Benci Jadi cinta mengisahkan perjalanan cinta Alya dan Rayhan, dua orang yang awalnya saling membenci, namun perlahan tumbuh menjadi pasangan yang saling mencintai. Setelah menikah, mereka menghadapi berbagai tantangan, seperti konflik pekerjaan, kelelahan emosional, dan dinamika rumah tangga. Namun, dengan cinta dan komunikasi, mereka berhasil membangun keluarga yang harmonis bersama anak mereka, Adam. Novel ini menunjukkan bahwa kebahagiaan datang dari perjuangan bersama, bukan dari kesempurnaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nike Nikegea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 : menghadapi jarak
Rayhan yang sudah beberapa hari pergi untuk pekerjaan di luar kota, akhirnya kembali ke rumah. Tapi selama beberapa hari itu, Alya merasa rumah mereka mulai sepi tanpa kehadiran Rayhan. Waktu yang sibuk dengan mengurus Adam membuatnya merasa sedikit kesepian, meskipun dia tahu ini adalah bagian dari tanggung jawab sebagai orangtua.
Begitu Rayhan pulang, Alya sudah menunggunya di ruang tamu. Adam yang sedang tidur siang, membuat rumah mereka terasa lebih tenang dari biasanya. Rayhan langsung merasakan suasana yang berbeda.
“Alya, aku pulang! Bagaimana keadaan kalian?” Rayhan langsung mendekat, menyapa dengan senyum lebar.
Alya berdiri, menatapnya dengan tatapan penuh kerinduan. “Kamu nggak tahu seberapa rindu aku sama kamu, Ray. Adam juga kangen banget sama papa-nya.”
Rayhan tertawa kecil dan langsung duduk di sebelah Alya. “Aku juga kangen kalian berdua. Pekerjaan ini memang menyita waktu, tapi nggak ada yang lebih penting selain keluarga kita.”
Alya tersenyum, merasa sedikit lega meski tubuhnya masih lelah. “Aku ngerti, Ray. Tapi kadang rasanya berat, semua tanggung jawab di rumah ditambah ngurus Adam yang makin aktif. Aku merasa kayak nggak punya waktu buat diri sendiri.”
Rayhan merasakan kegelisahan di wajah Alya. “Aku minta maaf, Alya. Aku janji, aku akan lebih sering bantu kamu. Aku nggak mau kamu merasa sendirian, apalagi dengan semua yang harus kamu tangani.”
Alya menunduk, sedikit merasa terharu. “Aku tahu, Ray. Aku cuma pengen kita bisa lebih sering punya waktu bareng, tanpa terganggu kerjaan atau kewajiban lainnya.”
Rayhan menggenggam tangan Alya dengan lembut. “Aku janji, kita akan lebih banyak meluangkan waktu bersama. Kalau aku di rumah, aku akan bantu kamu sebaik mungkin. Ini bukan cuma tentang kamu dan aku, tapi tentang keluarga kita, tentang Adam juga.”
Alya mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku cuma ingin keluarga kita bahagia, Ray. Kita udah banyak berjuang sampai di titik ini. Aku nggak mau kehilangan kamu lagi.”
Rayhan mengelus rambut Alya dengan lembut. “Kita nggak akan kehilangan satu sama lain, Alya. Kita sudah kuat bersama, dan kita akan terus berjalan beriringan. Kita akan menghadapinya bareng-bareng.”
---
Beberapa minggu berlalu, dan meskipun Rayhan berusaha keras untuk memberi lebih banyak perhatian kepada keluarga, tantangan baru datang lagi. Pekerjaan Rayhan semakin padat, dan ada beberapa keputusan besar yang harus dia ambil. Bahkan saat di rumah, dia sering kali harus mengurus urusan pekerjaan yang mendesak, membuatnya semakin jarang berada di rumah pada malam hari.
Alya mulai merasa kembali terisolasi. Terkadang, meskipun Rayhan berada di rumah, dia merasa bahwa suaminya itu lebih sibuk dengan pekerjaannya daripada dengan keluarganya. Bahkan saat mereka makan malam bersama, Rayhan masih memeriksa email atau membalas pesan dari kantor.
Suatu malam, setelah Rayhan kembali pulang lebih larut dari biasanya, Alya sudah menunggu di ruang tamu. Ketika Rayhan masuk, dia langsung merasa ada ketegangan di udara.
“Rayhan, kita perlu bicara,” suara Alya terdengar tenang, namun ada rasa kesedihan yang mendalam di dalamnya.
Rayhan menatap Alya dengan cemas. “Apa ada yang salah, sayang?”
