Firda Humaira dijual oleh pamannya yang kejam kepada seorang pria kaya raya demi mendapatkan uang.
Firda mengira dia hanya akan dijadikan pemuas nafsu. Namun, ternyata pria itu justru menikahinya. Sejak saat itu seluruh aspek hidupnya berada di bawah kendali pria itu. Dia terkekang di rumah megah itu seperti seekor burung yang terkurung di sangkar emas.
Suaminya memang tidak pernah menyiksa fisiknya. Namun, di balik itu suaminya selalu membuat batinnya tertekan karena rasa tak berdaya menghadapi suaminya yang memiliki kekuasaan penuh atas hubungan ini.
Saat dia ingin menyerah, sepasang bayi kembar justru hadir dalam perutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QurratiAini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua tujuh
Firda... merasa seperti burung kecil yang terperangkap dalam sangkar emas. “Tuan, t-tapi aku takut....”
Abraham menghela napas, lalu mendekatkan tubuhnya sedikit ke arahnya, membuat Firda tanpa sadar segera memundurkan tubuhnya hingga terpojok ke kaca mobil, sebagai gerakan refleks bentuk dari perlindungan diri.
Abraham memperhatikan semuanya dengan mata elangnya yang tajam. “Kamu tidak perlu takut. Apa yang kamu takutkan hm? Aku di sini. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu, apalagi menyakitimu. Kamu milikku, Firda. Dan aku akan melindungimu, dengan caraku.”
“Tapi...”
“Tidak ada tapi, Firda,” sela Abraham tegas. “Kamu hanya perlu percaya padaku.”
Firda menggigit bibirnya, menahan isak. Ia tahu, perdebatan ini sia-sia. Pria itu seperti tembok batu yang tidak akan pernah goyah. Ia terlalu kuat, terlalu dominan. Firda hanya bisa menunduk pasrah, menerima bahwa kehidupannya kini sepenuhnya ada di bawah kendali pria itu.
Abraham menatap Firda yang kini terisak pelan. Ada kilatan emosi di matanya, tapi ia segera mengendalikannya. “Sudah cukup menangisnya,” ujarnya dingin, meskipun nada suaranya sedikit melembut. “Air mata tidak akan mengubah apa pun.”
Firda buru-buru mengusap air matanya dengan punggung tangan. “M-maaf, Tuan...”
Abraham tidak menjawab. Ia kembali bersandar, menatap ke luar jendela dengan ekspresi dingin. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang tidak ia tunjukkan—perasaan ingin melindungi wanita mungil yang kini menjadi miliknya... sepenuhnya.
Abraham duduk dengan tenang di kursi belakang mobilnya, mengenakan setelan jas hitam yang membuat aura dinginnya semakin terasa mencekam. Di sebelahnya, Firda duduk dengan gelisah, meremas jemari tangannya sendiri hingga pucat. Sepanjang perjalanan pulang dari kediaman keluarga Handoko, perasaan Firda dipenuhi rasa takut dan tidak nyaman.
“Tuan…” Firda memulai lagi dengan suara bergetar, namun ia segera terdiam ketika Abraham meliriknya sekilas, tanpa berkata sepatah kata pun.
Di luar, hujan mulai turun, membuat suasana malam semakin dingin dan suram. Mobil mereka akhirnya telah sampai ke tujuan, meluncur perlahan memasuki gerbang mansion Abraham yang menjulang tinggi dan megah. Namun tepat ketika pintu gerbang terbuka, Abraham tiba-tiba bersuara.
“Putar balik,” perintahnya dingin kepada sopir.
Tentu saja hal itu membuat Firda maupun sopir merasa sangat terkejut. Namun, tak ada yang berani mengintervensi perintah pria itu.
“Baik, Tuan.” Sopir menjawab tanpa ragu, segera memutar arah mobil. Mobil para pengawal yang mengiringi perjalanan mereka dengan sikap ikut turut serta memutar arah mengikuti ke mana mobil yang Abraham tumpangi kini melaju.
Firda menoleh dengan cepat, matanya membesar karena terkejut. “Tuan, apa yang—”
“Diam,” potong Abraham tanpa memandang Firda. Suaranya rendah, namun tegas, cukup untuk membuat Firda kembali terdiam.
Firda menelan ludah, mencoba menahan gejolak rasa cemas yang tiba-tiba memenuhi dadanya. Kenapa mereka memutar arah? Sebenarnya... Tempat mana lagi yang ingin Tuan Abraham tuju?
Ketika mobil telah berhasil melewati gerbang mansion kembali untuk keluar, Firda akhirnya tak bisa menahan diri lagi. “Tuan, mau kemana kita?” tanyanya lirih, hampir seperti bisikan.
Abraham akhirnya memalingkan wajah, menatap Firda dengan tatapan tajam. “Kita ke rumah pamanmu,” jawabnya singkat.
