Warning.!!! 21+
Anindirra seorang single parent. Terikat perjanjian dengan seorang pria yang membelinya. Anin harus melayaninya di tempat tidur sebagai imbalan uang yang telah di terimanya.
Dirgantara Damar Wijaya pria beristri. Pemilik perusahaan ternama. Pria kesepian yang membutuhkan wanita sebagai pelampiasannya menyalurkan hasratnya.
Hubungan yang di awali saling membutuhkan akankah berakhir dengan cinta??
Baca terus kisah Anindirra dan Dirgantara yaa 🤗🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon non esee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 04
Menjelang berakhirnya waktu jam kerja.
Anin masih disibukkan dengan pekerjaan. Matanya nampak serius menghadap komputer. Sesekali Anin nampak mengedipkan mata tanda lelah mulai menyerangnya.
Jari-jari lentiknya bergerak lincah di atas keyboard meja kerjanya. Mengejar waktu agar beberapa sisa laporan segera terselesaikan. Menginggat sang buah hati sudah menunggunya di rumah sakit.
Keberadaan Alea menjadikannya wanita yang kuat. Tetapi kerapuhan sedang menggerogotinya saat ini, selain korban dari perceraian. Alea harus terbaring lemah karna pnyakitnya.
Menekuk kepalanya ke kanan dan ke kiri. Merenggangkan tangan ke atas sambil menenggadahkan dagunya Anin membuang rasa lelahnya.
"Hahh!... Ahirnya selesai juga."
Segera Anin membereskan barang barang pribadinya, merapihkan diri bersiap untuk pulang. Beberapa karyawan sudah mulai membubarkan diri tanda jam kerja sudah berakhir. Ia menengok ke samping kanan tempat meja kerja Dewi berada. Dewi juga sedang merapihkan barang bawaannya.
"Wi kamu duluan saja ya." Anin beranjak dari tempat duduknya.
"Kamu mau kemana An?"
"Aku mau ke toilet dulu Wi."
"Ok, aku duluan ya. Bye An… sampai bertemu besok. Salam untuk Alea ya"
"Ya, akan kusampaikan."
**
Keluar dari dalam toilet. Anin menerima panggilan telfon dari nomor tidak dikenal. Anin kemudian menggeser tombol hijau pada layar, menempelkan benda pipih itu ketelinganya.
"Halo.."
"Dengan Anindirra?"
"Iya, maaf ini dengan siapa?"
"Naik ke lantai tujuh belas. Temui saya. Sekarang!" Suara tegas terdengar.
Belum sempat ia bertanya. Pria di ujung telfon sudah mengakhiri pangilannya. Tiba-tiba hatinya merasa tidak tenang. Anin bingung, apa ada kesalahan yang dia lakukan.
"Mbak Anin." Seorang OG mengejutkannya. "Haduhhh Mbak! Saya cari-cari gak taunya disini. Mbak di tunggu di ruangan Tuan Dirga. Ruang kerja CEO. Sudah ya mbk kerjaan saya belum selesai."
"Eeh. Mbaakk." belum juga Anin bertanya. Wanita yang memakai seragam office girl itu sudah pergi menjauh.
"Ada apa ya?" Anin membeo.
"Oh, ya tuhan! Apa karna kejadian tadi siang. Belum selesai masalah ku sudah datang masalah yang baru."
Sampai di lantai tujuh belas, segera Anin mencari ruangan yang bertuliskan CEO. Mengepalkan tangan Anin mengetuk pintu dengan pelan. Terdengar suara berat khas pria terdengar dari dalam ruangan.
"Masuk!"
Anin membuka pintu dengan perlahan.
"Tuan memanggil saya?" Anin memastikan.
"Silahkan duduk!" nada memerintah terdengar jelas dari pria itu. Dirga duduk di sofa menyilangkan kaki panjangnya.
Dengan wajah pias Anin menghela nafas. Mengatur detak jantungnya. Ia berjalan mendekat sesuai perintahnya.
"Kamu Anindirra?" pria itu bertanya setelah Anin mendudukkan bokongnya di sofa.
"Iya, Tuan.." Anin menjawab dengan menunduk.
Tanpa basa-basi pria tersesebut mengungkapkan keinginannya.
