Akhir diskusi di majelis ta'lim yang dipimpin oleh Guru Besar Gus Mukhlas ternyata awal dari perjalanan cinta Asrul di negeri akhirat.
Siti Adawiyah adalah jodoh yang telah ditakdirkan bersama Asrul. Namun dalam diri Siti Adawiyah terdapat unsur aura Iblis yang menyebabkan dirinya harus dibunuh.
Berhasilkah Asrul menghapus unsur aura Iblis dari diri Siti Adawiyah? Apakah cinta mereka akan berakhir bahagia? Ikuti cerita ini setiap bab dan senantiasa berinteraksi untuk mendapatkan pengalaman membaca yang menyenangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hendro Palembang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dampak Perbuatan Asrul
Insiden pembakaran chip sebagai barang bukti kejadian peperangan di Jurang Neraka yang telah dilakukan oleh Asrul berdampak besar pada istana negeri akhirat. Bahkan Siti Adawiyah sulit mendapatkan obat untuk Asrul, karena disabotase oleh KUTINA, yaitu Kepala Umum Tabib Istana Negeri Akhirat.
Di depan kediaman Asrul, Surti terlihat gelisah, mondar-mandir seperti sedang menunggu seseorang. Siti Adawiyah yang melihatnya langsung menegur.
"Surti. Apa yang sedang engkau lakukan? Kenapa aku lihat sedari tadi sepertinya engkau sedang gelisah?"
Surti memasang wajah canggung. "Ah.. Tidak kenapa-kenapa. Bukan urusanmu. Eh, daripada engkau kepo, mendingan engkau ambil obat gih.. Obat untuk Panglima. Engkau bisa ambil di balai obat istana."
"Tidak bisa! Aku sangat sibuk!" Siti Adawiyah menjawab.
"Engkau harus mengambilnya. Aku sedang ada urusan."Surti memaksa.
Dengan berat hati, Siti Adawiyah pergi juga untuk mengambil obat Panglima. Akhirnya Siti Adawiyah pergi ke balai obat Istana. Didepan pintu balai obat istana, Siti Adawiyah dihadang oleh penjaga balai.
"Apa keperluan nona kemari?"
Siti Adawiyah menjawab. "Aku hendak mengambil obat untuk Panglima."
Penjaga balai menjelaskan. "Maaf nona, Kepala Tabib belum pulang. Beliau telah pergi dua hari yang lalu. Jika nona mau mengambil obat, silahkan kembali saat beliau pulang."
Siti Adawiyah hendak memastikan kapan untuk datang kembali. "Kapan Kepala Tabib pulang?"
Penjaga balai menjawab. "Saya tidak mengetahuinya, nona. Saya tidak berani untuk mempertanyakannya. Silahkan nanti nona datang kembali."
Siti Adawiyah tidak bertanya lebih lanjut, dia langsung pulang. Dalam perjalanan pulang, Siti Adawiyah bertemu dengan Maelin.
"Maelin.. Kebetulan sekali aku bertemu denganmu. Tadi saya ke balai obat. Penjaga balai mengatakan bahwa disana tidak ada Ketua Tabib. Berani sekali dia berbohong."
Maelin menjawab. "Mana mungkin penjaga balai berani berbohong. Jika dia mengatakan disana tidak ada Ketua Tabib, berarti memang tidak ada. Ayo ikut aku, mungkin aku bisa memberikanmu obat untuk Panglima."
Didalam balai obat, Maelin mencari obat yang cocok untuk Asrul. "Beginilah dampak dari sikap Panglima. Obat untuk Panglima juga tidak disediakan oleh Ketua Tabib. Nah. Ini ada sedikit obat yang berguna untuk Panglima. Bawalah."
"Kenapa Ketua Tabib tidak menyediakan obat untuk Panglima?" Siti Adawiyah merasa heran.
"Hmm.. Mungkin engkau tidak mengetahui bahwa Ketua Tabib adalah saudara kembar nyonya Sa'diyah. Engkau tahu sendiri apa sikap nyonya Sa'diyah terhadap Panglima." Maelin menjelaskan.
"Apakah begitu besarnya hukuman untuk Panglima hanya karena membakar chip barang bukti peperangan?" Siti Adawiyah tidak mengerti.
"Perlu engkau ketahui bahwa dengan perbuatan Panglima menghilangkan barang bukti, berarti Panglima telah mengakui kesalahannya yang telah membunuh seluruh prajuritnya. Hukuman tahanan luar adalah hukuman yang tidak setimpal dengan perbuatannya. Seandainya hal ini dilakukan oleh orang lain selain Panglima, maka sudah pasti hukuman mati sebagai ganjarannya. Istana negeri akhirat sedang dalam keadaan tidak aman. Aku hanya bisa membantu segini. Ketua tabib telah memberikan instruksi, aku tidak bisa menolaknya. Bawalah obat ini dan berikan kepada Panglima. Setelah itu, segeralah pulang ke lembah taman seribu bunga. Disana engkau akan aman dijaga oleh guru. " Maelin menjelaskan.
