Please, Zielle. Jangan kepikiran itu sekarang!
Gue pura-pura cek keadaan Asta, merapikan selimutnya biar kelihatan sibuk. Tiba-tiba, Anan muncul dari sisi lain kasur. Gue lihat dia sambil mengeluarkan sepatu.
"Lo lagi ngapain, sih?" tanya gue, tapi dia diam saja, malah lanjut melepas sepatu terus mulai buka kancing kemejanya. "Anan!"
"Lo kira gue bakal pulang dalam keadaan kayak begini?" Dia pasang muka memelas, bikin napas gue hampir berhenti. "Lagian, enggak baik buat lo tidur sendirian sama cowok."
"Oh, jadi baiknya gue tidur sama dua cowok sekaligus, gitu?"
Anan mengabaikan omongan gue dan melepas kemejanya.
Ya ampun, Pangeran, tolonglah!
Pipi gue langsung panas, merah kayak tomat. Ternyata dia punya tato lain di bagian bawah perut dan di sisi kiri dadanya. Tangan dia mulai ke arah kancing celananya.
"Stop! Jangan! Kalau lo lepas celana, lo tidur di lantai!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesta
Harga diri gue terselamatkan karena Si Bibi Rambut Kucing nongol, jadi gue bisa keluar dari obrolan yang menyesakkan ini. Tapi, hati gue ingin tahu apa yang sebenarnya mau Anan ucapkan sebelum pembantunya memotong.
Dia mau hancurkan hati gue lagi?
Atau mau ngomong hal lain?
Gue enggak akan pernah tahu.
“Enggak ada apa-apa kok,” jawab Anan singkat sambil mengembalikan kalung gue, terus langsung cabut.
Gue senyum ke Bibi sebelum gue keluar dari ruang game dengan tubuh gemetar karena baju yang sedikit basah. Pas gue masuk ruang tengah, gue lihat Anan bersandar di tembok, tangannya dilipat di dada. Tatapannya mencari mata gue, tapi ekspresi dinginnya bikin gue susah buat menebak apa yang lagi ada di pikirannya.
Pandangan gue pindah ke Asta yang lagi duduk santai di sofa sambil memainkan HP. Tapi, tiba-tiba cewek cakep yang barusan bareng Anan di kolam muncul dari dapur sambil bawa piring isi Nugget.
Rambutnya basah, matanya hitam legam kayak malam, dan wajahnya manis. Badannya aduhai, pakai baju pantai transparan yang nyeplak tali Bra di dalamnya, gaya berjalannya kayak model.
Dia tahu dia cantik, dan dia suka itu. Pandangan matanya langsung ke Anan pas dia ngomong. “Gue bikinin satu ayam sama satu ham.”
Anan senyum ke dia, dan pas gue kira hati gue sudah enggak bisa lebih hancur lagi, ternyata bisa. Mereka kelihatan nyaman banget satu sama lain.
Anan ambil piringnya. “Makasih, gue udah laper banget, dan barbequenya masih lama.”
Cewek itu menengok ke arah kita dan memperhatikan gue, alis kecilnya langsung naik pas mata kita ketemu. “Oh, hai, gue enggak tahu kalian ada di sini.”
Asta langsung mengenalkan kita. “Anggi, ini Zielle, tetangga kita.”
Anggi mengulurkan tangannya dengan ramah, dan gue sambut. “Senang kenal lo, Zielle.”
“Sama-sama,” jawab gue, sambil melepas tangannya.
“Udah siap buat nyebur ke kolam?”
“Enggak, sebenarnya gue udah mau pulang.”
“Ah, jangan! Gue penasaran, tahu? Sama cewek yang udah jadi tetangga si bego-bego ini, dari kecil.” Dia melingkarkan tangannya di pundak gue, kasih gue setengah pelukan. “Enggak nyangka baru ketemu sekarang.”
Semuanya menunggu jawaban gue. Gue enggak bisa diam di sini, enggak untuk kedua kalinya. Tapi Asta kelihatan nungguin, matanya penuh harap dan, untuk kedua kalinya, gue memutuskan buat tetap tinggal demi dia. “Ya udah deh, cuma sebentar aja, ya.”
Kita balik ke kolam, dan mata gue otomatis ke arah gengnya Anan. Dia jalan ke sisi gue dan bisikan sesuatu. “Jauhin dia.”
Gue tahu dia lagi ngomong in Tom “Gue enggak harus ngikutin apa kata lo.”
Anggi melepas baju transparannya sambil senyum lebar. “Waktunya nyebur, guys!”
Dia langsung menyelam ke air, menciprati semua orang, dan gue mundur selangkah. Asta enggak mau kalah, melepas kaosnya dan lompat menyusul Anggi.