"Aku akan membantumu menyelesaikan masalahmu. Aku akan memberikan uang untuk operasi putrimu."
"Hah!!... Bagaimana Tuan?" Anin bertanya.
"Maksud Tuan?" Anin bertanya kembali memastikan sesuatu yang belum di pahaminya.
"Kamu akan menerima uang yang kamu butuhkan. Dengan syarat temani aku tidur malam ini!" tanpa basa basi pria itu langsung mengucapkan keinginannya.
Seketika otaknya membeku. Anin masih mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya.
"Ma-maksud Tuan apa?" Anin tergagap, terperanjat. Mendengar ucapan pria dihadapannya. Jantungnya seperti dihantam palu hingga meremukkannya. Sebagai wanita Anin merasa tersinggung.
Wajahnya memerah menahan amarah.
Dengan suara bergetar ia berkata.
"Saya memang sedang membutuhkan uang Tuan!! Tapi bukan berarti Tuan bisa merendahkan saya!!" intonasi suaranya meninggi.
"Tidak terpikir sedikitpun di pikiran saya menjual diri ke siapapun!" Anin sedikit berteriak. Dia sudah tidak perduli kalau laki-laki yang dihadapannya adalah pemilik perusahaan tempatnya bekerja.
Kelopak matanya mulai berkaca-kaca. Tanpa pikir panjang Anin beranjak dari sofa berjalan meninggalkan pria itu menuju pintu keluar. Saat tangannya memegang knop pintu. Pria itu berkata penuh ketegasan.
"Aku tidak main-main Anindirra! Aku serius menginginkanmu. Jika kamu berubah pikiran. Kamu bisa menghubungi nomor telfonku."
Sejenak Anin memejamkan matanya. Menghembuskan nafas berat. Tanpa menengok ke belakang. Ia melangkah keluar dengan membanting pintu.
Anin keluar dari gedung kantor saat udara sudah mulai petang. Segera ia memesan taksi online, berharap cepat sampai dimana buah hatinya berada.
Rasa sedih menyerangnya hatinya. Mengingat ucapan dari pria yang baru saja di temuinya. Kemarahan menguasai pikirannya. Rasanya ingin terus mengumpat dan tak ingin berhenti.
Anin meraba dadanya yang terasa sesak. Perasaan resah yang datang tiba-tiba. Seperti sebuah firasat, bahwa akan terjadi suatu hal yang akan membekuknya.
*
*
Tidak terasa Anin sudah sampai di depan gedung rumah sakit. Turun dari mobil, ia berjalan cepat di sepanjang lorong rumah sakit. Ia menuju ruangan rawat inap bertuliskan kamar dahlia. Kamar tempat Aleanya berada.
Membuka pintu, masuk ke dalam ruang perawatan. Anin melihat Ibunya sedang menangis, duduk di kursi dekat pembariangan Alea.
"Bu, kenapa menangis? Ada apa?" ia khawatir melihat Ibunya menangis.
Di lihatnya wajah Alea semakin pucat. Pergelangan tangannya yang kecil terlihat membiru. Menunjukkan luka baru. Ada bekas pencarian jalannya infusan.
"Menjelang ashar tadi Alea anfal An, detak jantung Alea beberapa detik sempat terhenti. Ia tidak bisa bernafas." sambil menyeka airmata Bu Rahma menyampaikan apa yang di alami Alea sore tadi.
Anin tersentak! Telapak tangannya reflek menekan dadanya. Tubuhnya tiba-tiba melemas. Mendengar kondisi Alea yang semakin memburuk.
"Selain keajaiban dari tuhan. Syukurlah para Dokter segera membuatnya kembali bernafas. Ibu sempat ingin menelfonmu, tapi Ibu khawatir akan membuatmu panik. Jadi Ibu putuskan menunggumu sampai pulang. Alea harus segera di operasi secepatnya. Apa kamu sudah mendapatkan pinjaman dari perusahaan?"
"Sudah Bu." tanpa berpikir lagi ia memilih berbohong demi menenangkan Ibunya. Selain memikirkan Alea. Ia tidak tega melihat raut wajah Ibunya yang nampak terpukul. Selain Alea wanita tua inilah sumber kekuatannya.
****
Bersambung❤️
karna saya sadar diri..
saya ga bisa nulis cerpen..
hee