Ina meninggalkan keluarganya demi bisa bersama Ranu, dengan cinta dan kesabarannya, Ina menemani Ranu meski masalah hidup datang silih berganti.
Setelah mengarungi bahtera selama bertahun-tahun, Ranu yang merasa lelah dengan kondisi ekonomi, memutuskan menyerah melanjutkan rumah tangganya bersama Ina.
Kilau pelangi melambai memanggil, membuat Ranu pun mantap melangkah pergi meninggalkan Ina dan anak mereka.
Dalam kesendirian, Ina mencoba bertahan, terus memikirkan cara untuk bangkit, serta tetap tegar menghadapi kerasnya dunia.
Mampukah Ina?
Adakah masa depan cerah untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34
Sinar matahari sore menyinari ruang tamu yang penuh dengan pernak-pernik. Bu Rahayu yang baru saja selesai mandi dan berhias alakadarnya, duduk di sofa. Jari-jarinya gemetar sedikit saat ia memutar-mutar cincin bermata ruby di jarinya, itu adalah cincin yang dulu dibelikan oleh pak Sodiq, mendiang suaminya. Wanita itu sedang harap-harap cemas. Hari sudah sore, dan Sandy belum juga pulang.
“Ibu kenapa sih?” Ratna yang melihat ibunya sedang gelisah, mengalihkan sejenak pandangan matanya dari layar kaca di depannya.
Bu Rahayu menoleh ke arah Ratna. “Suamimu itu sebenarnya kerja apa, di mana? Kok jam segini belum pulang. Biasanya kan dia jam tiga sudah di rumah?” tanya wanita tua itu.
“Ya kerja lah, Bu.” Ratna menjawab sewot. “Ngapain sih, Ibu nanya-nanya?” Dia tidak suka, ibunya terlalu ikut campur dalam rumah tangganya. Karena bagi dia, terserah apa yang dilakukan oleh suaminya, dan terserah juga kapan pulang. Yang penting dia tidak kekurangan uang belanja.
Mendengus kesal, Bu Rahayu tidak suka, Ratna terlalu cuek pada urusan suaminya. Tapi sebenarnya bukan hanya itu. Ada yang lebih dia khawatirkan. Ini adalah genap satu bulan dia menitipkan uang pada Sandy sebagai modal investasi. Uang sebesar dua juta rupiah, yang dia ambil dari menjual sebagian hasil panen. Uang itu dia titipkan pada Sandy tanpa sepengetahuan anak-anaknya.
Beberapa menit kemudian, tampak Sandy pulang dengan senyum lebar. Di tangannya ada beberapa paperbag. Bu Rahayu yang sudah lama duduk menunggu menatapnya dengan penuh harap dan sedikit curiga. Keraguan masih terlihat jelas di matanya, tetapi ambisinya yang besar telah mengalahkan rasa takutnya.
"Ibu!" sapa Sandy, suaranya penuh semangat. "Aku bawa kabar gembira!” Setelah meletakkan paperbag di atas meja, tangannya bergerak mengambil dompet di saku belakang celananya.
“Ini keuntungan dari investasi ibu bulan pertama!” Sandy mengulurkan empat lembar uang pecahan seratus ribuan.
Mata Bu Rahayu membulat, namun ia tetap berusaha untuk terlihat tenang. Setidaknya rasa cemasnya berkurang.
“Dan ini." Sandy menambahkan lagi dua lembaran merah seraya tersenyum manis. "Ini sedikit dari aku, karena bulan ini aku dapat profit besar dan juga tambahan bonus."
Bu Rahayu menerima uang itu dengan tangan gemetar. Jari-jarinya menyentuh lembaran uang itu dengan hati-hati, seolah-olah takut uang itu akan lenyap begitu saja. Ia menghitung uang itu dengan teliti, matanya berbinar-binar.
“Ibu ikutan investasi?” Ratna yang memang tidak tahu menahu bertanya. Baik ibu maupun suaminya tak pernah ada yang bercerita.
