Semua ini berawal dari kata sandi sambungan Wi-Fi di rumah gue. Kedengarannya sepele, kan?
Tapi percaya, deh, lo salah besar kalau mengira ini cuma hal kecil yang enggak bakal bisa mengubah nasib seseorang.
Sekarang, kata sandi itu bukan cuma gue yang tahu, tapi juga mereka, tiga lelaki keren dari keluarga Batari yang tinggal di belakang rumah gue.
Bukan karena gue pelit, ya.
Tapi ini masalah yang jauh lebih besar, menyangkut harga diri gue sebagai seorang perempuan. Karena begitu dia tahu isi kata sandi itu, gue yakin hidup gue bakal berubah.
Entah akan jadi lebih baik, atau justru makin hancur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesta
Harga diri gue terselamatkan karena Si Rambut Kucing nongol, pas banget buat basa gue keluar dari obrolan yang bikin sesak ini.
Tapi hati gue penasaran ingin tahu apa yang mau Anan ucapkan sebelum pembantunya memotong.
Dia mau hancurkan hati gue lagi?
Atau mau ngomong hal lain?
Gue enggak akan pernah tahu.
“Enggak ada apa-apa kok,” jawab Anan singkat sambil mengembalikan kalung gue, terus langsung cabut.
Gue senyum ke Bibi sebelum gue keluar dari ruang game.
Gue gemetar, baju gue rada basah. Pas gue masuk ruang tengah, gue lihat Anan bersandar di tembok, tangannya dilipat di dada. Tatapannya mencari mata gue, tapi ekspresi dinginnya bikin gue susah banget menebak apa yang dia pikirkan.
Pandangan gue pindah ke Asta yang lagi duduk santai di sofa sambil mainkan HP.
Tapi tiba-tiba, cewek cakep yang barusan bareng Anan di kolam muncul dari dapur sambil bawa piring isi Nugget.
Rambutnya basah, matanya hitam legam kayak malam, dan wajahnya manis banget. Badannya aduhai, pakai baju pantai transparan yang nyeplak tali Bra di dalamnya, dan jalannya kayak model.
Dia tahu dia cantik, dan dia suka itu. Pandangan matanya langsung ke Anan pas dia ngomong. “Gue bikinin satu ayam sama satu ham.”
Anan senyum ke dia, dan pas gue kira hati gue sudah enggak bisa lebih hancur lagi, ternyata bisa. Mereka kelihatan nyaman banget satu sama lain.
Anan ambil piringnya. “Makasih, gue udah laper banget, dan barbequenya masih lama.”
Cewek itu menengok ke arah kita dan memperhatikan gue, alis kecilnya langsung naik pas mata kita ketemu. “Oh, hai, gue enggak tahu kalian ada di sini.”
Asta langsung mengenalkan kita. “Anggi, ini Zielle, tetangga kita.”
Anggi mengulurkan tangannya dengan ramah, dan gue sambut. “Senang kenal lo, Zielle.”
“Sama-sama,” jawab gue, sambil melepas tangannya.
“Udah siap buat nyebur ke kolam”
“Enggak, sebenarnya gue udah mau pulang.”
“Ah, jangan! Gue penasaran banget pingin tahu lebih banyak tentang cewek yang udah jadi tetangga si bego-bego ini, seumur hidup.” Dia melingkarkan tangannya di pundak gue, kasih gue setengah pelukan. “Enggak nyangka baru ketemu sekarang.”
Semuanya menunggu jawaban gue. Gue enggak bisa diam di sini, enggak untuk kedua kalinya.
Asta kelihatan nungguin, matanya penuh harap dan, untuk kedua kalinya, gue memutuskan buat tetap tinggal demi dia. “Ya udah deh, cuma sebentar aja, ya.”
Kita balik ke kolam, dan mata gue otomatis ke arah gengnya Anan. Anan jalan ke sisi gue dan bisikan sesuatu. “Jauhin dia.”
Gue tahu dia lagi ngomong in Tom “Gue enggak harus ngikutin apa kata lo.”
Anggi melepas baju transparannya sambil senyum lebar. “Waktunya nyebur, guys!”
Dia langsung menyelam ke air, menciprati semua orang, dan gue mundur selangkah. Asta enggak mau kalah, melepas kaosnya dan lompat menyusul Anggi.
Anggi muncul lagi ke permukaan. “Ayo, Anan! Nunggu apa lagi?”
