Dalam hidup, cinta dan dendam sering kali berdampingan, membentuk benang merah yang rumit. Lagu Dendam dan Cinta adalah sebuah novel yang menggali kedalaman perasaan manusia melalui kisah Amara, seseorang yang menyamar menjadi pengasuh anak di sebuah keluarga yang telah membuatnya kehilangan ayahnya.
Sebagai misi balas dendamnya, ia pun berhasil menikah dengan pewaris keluarga Laurent. Namun ia sendiri terjebak dalam dilema antara cinta sejati dan dendam yang terpatri.
Melalui kisah ini, pembaca akan diajak merasakan bagaimana perjalanan emosional yang penuh liku dapat membentuk identitas seseorang, serta bagaimana cinta sejati dapat mengubah arah hidup meskipun di tengah kegelapan.
Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti sebenarnya dari cinta dan dampaknya terhadap kehidupan. Seiring dengan alunan suara biola Amara yang membuat pewaris keluarga Laurent jatuh hati, mari kita melangkah bersama ke dalam dunia yang pennuh dengan cinta, pengorbanan, dan kesempatan kedua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susri Yunita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13. Malam Ini Hanya Milik Kita
Di dalam mobil, keheningan masih menyelimuti mereka. Dante terus menggenggam tangan Amara tanpa ada niat melepaskannya, jari-jarinya yang hangat terasa semakin menenangkan bagi Amara, walau tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Amara merasa damai, meski hatinya terusik oleh rasa bersalah yang perlahan mulai menyeruak.
Mobil terus melaju, hingga akhirnya berhenti di depan sebuah panti asuhan kecil yang terlihat hangat dan sederhana. Dante turun, membuka pintu untuk Amara, lalu menatapnya dengan sorot mata yang dalam.
"Ini tempat yang spesial buatku," katanya lembut. "Di sini… ibuku dulu mengabdikan hidupnya, merawat anak-anak panti ini. Tempat ini penuh kenangan tentangnya. Aku sering ke sini untuk mengenangnya, dan meneruskan apa yang ia lakukan," kata Dante sambil melepaskan sabuk pengaman di depan Amara.
sementara, Amara mendengarkan dengan hati yang tersentuh, perasaan cintanya pada Dante semakin dalam. Di balik sosoknya yang kaya raya, ternyata lelaki ini menyimpan hati yang lembut dan penuh kasih. Melihat Dante berinteraksi dengan anak-anak di panti itu, ia merasa terhanyut, tetapi juga semakin dihantui oleh kebohongannya.
"Hei... kalian belum pada tidur?" sapanya penuh dengan keceriaan yang langka.
"Mereka belum mau tidur saat tahu Tuan akan datang," jawab salah seorang pengasuh di sana. semua anak-anak itu terlihat antusias dan berebut posisi untuk dekat dengan Dante. Semuanya seolah punya cerita penting yang akan mereka sampaikan pada saat Dante datang mengunjungi mereka.
Amara yang begitu terpesona, diam-diam mengeluarkan ponsel dari sakunya, dan memotret lelaki di hadapannya.
Di dalam hati ia berkata, "Betapa indahnya mata itu," bisiknya memfokuskan objek di fotonya pada Dante yang dikelilingi oleh anak-anak polos itu. Setelah satu per satu mereka menerima hadiah yang sebelumnya telah disiapkn oleh Ben, asisten Dante, anak-anak itu kembali tidur.
"O ya, dimana, Deva?" tanya Dante.
"Ada di kamarnya Tuan, dari tadi dia membicarakan Tuan, badannya panas tinggi, tapi sekarang suhunya sudah normal" seorang ibu berumur akhir 50 an menjawab. Ia lalu menuntun Dante dan Amara untuk bertemu dengan Deva, bocah yang sedang mereka bicarakan. Dante, kembali menggandeng tangan Amara untuk ikut dengannya menemui Deva.
Amara merasa seolah masuk ke dalam dunia yang baru. Dunia lain dari seorang Dante Laurent yang tak pernah ia duga sebelumnya.
"Maaf Tuan Dante, tadi kami terpaksa menghubungi asisten Anda, untuk memberi tahu keadaan Deva. Karena anak itu terus menanyakan kapan Anda akan datang memeluknya" si Ibu yang begitu nampak sabar menjelaskan pada Dante.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya kan sudah bilang, kalau ada apa-apa hubungi saja. Lagi pula, ini salah saya yang belum sempat ke sini karena berbagai urusan akhir-akhir ini," jawab Dante.
