Judul: Bunga yang Layu di Hati Sahabat
Sasa dan Caca adalah sahabat karib sejak SMA. Mereka selalu bersama, berbagi impian, tawa, dan bahkan tangis. Sasa, yang dikenal lembut dan penuh kasih, melanjutkan hidupnya dengan menikahi Arman setelah menyelesaikan kuliah nya, pria yang selama ini menjadi cinta sejatinya. Sementara itu, Caca, yang masih berjuang menemukan cinta sejati, sering merasa kesepian di tengah gemerlap kehidupannya yang tampak sempurna dari luar.
Namun, retakan mulai muncul dalam hubungan persahabatan mereka ketika Caca diam-diam menjalin hubungan terlarang dengan Arman. Perselingkuhan ini dimulai dari pertemuan yang tak disengaja dan berkembang menjadi ikatan penuh godaan yang sulit dipadamkan. Di sisi lain, Sasa merasa ada sesuatu yang berubah, tetapi ia tak pernah membayangkan bahwa sahabat yang paling dipercayainya adalah duri dalam rumah tangganya.
Ketika rahasia itu terungkap, Sasa harus menghadapi penghianatan...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon icha14, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
flashback
Setelah selesai sholat Ashar, Sasa melipat sajadahnya dengan rapi. Ia menenangkan diri sejenak sebelum keluar kamar. Udara sore yang sejuk menyapa saat ia membuka pintu, mengurangi sedikit beban di dadanya. Dari ruang tengah, terdengar suara riuh canda tawa. Langkah kakinya melambat ketika melihat Ibu Salwa dan Pak Arfan sedang duduk santai di sofa sambil memperhatikan Alif yang asyik bermain mobil-mobilan di lantai. Dinda, dengan boneka kesayangannya, juga tampak sibuk di sudut ruangan.
Sasa menghampiri mereka dan duduk di kursi dekat ibunya. “Lagi ngobrol apa, Bu, Pak?” tanyanya ringan.
“Oh, kita cuma ngomongin Alif sama Dinda ini,” jawab Pak Arfan sambil tersenyum hangat. “Anak-anak sekarang cepet banget tumbuh, ya. Rasanya baru kemarin mereka masih digendong, sekarang udah lari-larian kayak gini.”
Ibu Salwa menimpali, “Iya, apalagi Dinda. Kalau lihat dia main boneka gitu, suka keinget waktu kamu kecil, Sa. Kamu tuh dulu juga sama persis kayak dia. Suka ngomong sendiri seolah-olah bonekanya beneran hidup.”
Sasa tertawa kecil mendengar cerita ibunya. “Ah, masa, Bu? Kayaknya aku nggak separah itu, deh.”
Pak Arfan terkekeh. “Ya, waktu kecil kan wajar. Ngomong-ngomong, Sa, gimana kabarnya si dedek bayi di perutmu? Sehat-sehat, kan?”
Mendengar pertanyaan itu, Sasa tersenyum lembut sambil mengelus perutnya yang mulai terlihat membuncit. “Alhamdulillah sehat, Pak. Kadang tendangannya udah mulai kerasa, lho. Rasanya bahagia banget.”
Ibu Salwa menatapnya penuh kasih. “Nanti kalau anak kembar kamu lahir, rumah ini pasti tambah rame. Kebayang nggak gimana repotnya ngurus dua bayi sekaligus?”
Sasa mengangguk sambil tersenyum kecil. “Kebayang, Bu. Tapi aku juga nggak sabar. Pasti seru banget lihat mereka tumbuh bareng-bareng.”
Percakapan itu menghangatkan suasana. Sasa membayangkan saat-saat menyusui bayinya, mendengar tangisan mereka di malam hari, dan momen bahagia melihat mereka tertawa untuk pertama kalinya. Di tengah lamunan, suara langkah kaki mendekat. Ternyata Andre dan Nia baru saja datang dari dapur, masing-masing membawa gelas teh hangat.
“Ngumpul-ngumpul rame banget di sini. Ngomongin apa, nih?” tanya Nia sambil meletakkan gelasnya di meja.
“Cuma ngobrol ringan aja. Lagi nostalgia sama Sasa waktu kecil,” jawab Ibu Salwa sambil tertawa kecil. “Eh, kalian mau ikut nimbrung?”
“Ya, jelas dong,” sahut Andre sambil menarik kursi. Ia duduk di samping Pak Arfan, sementara Nia memilih kursi di sebelah Sasa. “Btw, Sa, gimana kabar Arman? Udah sampai di mess, kan?”
“Udah,” jawab Sasa sambil tersenyum tipis. “Tadi dia sempat telepon. Katanya mess-nya lumayan nyaman, dia juga baru selesai beres-beres barang.”
Andre mengangguk. “Baguslah kalau gitu. Kamu jangan terlalu khawatir, ya. Arman pasti baik-baik aja di sana.”
Sasa hanya mengangguk, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Suasana sore itu terasa begitu hangat. Anak-anak bermain dengan riang, sementara para orang dewasa larut dalam obrolan santai. Ibu Salwa mulai bercerita tentang masa kecil Andre,Sasa dan Akbar, membuat semua orang tertawa dengan cerita-cerita lucu yang mungkin sudah hampir terlupakan.
Ketika langit mulai berubah warna menjadi jingga, Alif dan Dinda tampak mulai kelelahan. Dinda bahkan sempat merebahkan diri di pangkuan Nia. Melihat itu, Nia mengusap rambut adiknya dengan lembut. “Capek ya, Dek? Mau tidur dulu?”
Dinda mengangguk kecil. “Tapi di sini aja, Kak. Dinda mau dengerin cerita Ibu.”