“Waah, jadi benar-benar menguntungkan, bukan penipuan?" ucap Bu Rahayu, suaranya terdengar sedikit serak. Ia masih ragu, tetapi keserakahannya telah mengalahkan keraguannya. "Kamu benar-benar hebat!"
Suara pertanyaan dari putrinya bahkan seolah kabur terbawa angin. Dia tak peduli.
Sandy tersenyum puas, menyimpan dompetnya kembali. "Ini baru sebagian kecil, Bu. Keuntungan yang lebih besar masih akan datang. Ini kan baru bulan pertama. Ibu masih akan menerima keuntungan setiap bulan, sampai ibu sendiri yang bilang berhenti dan mencabut modalnya.”
Bu Rahayu terdiam sejenak, Ia menatap uang di tangannya, kemudian menatap wajah Sandy yang tersenyum manis. Di matanya, terlihat pertarungan antara keserakahan dan keraguan. Namun, pada akhirnya, keserakahannya menang. Karena tiba-tiba saja dia merasa kurang puas. Matanya melirik beberapa paperbag yang tadi dibawa oleh menantunya. “Itu apa?” tanyanya.
“Oh ya ampun, aku lupa.” Sandy menepuk keningnya, lalu meraih paperbag itu, lalu membuka dan memperlihatkan isinya pada Ratna. “Ini Yank aku belikan kamu satu set perhiasan lagi. Mumpung aku lagi banyak untung. Di simpan ya, Yank. Ini buat tabungan masa depan kita.”
Ratna yang tadinya kesal karena merasa diabaikan kini mata dan mulutnya terbuka lebar, benar-benar tak percaya. Sekotak perhiasan mewah. Dia bahkan pernah melihat itu di iklankan oleh seorang bintang terkenal di sebuah media.
Mata Bu Rahayu yang melihat interaksi antara anak dan menantunya ikut silau. Perhiasan itu sungguh menggoda untuk dimiliki.
“Kamu coba, tapi terus disimpan ya, Yank. Jangan dibawa main ke tetangga,” ucap Sandy.
Wajah Ratna seketika berubah manyun. Padahal dia sudah punya rencana untuk membalas panas hatinya saat melihat Tika, musuh bebuyutannya memakai gelang baru.
“Aku takut ada yang sirik. Terus kamu dijahilin. Nanti kalau rusak gimana? Harganya akan turun jauh kalau dijual. Aku benar tidak, Bu?” Sandy menoleh pada mertuanya meminta dukungan.
Bu Rahayu yang masih terpukau melihat kalung, gelang dan cincin di anggota tubuh putrinya hanya mengangguk mengiyakan. Dalam hati Ia ingin juga memakainya.
“Kamu membelikan Ratna perhiasan sebanyak itu? Memangnya pendapatan kamu dari investasi berapa?” Bu Rahayu penasaran.
“Aku modal besar dong, Bu. Ibu ingat gak yang waktu itu aku pulang ke rumah mama, waktu itu aku minta modal sama mereka. Dan mereka memberikan uang hasil jual mobil sebesar dua ratus juta. Lagipula, aku kan sudah lama ikut, Bu. Jadi modalku sudah berlipat-lipat.” Sandy menjelaskan kenapa dia bisa mendapatkan keuntungan besar.
Bu Rahayu menelan ludahnya kasar. “Dua ratus juta?” pekiknya kaget.
Sandy mengangguk dan tersenyum. “Iya, Bu. Dua ratus juta. Jadi aku menerima keuntungan empat puluh juta setiap bulannya. Dan sekarang sudah balik modal Bu. Dan sudah untung berkali-kali. Makanya papa menambah lagi modal menjadi lima ratus juta.”
Mata Bu Rahayu melotot mendengar jumlah yang disebutkan oleh Sandy. Dan membayangkan keuntungan yang didapat. Pantas saja menantunya itu tampak enjoy hidupnya meskipun tak pernah terlihat bekerja.
“Tapi untuk Ibu, lebih baik modal segitu saja ya, Bu. Itu lebih aman bagi Ibu. Yaah, walaupun keuntungan cuma sedikit sihh,” ucapan Sandy seakan mencegah mertuanya untuk berinvestasi lebih banyak. Pria yang selalu berpenampilan necis itu tersenyum manis.