Gue perhatikan dia kayak orang bego, bibir yang pernah cium gue dengan begitu manis, perut six-pack yang pernah gue sentuh pas dia ambil keperawanan gue, punggung yang gue cengkeram pas dia ada di dalam gue.
Aduh, Zielle!
Darah langsung mengalir deras ke muka gue, pipi gue panas dan gue buru-buru alihkan pandangan.
Anan ketawa. “Lo merah banget. Lagi mikirin apa, sih?”
“Enggak mikirin apa-apa,” jawab gue cepat-cepat.
Gue bisa merasakan nada sombong di suara dia. “Atau lo lagi ingat sesuatu?”
“Zielle!” teriak Dino dari meja, kasih isyarat biar gue ke sana.
“Iya, bentar!”
Baru juga gue mau jalan, Anan tarik lengan gue. “Gue bilang jauhin dia.”
“Dan gue bilang, gue enggak harus nurut sama lo.”
“Gue udah ngasih tahu lo.”
Sebelum gue bisa cerna apa yang dia bilang, Anan malah seret gue ke arah kolam. “Enggak, enggak, Anan! Jangan!”
Gue berusaha lepaskan diri sambil panik, tapi kekuatannya jelas jauh lebih gede daripada gue. “Please! Jangan, Anan, jangan!”
Tapi terlambat, jeritan gue lepas pas Anan lompat bawa gue sekalian.
Air langsung menyambut gue, bikin baju gue menempel basah di badan.
Buih-buih keluar dari mulut gue waktu gue mencoba naik ke permukaan. Gue megap-megap pas muncul dari air, dan refleks merangkul leher Anan, pegangan erat-erat.
Dia pegang pinggang gue, badan kita menempel, muka kita cuma beberapa senti.
Mata birunya bikin jiwa gue meleleh. “Gercep banget, nyerang gue gitu?”
Walaupun pertanyaan dia nyebelin, gue enggak melepaskan dia. Rambut gue menempel di dua sisi wajah gue. “Enggak jago berenang gue.”
Dia angkat satu alis, kaget. “Lo enggak bisa berenang?”
“Bisa sih, tapi enggak jago,” jelas gue, sedikit malu.
Posisi kita dekat banget dan bibirnya terlihat bikin khilaf. “Bawa gue ke bagian yang cetek, dong.”
“Dan buang kesempatan buat nempel begini sama gue? No way.” Dia nyengir, nunjukin gigi putihnya yang rapi. “Gue mau nikmatin dulu sebentar.”
“Dasar mesum.”
“Gue yang mesum?”
“Iya.”
Badan dia panas banget, kulitnya halus. “Siapa yang punya full-episode Game of Throne di laptopnya, coba?”
Mata gue langsung membelalak kaget, rasa malu enggak muat lagi di badan gue.
Astaga.
Gue salah apa sampai harus merasakan malu begini?
Tangan Anan masih kokoh di pinggang gue. “Gue enggak nge-judge lo, cuma bilang kalau lo enggak sepolos kelihatannya, penyihir.”
“Nonton series enggak bikin gue jadi mesum.”
“Masa lo mau bilang lo enggak kepancing pas lihat adegan-adegan panas itu?”
Gue alihkan pandangan. “Gue...”
Tangannya turun ke luar paha gue, mengangkat kaki gue biar melingkar di pinggang dia. “Gue yakin lebih dari sekali lo pernah ngebayangin ada yang sentuh lo kayak gitu, keras dan tanpa basa-basi.”
Astaga, gue harus jauh-jauh dari Anan secepatnya.
Napas gue mulai berat dan enggak teratur, air di sekitar kita beriak pelan. “Lo gila.”
Dia pakai tangan yang sekarang bebas buat menyingkirkan rambut basah dari wajah gue. “Dan lo cantik banget.”
Dunia gue mendadak berhenti, gue enggak napas, enggak gerak. Gue cuma tenggelam dalam matanya.
“Anan! Zielle!” Anggi memanggil kita dari bagian kolam yang cetek. “Saatnya main game.”
Anan berdehem dan mulai bergerak ke sana. Pas sampai bagian cetek, gue buru-buru melepaskan diri dari dia, muka gue masih merah padam.
Sebelum gue bisa gabung sama Anggi dan Asta, Anan condong buat membisikkan sesuatu di telinga gue. “Gue bisa jadi apa yang lo bayangin kapan aja, penyihir mesum.”
Gue langsung beku, dan dia jalan ke arah gengnya kayak enggak ada apa-apa.
Dasar si Pangeran gila.