Mereka pun tiba di hadapan bocah lelaki yang terbaring lemah.
"Papa, Dan...?!" si bocah bernama Deva menghambur kepangkuan Dante saat ia tersadar kalau di depannya sudah ada orang yang ia cari.
"Iya, Papa Dan, sudah datang, sekarang kau senang?" tanya Dante sambil mengelus kepala Deva yang memeluknya erat.
"Kenapa Papa, Dan ... lama sekali datangnya?"
Dante diam sesaat sebelum menjawab, "Karena Papa, kemarin juga sakit," katanya jujur.
"Apa Papa Dan, sudah sembuh?"
Dante mengangguk, "Emm," katanya
"Papa Dan sudah sembuh, karena, Papa Dan rajin minum obat dan makan sayur, sekarang kau mau minum obat juga ya?" si bocah mengangguk.
"Mau makan juga?" ia mengangguk lagi.
"Oke, anak pintar..." ucap Dante membujuk.
Tak lama setelah itu, Deva melonggarkan pelukannya di leher Dante, dan berbisik pelan, "Papa, apa dia ibu guru cantik yang kau ceritakan waktu itu?"
Dante tersenyum, sampai matanya tertutup, karena Amara yang ada di hadapaannya, bisa mendengar dengan jelas. Ia pun akhirnya mengangguk sebagai jawaban untuk Deva.
Entah apa yang diceritakan oleh Dante tentangnya pada bocah itu, Amara tak memghiraukan, hingga ia bisa menyapa Deva dengan hangat.
"Halo, Tuan kecil, apa kau mau menjadi muridku?" sapa Amara sambil mengulurkan tangannya.
Bocah itu tersenyum dan mengangguk. dia berjanji akan menjadi anak baik dan murid yang manis. "Aku tidak akan nakal, oya, Papa Dan, cita-citaku, sudah nambah dua lagi ... nanti, aku besar mau jadi wali kota, sama jadi polisi, untuk melindungi Papa dan ibu guru, dan teman temanku, semua yang ada di sini"
Semua yang ada di ruangan itu tertawa saat Deva ingin menjadi Wali Kota. sepertinya bocah itu baru mendapat kosa kata baru, karena sepertinya wali kota adalah cita-cita yang jarang terpikir dan diluar jangkauan anak seumurannya.
"Wah, ibu guru, akan mendukungmu jafi Wali Kota, biar kota kira menjadi indah," katanya.
"Hore..." bocah itu bersorak.
"Maukah ibu guru sering datang kemari bersama Papa Dan...?" pintanya dengan nada memelas.
Amara sempat terdiam sebelum akhirnya menjawab, "Baik lah calon, Wali Kota," katanya antusias. Bocah itu memeluknya.
Setengah jam berlalu, akhirnya Deva tertidur dengan begitu tenang di pangkuan Dante.
Terlihat wajah lega dan syukur di wajah para ibu yang mengurus panti.
"Kami pamit dulu, bu, kalau ada apa-apa, jangan sungkan memberi tahu," kata Dante.
"O ya, perkenalkan, ini istriku," sambung Dante tanpa ragu memperkenalkan Amara sebelum brnar-benar berlalu.
Amara tersenyum sambil mengulurkan tangannya ke pada si ibu.
"Namaku..."
"Amara Daisy, bukan?" si ibu langsung memotong dengan senyuman lembut seolah dia sudah tahu banyak tentang Amara.
"Pannggil aku, ibu, Jiah. Aku kepala pengurus di sini" sambung wanita itu masih dengan senyum lembutnya.
"Terima kasih sudah mau datang. Lain kali, kalau ada waktu, datanglah kemari bersama Tuan Muda, lihat lah ... kedatangan kalian seperti angin sejuk di tengah gurun pasir bagi mereka" si ibu memohon dengan kerendahan hati.
"Baik, bu. Nanti aku akan sering datang kemari," jawab Amara.
----
Selesai dari panti, Amara dan Dante melanjutkan perjalanan ke sebuah pantai yang sepi, namun indah.
"Amara, kita sudah sampai," bisik Dante pada Amara yang hampir terlelap.
"Ini ... kenapa kita tidak pulang saja?" tanya Amara sedikit bingung.
"Apa kau begitu ingin pulang?" Dante bertanya dengan nada berat. Amara diam sesaat sebelum menggelengkan kepalanya pelan.