"Oh iya, yang ini buat Ibu." Sandy memberikan kotak perhiasan kecil yang sudah dibuka. Sebuah cincin berlian terlihat indah berkilau. "Tapi maaf ya, Bu. Buat ibu aku ngasihnya kecil. Aku kan harus utamakan istriku, Bu."
Mata Bu Rahayu membulat sempurna, cincin yang kini telah berpindah ke jari manisnya begitu menyilaukan.
***
“Mama,,,”
Ina yang sedang mengantar Andri berangkat sekolah merasa kaget, saat ada seorang anak kecil yang tiba-tiba menubruk dan merangkul kakinya. Untung dia bisa menjaga keseimbangan tubuh sehingga tidak terhuyung.
“Rara,,,!” Seorang wanita seusia dengan Ina mendekat dengan nafas tersengal. “Kenapa langsung lari, Tante masih harus cari tempat parkir tadi.”
Mendengar nama yang disebut, Ina merasa kaget. Apakah itu Rara yang sama seperti yang beberapa hari lalu berada di restorannya. Matanya memindai wanita yang baru saja datang. Cantik, seksi, dan glamor. Itu kesan yang ditangkap oleh Ina.
“Ini ibuku!” Andri berusaha melepaskan bocah kecil yang sedang memeluk kaki ibunya. “Ibumu yang itu!” Jari telunjuknya mengarah pada wanita yang baru saja datang.
“Tidak mau, ini Mama Rara,,!” Gadis kecil itu tetap tak mau melepas pelukannya.
Ina bingung, dia berusaha pelan-pelan untuk membujuk gadis kecil itu. Melipat lututnya ketika berhasil terlepas, mensejajarkan diri dengan tinggi Rara.
“Wah, ternyata Rara, ya?” Ina tersenyum hangat.
“Mama,,, kenapa Mama tidak pulang ke rumah?” Rara bertanya dengan mata berkaca-kaca.
“Ibu,,,” Andri merasa tidak suka ada anak lain yang memanggil ibunya dengan sebutan ‘Mama’
“Tunggu sebentar ya, Sayang,” Ina mencoba memberi pengertian pada Andri.
“Rara..! Sudah tante bilang, jangan bicara sama orang asing!” Bentak wanita yang mengikuti Rara. Bahkan dengan kasar wanita itu menyentak tangan Rara agar pegangannya pada Ina terlepas.
“Ini bukan orang asing, ini Mama!” Rara berteriak marah.
“Maaf, Mbak. Tidak bisakah Mbak bicara dengan halus pada anak kecil, dan Mbak menariknya seperti itu apa tidak sakit?” Walaupun Rara bukan apa-apanya, Ina merasa tidak suka gadis kecil itu diperlakukan kasar.
“Jangan ikut campur! Ini urusan saya!” Wanita itu segera menarik tangan Rara dan membawanya berjalan cepat hingga langkah gadis kecil itu terseok.
“Tidak mau, aku mau sama Mama! Mama,,,,!” Gadis itu mencoba memberontak, sebelah tangannya menggapai-gapai ingin tetap bersama Ina, tapi tentu saja kalah tenaga.
Sebenarnya Ina merasa tak tega, tapi hanya bisa menggelengkan kepalanya. Dia memang tak berhak ikut campur.
“Ibu antar masuk tidak?” tanya Ina setelah Rara dan wanita yang menyebut dirinya tante tak lagi terlihat. Lebih baik dia fokus sama Andri. Hari ini Revan dan Satria tidak masuk sekolah, karena mereka sedang berada di rumah orang tua Nabilla yang ada di luar kota.
Andri menggelengkan kepala. “Itu tadi murid pindahan dari Surabaya, Bu. Baru kelas dua.” ucapnya. Suara bocah itu terdengar sendu. Ina tertegun. Biasanya Andri bersikap acuh. Tak sekalipun membahas teman di sekolah. Ina sendiri terkadang merasa sifat Andri lebih mirip opanya daripada ayahnya.
Tapi baru saja tadi….