Pak Arfan tertawa kecil. “Dasar anak kecil, selalu punya alasan biar nggak tidur di kamar. Ya udah, sini duduk aja sama kita.”
Suasana semakin intim ketika Ibu Salwa mulai bercerita tentang pengalaman masa mudanya. Ceritanya begitu menarik hingga Alif dan Dinda, yang tadinya terlihat mengantuk, malah mendengarkan dengan penuh antusias. Di sela-sela cerita itu, Sasa merasa damai. Kehangatan keluarganya membuat ia melupakan kegelisahan yang sempat menghantui.
Namun, saat pandangannya terarah ke Alif dan Dinda, ia tak bisa menahan diri untuk membayangkan masa depan. Ia membayangkan saat anak kembarnya nanti bermain bersama Alif dan Dinda, memenuhi rumah ini dengan tawa dan kegembiraan. Pikirannya melayang jauh, membayangkan ia dan Arman yang saling membantu mengurus anak-anak mereka. Dalam hatinya, ia berdoa agar momen itu segera tiba tanpa ada gangguan atau kesalahpahaman yang menghalangi.
Nia yang duduk di sebelahnya menepuk bahu Sasa pelan. “Kamu lagi mikirin apa, Sa? Kok senyum-senyum sendiri?”
Sasa tersentak. “Eh, nggak, Kak. Aku cuma ngebayangin nanti anak-anak main bareng di sini. Pasti rame banget.”
Nia tersenyum hangat. “Aamiin. Itu bakal jadi momen yang indah banget. Tapi kamu juga harus siap-siap, ya. Ngurus anak kembar itu butuh energi ekstra.”
“Tenang aja, Kak. Aku udah siap,” jawab Sasa penuh keyakinan.
Suasana ruang tengah yang hangat mendadak menjadi lebih ramai saat suara pintu depan terdengar terbuka. Dari arah pintu, terdengar suara lantang Akbar, adik bungsu Andre dan Sasa, yang baru saja pulang dari sekolah.
“Assalamu’alaikum!” teriak Akbar dengan nada ceria. Langkahnya bergegas masuk ke ruang tengah sambil membawa kantong plastik di tangannya. “Mana Alif sama Dinda? Ini Om Akbar bawain jajan favorit kalian!”
Alif yang sedang bermain mobil-mobilan langsung mendongak, wajahnya berubah ceria. “Om Akbar! Aku di sini!” Ia berlari kecil ke arah Akbar, diikuti oleh Dinda yang membawa bonekanya.
“Wa’alaikumsalam, Bar,” sapa Andre, menoleh ke arah adiknya. “Kok baru pulang sekarang? Lama banget. Abis ngapain di sekolah?”
Akbar, yang sudah jongkok sambil membagi jajanan untuk keponakannya, menoleh santai. “Tadi ada ekskul, Bang. Latihan futsal buat persiapan pertandingan minggu depan. Jadi agak molor pulangnya.”
Andre mengangguk paham. “Oh, gitu. Ya udah, yang penting nggak kemana-mana. Tapi besok kalau pulang telat, kabarin dulu, biar nggak ada yang khawatir.”
“Iya, iya. Tenang aja,” balas Akbar sambil tersenyum.
Ibu Salwa yang duduk di sofa ikut menimpali. “Bar, udah jam segini. Sebentar lagi Maghrib, lho. Kamu jangan lupa mandi dulu sebelum azan.”
Akbar mengangguk cepat. “Iya, Bu, habis kasih jajanan ke Alif sama Dinda, Akbar langsung mandi kok.”
Sementara itu, Alif dan Dinda sibuk menikmati telur gulung dan batagor yang dibawa oleh Om Akbar. Tawa mereka memenuhi ruangan, membuat suasana semakin hangat. Sasa yang duduk di dekat mereka ikut tersenyum, merasa bahagia melihat kebersamaan ini.
Setelah selesai membagi jajanan, Akbar beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Suara air yang mengalir terdengar dari arah kamar mandi, sementara di ruang tengah, Andre dan Nia melanjutkan obrolan mereka dengan Ibu Salwa dan Pak Arfan.
---
Tak lama kemudian, Akbar kembali ke ruang tengah dengan rambut basah dan baju santai. Ia langsung bergabung di sofa, duduk di samping Andre. “Ah, segar banget habis mandi. Jadi, tadi ngobrolin apa, nih?” tanyanya sambil mengambil segelas teh hangat yang disiapkan Nia.
“Nggak ada yang berat-berat, Bar. Cuma nostalgia sama cerita-cerita masa kecil,” jawab Andre sambil tersenyum.
“Oh ya, Kak Sasa, gimana sih rasanya nunggu anak kembar? Pasti seru, ya?” Akbar menoleh ke arah Sasa dengan penuh antusias.
Sasa tertawa kecil mendengar pertanyaan adiknya. “Seru, sih. Tapi juga deg-degan. Nggak kebayang nanti repotnya ngurus dua bayi sekaligus. Tapi aku yakin, Arman bakal bantuin aku.”
“Pasti rame banget, ya, kalau dedek bayi udah lahir,” sahut Akbar. “Alif sama Dinda bakal punya teman main baru.”
Dinda yang mendengar itu langsung berseru, “Dinda mau main sama dedek bayi nanti! Dinda juga mau ajarin mereka main boneka.”
Alif ikut menimpali, “Aku ajarin mereka main mobil-mobilan aja, Om Akbar. Pasti seru!”
Semua orang tertawa mendengar celotehan Alif dan Dinda. Suasana sore itu begitu hangat, penuh tawa dan kebahagiaan. Bagi Sasa, momen seperti ini adalah obat terbaik untuk kegelisahan yang sempat ia rasakan.