Alya menatap suaminya, mencoba mengendalikan perasaan. “Aku merasa kita mulai kehilangan koneksi, Ray. Kamu lebih sibuk dengan pekerjaanmu, dan aku merasa kayak kita nggak pernah punya waktu buat ngobrol atau menikmati momen bersama lagi. Aku butuh kamu di sini, nggak cuma secara fisik, tapi juga perhatian kamu.”
Rayhan terdiam, hatinya terasa berat. Ia tahu Alya benar, meskipun dia berusaha keras untuk menyediakan kebutuhan keluarga, dia mulai mengabaikan perasaan Alya.
“Alya… aku minta maaf. Aku terlalu fokus pada pekerjaan, aku nggak sadar kalau aku mulai jauh dari kamu. Aku nggak ingin kamu merasa seperti itu. Kamu dan Adam adalah prioritas utamaku. Aku janji, aku akan berubah.”
Alya menghela napas, menahan air mata yang mulai menggenang. “Aku nggak mau jadi istri yang harus terus mengingatkan suaminya untuk peduli, Ray. Kita sudah lama bareng, dan aku tahu kalau kita bisa lebih baik dari ini. Aku butuh kamu, Ray, bukan cuma sekedar ada di rumah, tapi juga ada dalam hidup kita.”
Rayhan merasa sangat bersalah. “Aku nggak akan biarkan ini terus berlanjut, Alya. Aku akan mulai lebih menyeimbangkan waktu antara pekerjaan dan keluarga. Aku akan lebih banyak hadir, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional.”
Alya menatapnya, merasa sedikit lega. “Aku cuma butuh waktu buat kita berdua, Ray. Jangan sampai kita kehilangan momen yang seharusnya jadi milik kita.”
Rayhan meraih tangan Alya, menatapnya dengan penuh kesungguhan. “Aku janji, Alya. Kita akan jalani semua ini bersama, seperti yang selalu kita lakukan. Aku nggak akan biarkan apa pun menghalangi kita.”
---
Hari-hari setelah percakapan itu, Rayhan mulai lebih sadar akan pentingnya waktu bersama keluarga. Meski pekerjaan tetap banyak, dia mulai mengurangi waktu lembur dan lebih sering menghabiskan waktu di rumah bersama Alya dan Adam. Mereka mulai merencanakan lebih banyak aktivitas keluarga, seperti makan malam bersama atau pergi ke taman untuk bermain dengan Adam.
Dengan waktu yang lebih berkualitas bersama, hubungan mereka mulai terasa lebih hangat. Alya merasa lebih dihargai, dan Rayhan mulai merasakan bahwa kebahagiaan keluarga adalah sumber kekuatan terbesar dalam hidupnya. Mereka mulai kembali merasakan kedekatan yang dulu sempat terabaikan.
---
Beberapa bulan setelah Rayhan mulai menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga, kehidupan mereka mulai terasa lebih stabil. Adam yang semakin besar semakin aktif, membuat rumah mereka selalu riuh dengan tawa dan kegembiraan. Alya yang kini merasa lebih bahagia karena perhatian Rayhan yang lebih besar, mulai merasa bahwa mereka sudah berada di jalur yang benar.
Namun, tidak semua berjalan mulus. Terkadang, saat Rayhan harus pergi keluar kota untuk pekerjaan, Alya merasakan kekosongan. Kehidupan mereka sebagai orangtua baru memerlukan kesabaran yang lebih besar, dan terkadang, perasaan lelah datang begitu mendalam.
Suatu malam, setelah Rayhan kembali dari perjalanan bisnis, Alya merasa ada yang berbeda. Dia duduk di meja makan, menatap suaminya dengan mata yang sepertinya penuh pertanyaan.
“Ray, aku ingin kita bicara tentang sesuatu,” suara Alya terdengar hati-hati, namun ada nada serius di baliknya.
Rayhan, yang baru saja selesai makan malam, menatap Alya dengan penuh perhatian. “Apa yang kamu pikirkan, sayang?”
Alya menggigit bibir bawahnya, mencoba memilih kata-kata yang tepat. “Aku merasa kita mulai terlalu sibuk dengan rutinitas, Ray. Aku rasa kita butuh waktu buat diri kita sendiri. Aku nggak ingin kita terjebak dalam kehidupan yang hanya berfokus pada pekerjaan dan anak.”
Rayhan terdiam, menyadari bahwa meskipun mereka sudah lebih sering bersama, perhatian Alya akan kualitas waktu masih perlu lebih dipertimbangkan. “Aku ngerti, Alya. Kadang aku juga merasa begitu. Kita berdua terlalu sibuk dengan banyak hal dan nggak sempat menikmati kebersamaan yang kita punya.”
Alya menatap Rayhan dengan penuh harap. “Aku tahu kamu sibuk dengan pekerjaan, Ray. Tapi aku juga butuh kamu. Kita berdua harus mencari waktu untuk kita, bukan hanya untuk keluarga atau pekerjaan.”