Sebelum pergi, Siti Adawiyah mencoba membuka fikiran Maelin. "Maelin, engkau pasti pernah mendengar bahwa ada seorang petugas istana yang mengurus perihal wabah di alam dunia. Pekerjaannya yang menyebarkan wabah adalah atas perintah penguasa istana negeri akhirat. Dan engkau telah menyelinap di alam dunia untuk mengatasi masalah wabah. Walaupun hal itu adalah sebuah pelanggaran, engkau tetap melakukannya, karena engkau memiliki sebuah prinsip. Kini aku sedang menghadapi kasus yang sama. Aku juga memiliki sebuah prinsip seperti yang pernah engkau lakukan. Aku mengerti, kita sebagai makhluk rendah tidak pantas ikut campur urusan kalangan atas. Tapi inilah cara aku bertahan hidup. Baiklah, terimakasih atas obat ini. Aku pamit."
Ketika Siti Adawiyah telah sampai di kediaman Asrul, Siti Adawiyah tidak melihat Surti. Justru yang dilihatnya adalah Bianca.
"Siti Adawiyah. Apakah engkau telah mendapatkan obatnya?"
Siti Adawiyah menjawab. "Ya. Aku telah mendapatkannya. Eh, kenapa engkau disini? Dimana Surti?"
Bianca menjawab. "Jenderal Surti sangat khawatir dengan dirimu. Dia takut engkau akan menghadapi kesulitan dalam mendapatkan obat untuk Panglima. Beliau telah menyusul kamu ke balai obat. Apakah engkau tidak bertemu dengannya?"
"Aku tidak bertemu dengannya. Apa yang Surti khawatirkan dariku? Apa yang bisa menghalangiku?. Bawalah obat ini. Aku akan pergi ke lembah taman seribu bunga. Jika Panglima bertanya keberadaanku, katakan bahwa aku sedang menyelinap untuk hiling. Aku butuh refreshing." Siti Adawiyah berpesan kepada Bianca.
"Sedikit sekali obatnya? Ini hanya cukup untuk beberapa hari."
Siti Adawiyah menghela nafasnya. "Hmm.. Hanya segitu yang bisa aku usahakan. Jangan katakan kepada Surti, nanti akan dipermasalahkannya. Juga jangan katakan kepada Panglima, nanti dia akan marah."
"Panglima tidak akan tahu, belakangan ini Panglima sibuk dengan kesendiriannya, sepertinya beliau sedang meningkatkan kemampuan khalwatnya." Bianca tersenyum.
"Bagaimanapun, jangan membuat Surti khawatir. Tunggu hingga aku kembali." Setelah berpesan, Siti Adawiyah segera meninggalkan Bianca.
Sementara itu, Surti sedang mengunjungi kediaman Zeus. Karena Surti tidak melihat orang di ruangan itu, Surti masuk kedalam dan memperhatikan peralatan milik Zeus. Surti takjub melihat berbagai peralatan pengatur kehidupan makhluk di alam dunia. Semuanya terlihat canggih. Ketika Surti menyentuh sebuah alat berbentuk lingkaran waktu, Zeus datang dan melarang Surti menyentuh barang tersebut.
"Jangan engkau sentuh barang itu! Alat itu sangat sensitif, bergeser sedikit akan terjadi fluktuasi yang mungkin akan terjadi perubahan besar dalam pengaturan takdir makhluk di alam dunia."
"Ups.. Maaf, maaf." Surti segera bergerak mundur.
"Kenapa engkau kemari?" Zeus tidak menyangka kalau Surti datang mengunjunginya.
Surti berkacak pinggang. "Tentu saja aku ingin mengunjungimu. Bukankah engkau telah berjanji untuk menemuiku? Seharian aku menunggu, engkau tidak juga datang. Makanya aku datang kemari."
Zeus menjawab. "Aku sedang sibuk. Setelah pekerjaanku selesai, aku pasti akan mengunjungimu."
"Baiklah, aku pulang dulu. Aku menunggumu datang kerumahku." Surti melangkah keluar ruangan itu.
"Bagaimana jika aku tidak sempat kerumahmu? Zeus berkata dengan maksud tidak berjanji.
"Maka aku akan kembali kemari. Tenang saja, aku nanti kemari saat engkau tidak sibuk." Surti mengancam Zeus.
"Baiklah, baiklah. Engkau jangan kemari, tunggu saja aku yang akan datang kerumahmu." Zeus tampak khawatir.
Surti meninggalkan Zeus sambil tersenyum. 'Padahal dahulu aku dan Zeus sangat dekat, setiap hari bertemu. Tapi kini kenapa kami seperti orang asing?'
Sementara itu, Asrul yang sedang berkholwat didalam kamarnya, dia terbayang kejadian saat dia bertarung dengan raja Iblis.
Raja Iblis mengancam Asrul. "Asrul! Engkau tidak bisa membunuhku. Sudah terlalu banyak orang yang telah engkau bunuh. Lambat laun engkau juga akan kerasukan!"