrina penuh makna.