Anggi muncul lagi ke permukaan. “Ayo, Anan! Nunggu apa lagi?”
Gue perhatikan dia kayak orang bego, bibir yang pernah cium gue dengan begitu manis, perut six-pack yang pernah gue sentuh pas dia ambil keperawanan gue, punggung yang gue cengkeram pas dia ada di dalam gue.
Aduh, Zielle!
Darah langsung mengalir deras ke muka gue, pipi gue panas dan gue buru-buru alihkan pandangan.
Anan ketawa. “Lo merah banget. Lagi mikirin apa, sih?”
“Enggak mikirin apa-apa,” jawab gue cepat-cepat.
Gue bisa merasakan nada sombong di suara dia. “Atau lo lagi ingat sesuatu?”
“Zielle!” teriak Dino dari meja, kasih isyarat biar gue ke sana.
“Iya, bentar!”
Baru juga gue mau jalan, Anan tarik lengan gue. “Gue bilang jauhin dia.”
“Dan gue bilang, gue enggak harus nurut sama lo.”
“Gue udah ngasih tahu lo.” Sebelum gue bisa cerna apa yang dia bilang, Anan malah seret gue ke arah kolam.
“Enggak, enggak, Anan! Jangan!” Gue berusaha lepaskan diri, tapi kekuatannya jelas jauh lebih gede daripada gue. “Please! Jangan, Anan, jangan!”
Tapi terlambat, jeritan gue lepas ketika Anan lompat bawa gue sekalian. Air langsung menyambut, bikin baju gue menempel basah di badan.
Buih-buih keluar dari mulut waktu gue mencoba naik ke permukaan. Seketika megap-megap pas muncul dari air, dan refleks merangkul leher Anan, pegang dia erat-erat. Dia pegang pinggang gue, badan kita menempel, muka kita hanya berjarak beberapa senti.
Mata birunya bikin jiwa gue meleleh. “Gercep banget, nyerang gue gitu?”
Walaupun pertanyaan dia nyebelin, gue enggak melepaskan dia. Rambut gue menempel di dua sisi wajah gue. “Enggak jago berenang gue.”
Dia angkat satu alis, kaget. “Lo enggak bisa berenang?”
“Bisa sih, tapi enggak jago,” jelas gue, sedikit malu.
Posisi kita dekat dan bibirnya bikin gue khilaf. “Bawa gue ke bagian yang cetek, dong.”
“Terus gue mesti buang kesempatan ini? No way.” Dia nyengir, nunjukin gigi putihnya yang rapi. “Gue mau nikmatin dulu sebentar, gue mau nempel terus kayak gini.”
“Dasar mesum.”
“Gue yang mesum?”
“Iya.”
Badan dia begitu panas, kulitnya halus. “Siapa yang punya full-episode Game of Throne di laptopnya, coba?”
Mata gue langsung membelalak kaget, rasa malu enggak muat lagi di badan gue.
Astaga.
Gue salah apa sampai harus merasakan malu begini?
Tangan Anan masih kokoh di pinggang gue. “Gue enggak nge-judge lo, cuma bilang kalau lo itu enggak sepolos kelihatannya, penyihir.”
“Nonton series enggak bikin gue jadi mesum.”
“Masak lo mau bilang lo enggak kepancing pas lihat adegan-adegan panas itu?”
Gue alihkan pandangan. “Gue...”
Tangannya turun ke luar paha gue, mengangkat kaki gue biar melingkar di pinggang dia. “Gue yakin lebih dari sekali lo pernah ngebayangin ada yang sentuh lo kayak gitu, keras dan tanpa basa-basi.”
Astaga, gue harus jauh-jauh dari Anan secepatnya.
Napas gue mulai berat dan enggak teratur, air di sekitar kita beriak pelan. “Lo gila.”
Dia pakai tangan yang sarunya buat menyingkirkan rambut basah dari wajah gue. “Dan lo cantik banget.”
Dunia ini mendadak berhenti, gue enggak napas, enggak gerak. Gue tenggelam di dalam matanya.
“Anan! Zielle!” Anggi memanggil kita dari bagian kolam yang cetek. “Saatnya main game.”
Anan berdehem dan mulai bergerak ke sana. Pas sampai bagian cetek, gue buru-buru melepaskan diri dari dia, muka gue masih merah padam.
Sebelum gue bisa gabung sama Anggi dan Asta, Anan condong buat membisikkan sesuatu di telinga gue. “Gue bisa jadi apa pun yang lo bayangin, dan kapan aja selama lo mau, penyihir mesum.”
Gue langsung membeku, dan dia jalan ke arah gengnya kayak enggak pernah terjadi apa-apa.
Dasar Psikopat.