"Tidak juga," jawabnya pendek. Ia lalu keluar dari mobil dan berjalan ke arah pantai, digiring oleh tiupan angin malam yang dingin. Amara sengaja membawa dirinya ke bawah sinar bulan yang memantul di atas laut.
"Aku jarang pergi ke pantai," kata Amara lirih.
"Kau tak suka pantai?" Dante bertanya penasaran, Amara mengangguk.
"Aku lebih suka dataran tinggi, padang rumput dan bunga liar," jawab Amara.
"Kalau begitu, apa kita sebaiknya pulang saja?" tanya Dante terdengar kecewa.
"Tapi mulai sekarang, sepertinya aku akan suka, sangat suka" jawaban Amara sedikit membingungkan Dante.
"Kenapa?"
"Karena aku baru tahu, ternyata pantai juga menyimpan keindahan seperti ini" jawab Amara dengan tatapan dalam ke mata Dante. "Ada pantulan bulan di sini ... begitu indah" katanya terus menatap mata itu, hingga akhirnya ia menjatuhkan air dari matanya sendiri.
"Hey ... kenapa nangis?" Dante menundukkan kepalanya ke wajah Amara dan berbisik pelan, "Ada apa? emm? Apa aku salah bicara?" kata Dante semakin bingung. Amara masih tertunduk, lalu berkata, "Boleh kah aku memelukmu?" katanya mengejutkan Dante. Lelaki itu diam sejenak, lalu tanpa menjawab pertanyaan itu, ia meraih tubuh istrinya itu ke dalam pelukannya dengan lembut.
"Menangis lah, kalau itu perlu. Aku di sini, akan mendengarkanmu, aku di sini, akan menunggumu" bisiknya hangat.
"Dante..." bisik Amara pelan
"emm..."
"tipe orang seperti apa yang sangat kau benci di dunia ini?"
"kenapa bertanya begitu?"
"nanti juga kau akan tahu" jawab Amara.
"Aku tidak membenci siapapun, tapi aku sangat tidak suka pada penghianatan"
mendengar jawaban itu, Amara melepaskan Dante dari tubuhnya. Ia menatap mata lelaki di hadapannya, dan berkata, "Jika suatu hari nanti aku mengecewakanmu, tolong jangan maafkan aku, ya?" katanya.
Dante terdiam sembari melepaskan jas yang dikenakannya, "Aku yakin kau tidak akan melakukan itu" jawabnya, sementara tangannya sibuk membungkus tubuh Amara agar lebih hangat dengan jas tersebut.
"Dante..." Amara meraih tangan Dante denan tatapan serius. "Ada hal penting yang ingin ku katakan padamu.." katanya dengan suara bergetar. "Akan ku katakan lain kali, aku belum siap malam ini" sambungnya.
Dante meraih kedua sisi bahunya, dan berkata, "aku akan selalu menunggumu" katanya lalu mengecup kening istrinya lembut.
Malam itu, adalah milik mereka berdua. Di bawah sinar bulan, Amara merasa bahagia sekaligus bersalah. Cintanya pada Dante begitu nyata, namun bayangan kebohongannya terus menghantui. Meski begitu, ia membiarkan dirinya menikmati momen itu, tenggelam bersama Dante dalam kebahagiaan sementara yang mungkin tak akan bertahan lama.
Keesokan harinya, Ia terbangun di sisi Dante, dengan kepalanya beralaskan lengan lelaki itu. Ia tersentak, lalu mengatur nafasnya sekian menit untuk kembali stabil, selama itu, ia menatap lebih dekat wajah Dante.
"Benarkah ini suamiku? " bisiknya tak percaya pada dirinya sendiri sembari menelusuri setiap detail wajah Dante yang begitu menyilau di matanya. Hidungnya, alisnya, matanya, hingga tak terasa tangannya menyentuh tiap bagian itu dengan lembut.
Dante yang merasakan itu, kemudian menangkap basah Amara. Ia meraup tangan Amara yang nakal ke dalam genggamannya, dengan mata yang masih terpejam, ia mengecup tangan wanita tersebut dan menarik Amara lebih dekat. Amara menahan napas karena malu, sementara Dante membuka perlahan matanya,dan menatap Amara dengan berbisik, "Apa kau begitu merindukan suamimu?" godanya. Amara terlalu bahagia untuk menjawab.
Hhingga akhirnya kebahagiaan itu disapu habis oleh sebuah pesan yang tiba-tiba masuk ke ponselnya...
bersambung..