Firda langsung tertegun. Napasnya tercekat, dan matanya membesar penuh rasa panik. “K-ke rumah paman? Untuk apa, Tuan?”
“Ada yang harus aku selesaikan,” jawab Abraham dengan nada yang tak membuka ruang untuk pertanyaan lebih lanjut.
Namun, Firda tak bisa menahan ketakutannya. Tubuhnya mulai gemetar. Pikiran-pikiran buruk memenuhi kepalanya. Apa yang akan Tuan Abraham lakukan? Kenapa dia ingin kembali ke rumah paman dan bibinya di malam seperti ini? Dan... Kenapa sangat tiba-tiba?
Firda meremas tangan lebih erat. Hatinya terus berbisik dengan prasangka buruk. Apa mungkin Tuan Abraham ingin melakukan sesuatu yang… mengerikan? Meskipun paman dan bibi Firda sangat kejam selama ini, tetapi Firda tetap merasa sangat khawatir jika sampai terjadi sesuatu kepada mereka.
“T-tuan, aku mohon…” Firda mulai menangis tanpa sadar karena kepanikan yang berhasil mengendalikannya. Firda ketakutan dengan prasangkanya sendiri. “Jangan lakukan apa pun yang bisa membuat mereka terluka. Mereka... Tapi a-aku—”
“Berhenti bicara.” Suara Abraham memotong Firda dengan tajam. Matanya menyipit, menatapnya seperti elang yang mengintai mangsa. “Memangnya kamu pikir apa yang akan kulakukan, Firda? Jangan menatapku seperti aku seorang penjahat. Atau kamu benar-benar ingin aku melakukan sesuatu yang kamu pikirkan itu?”
Firda langsung membungkam mulutnya dengan tangan, mencoba menahan tangisnya. Ucapan Tuan Abraham yang begitu tenang sukses membuat rasa takut firdas semakin meningkat. "J-Jangan, Tuan... maafkan aku," pintanya lirih menyadari kesalahannya yang telah membuat pria itu merasa tersinggung.
Namun, naasnya Abraham tak memberikan reaksi apa pun... Hanya menampilkan raut datarnya yang setia di wajahnya. Membuat Firda... hanya bisa berdoa di dalam hati agar malam ini tidak berakhir dengan kekacauan besar.
Mobil mewah Abraham berhenti di depan rumah sederhana milik paman dan bibi Firda. Hujan masih turun, menciptakan genangan air di sekitar halaman yang penuh tanah becek. Cahaya lampu dari dalam rumah redup, menunjukkan bahwa penghuninya saat ini telah beristirahat.
Ketukan keras di pintu rumah membuat Bambang, Wati, dan Laras terbangun dari kenyamanan mereka. Bambang membuka pintu dengan tergesa-gesa, hanya untuk langsung tertegun melihat sosok Abraham berdiri di depan pintu rumahnya.
“Tuan Abraham?” Bambang tergagap, matanya membelalak.
Tanpa basa-basi, Abraham langsung masuk ke dalam rumah, mengabaikan genangan air di sepatunya. Firda mengikuti di belakangnya dengan gemetar, kepalanya tertunduk.
“Ada apa ini?” Wati muncul dari ruang tengah, diikuti oleh Laras yang terlihat kebingungan.
Abraham berhenti di tengah ruangan dan berbalik menghadap Bambang. Tatapannya tajam dan penuh tekanan. “Aku ingin melangsungkan akad nikah malam ini,” ujarnya tegas.
Semua orang di ruangan itu membeku.
“Akad nikah?” Bambang bertanya dengan suara gemetar, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
“Ya,” jawab Abraham datar. “Malam ini juga. Anda wali Firda, jadi segera siapkan semuanya.”
Firda mendongak dengan kaget, air matanya kembali menggenang di pelupuk matanya. “T-tuan… sekarang? Tapi—”
“Apa aku terlihat ingin menunggu?” potong Abraham, menatap Firda dengan tajam.
Wati dan Laras saling pandang, terlihat bingung dan gugup. Bambang hanya bisa mengangguk dengan canggung. “B-baiklah, jika itu yang Anda inginkan, Tuan…”
Sebuah meja kecil di ruang tamu sederhana itu menjadi tempat berlangsungnya akad nikah. Bambang duduk di depan Abraham sebagai wali, sementara sopir dan pengawal Abraham berdiri di belakang sebagai saksi. Firda duduk di sisi lain, wajahnya tertunduk, tubuhnya gemetar tanpa henti.
Abraham melafalkan ijab kabul dengan suara lantang dan tanpa ragu sedikit pun. Bambang menyelesaikan perannya sebagai wali dengan patuh, meskipun jelas terlihat ketakutan terhadap sosok Abraham Handoko yang saat ini tengah duduk dengan penuh wibawa tepat di hadapannya.