Rayhan menghela napas, merasa bahwa ini adalah percakapan yang harus mereka lakukan. “Kamu benar, Alya. Aku nggak ingin kamu merasa kesepian atau merasa kehilangan dirimu sendiri hanya karena aku terlalu fokus pada pekerjaan. Kita harus bisa menyeimbangkan ini, karena keluarga kita adalah segalanya.”
Alya mengangguk, merasa lega mendengar itu. “Aku cuma nggak mau kita jadi pasangan yang cuma ada secara fisik, Ray. Aku ingin kita punya waktu buat berbicara, bercanda, dan menikmati setiap detik bersama.”
Rayhan meraih tangan Alya, menggenggamnya dengan lembut. “Aku janji, kita akan lebih banyak meluangkan waktu untuk kita. Aku nggak akan biarkan kamu merasa sendirian lagi.”
Alya tersenyum, merasa semakin yakin bahwa mereka akan melewati semua tantangan bersama. “Aku juga janji, Ray. Kita akan tetap kuat, meskipun ada banyak tantangan di depan.”
---
Beberapa minggu setelah percakapan itu, Rayhan mulai lebih banyak meluangkan waktu untuk Alya dan Adam. Mereka mulai merencanakan liburan keluarga singkat, meskipun hanya di akhir pekan. Rayhan berusaha untuk tidak membawa pekerjaan ke rumah saat hari libur dan lebih banyak berfokus pada keluarganya. Momen seperti itu menjadi sangat berharga bagi mereka.
Suatu hari, setelah menghabiskan waktu bersama di luar rumah, mereka duduk di taman, menikmati sore yang tenang. Rayhan memandang Alya dan Adam dengan penuh kasih sayang.
“Alya, terima kasih karena kamu selalu ada buat aku dan Adam. Aku nggak tahu apa yang akan aku lakukan tanpa kamu,” ujar Rayhan dengan penuh perasaan.
Alya tersenyum, merasakan kehangatan dari kata-kata Rayhan. “Aku juga terima kasih, Ray. Kita berdua berjuang untuk keluarga ini, dan aku nggak bisa bayangin hidupku tanpa kamu dan Adam.”
Mereka duduk dalam keheningan, hanya mendengarkan tawa Adam yang bermain di dekat mereka. Kehidupan mereka memang penuh tantangan, tapi Rayhan dan Alya tahu bahwa dengan saling mendukung dan menjaga satu sama lain, mereka bisa melalui semuanya.
---
Beberapa bulan kemudian, kehidupan mereka semakin seimbang. Rayhan dan Alya mulai memiliki rutinitas yang lebih sehat, dengan lebih banyak waktu bersama, sementara pekerjaan Rayhan tetap berjalan. Adam yang semakin besar, membawa kebahagiaan yang lebih dalam hidup mereka. Meski ada tantangan dan hari-hari yang penuh lelah, mereka merasa semakin dekat satu sama lain.
Namun, kehidupan keluarga tak selalu berjalan tanpa ujian. Suatu hari, saat Rayhan dan Alya sedang menghabiskan waktu bersama di rumah, mereka mendapat kabar yang mengejutkan.
“Alya, ada sesuatu yang harus aku bicarakan dengan kamu,” suara Rayhan terdengar tegang. Dia duduk di depan Alya, menatapnya dengan serius.
Alya yang merasa ada yang berbeda, langsung menatap suaminya dengan cemas. “Ada apa, Ray?”
Rayhan menghela napas. “Pekerjaanku lagi ada masalah besar, dan aku harus pergi ke luar negeri untuk beberapa minggu. Aku nggak mau kamu merasa kesepian, tapi aku harus melakukannya.”
Alya menunduk, merasa kecewa meskipun dia tahu ini bagian dari tanggung jawab Rayhan. “Aku paham, Ray. Tapi, aku merasa kita baru saja menemukan keseimbangan, dan sekarang kamu harus pergi lagi.”
Rayhan meraih tangan Alya, menggenggamnya erat. “Aku tahu ini sulit, dan aku janji akan pulang secepat mungkin. Aku nggak ingin kehilangan kita, Alya. Ini sementara, dan kita akan terus berusaha agar hubungan kita tetap kuat.”
Alya menatap Rayhan, hatinya terasa berat. “Aku cuma berharap kita bisa terus bersama, Ray. Kita baru saja mulai menemukan cara untuk saling menjaga, jangan sampai kita terpisah lagi.”
Rayhan mengangguk, merasa sangat terbeban. “Aku akan berusaha semaksimal mungkin, Alya. Kita akan melewati ini, dan aku janji, aku nggak akan pernah jauh dari kamu dan Adam.”
---
semangat kak 🤗
sumpah aku jadi ketagihan bacanya 😁😁