Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.
Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.
Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hujan Reda
20.1. Hujan Reda
Hujan yang mengguyur masjid selama berjam-jam akhirnya mulai reda. Suara derasnya air yang membentur atap perlahan-lahan menghilang, digantikan oleh suara gemericik air yang mengalir dari saluran air. Semua orang di dalam masjid menghela napas lega, tetapi ketegangan yang masih tersisa membuat suasana tetap tegang.
Ulama mengangkat tangan, memberi tanda untuk menenangkan semua orang. “Alhamdulillah, hujan sudah reda. Kita bisa keluar dan melihat keadaan di luar,” ujarnya, berusaha mengembalikan semangat jamaah.
Pemuda yang tadi tersedak dan kentut, sekarang terlihat lebih ceria meskipun masih menggigil. “Ayo, siapa yang berani keluar duluan?” tanyanya, sedikit menggoda.
“Biar saya yang pergi!” jawab Amir, bersemangat. “Siapa tahu ada sesuatu yang menarik di luar.”
Dengan hati-hati, mereka mulai bergerak menuju pintu keluar. Ketika pintu dibuka, aroma segar dari tanah yang basah langsung menyambut mereka. Semua orang melangkah keluar dengan rasa ingin tahu, menyaksikan dunia yang seakan-akan terbangun kembali dari tidur panjangnya.
Di luar, mereka melihat genangan air yang mengalir di jalan. Beberapa orang mulai mengangkat kepala, memperhatikan langit yang kini terlihat cerah dengan beberapa awan putih bersih. Namun, di antara keindahan itu, banyak yang terkejut melihat kerusakan yang ditinggalkan hujan deras.
“Lihat, atap masjidnya bocor!” seru seorang jamaah, menunjuk ke arah bagian atap yang mulai berlubang.
“Mungkin kita perlu memperbaikinya segera,” saran ulama, wajahnya serius. “Ini bisa jadi masalah di masa mendatang.”
Ketika mereka mulai membersihkan area sekitar masjid, suasana berubah lebih ceria. Beberapa orang mulai bercanda, saling melempar air dari genangan, tawa mulai terdengar kembali.
“Jangan khawatir, kita akan membangun kembali semuanya,” kata ulama dengan semangat. “Kita adalah umat yang kuat, dan setiap ujian hanya akan membuat kita lebih dekat satu sama lain.”
Sambil membersihkan, mereka berbagi cerita dan pengalaman selama hujan. Momen-momen lucu dari insiden di dalam masjid mulai diceritakan, menambah suasana kebersamaan.
Ketika langit semakin cerah dan sinar matahari mulai menembus awan, mereka semua merasa harapan baru muncul. Dalam ketidakpastian yang ada, persatuan dan semangat untuk terus berjuang menjadi kekuatan mereka.
“Mari kita bersyukur atas hujan ini,” ucap ulama. “Meski penuh tantangan, Allah selalu memberikan jalan bagi hamba-hamba-Nya.”
20.2. Langit Biru Cerah
Setelah hujan reda, awan hitam yang menggantung dengan cepat menghilang, memberikan jalan bagi langit biru cerah yang tampak begitu menawan. Namun, sinar matahari yang kembali bersinar membuat suasana menjadi terik dan menyengat, menyentuh kulit mereka yang masih basah.
Ulama menatap langit, merasakan sinar matahari yang hangat. “Alhamdulillah, Allah memberikan kita kesempatan untuk melanjutkan hidup. Tapi kita harus bersiap, karena panas ini bisa sangat ekstrem,” ujarnya, sambil mengelap peluh yang mulai mengucur di dahinya.
Pemuda yang sebelumnya menggigil, kini berusaha mendinginkan diri dengan menempatkan tangan di depan wajahnya, merasakan hangatnya sinar matahari. “Wah, sepertinya kita harus mencari cara untuk mengatasi panas ini,” katanya, sedikit mengeluh.
“Bagaimana kalau kita membuat semacam tempat teduh di dekat masjid?” saran Amir. “Kita bisa menggunakan bahan-bahan yang ada, seperti ranting dan daun.”
“Ide bagus!” seru salah satu jamaah. “Kita harus bekerja sama untuk membuat tempat yang nyaman.”
Mereka mulai bergerak, mengumpulkan bahan-bahan yang ada di sekitar. Dalam suasana penuh semangat, tawa dan obrolan mulai memenuhi udara. Meski terik menyengat, semangat kebersamaan dan rasa syukur atas hujan yang telah memberikan kehidupan baru kepada tanah membuat suasana menjadi lebih ceria.
Sementara itu, seorang anak kecil berlari-lari di antara mereka, menggenggam bola kecil yang terbuat dari daun. “Lihat! Aku bisa bermain bola!” teriaknya, mengundang tawa dari orang-orang dewasa.
Ulama tersenyum melihat anak itu. “Anak-anak adalah sumber kebahagiaan kita. Mereka memberi kita harapan untuk masa depan.”
Di tengah kesibukan mereka membangun tempat teduh, mereka tidak lupa untuk saling berbagi cerita dan pengalaman selama masa hujan. Ada yang menceritakan tentang bagaimana mereka bertahan di dalam masjid, sementara yang lain berbagi tentang harapan dan kekhawatiran mereka di masa depan.
“Semoga kita segera mendapatkan hujan yang lebih baik dan tanah kita bisa subur kembali,” ucap seorang jamaah dengan penuh harap.
“Mari kita berdoa bersama agar Allah memberi kita berkah,” jawab ulama, mengajak semua untuk mengangkat tangan dan memanjatkan doa. Suasana hening sejenak saat semua orang terfokus, memohon kepada Yang Maha Kuasa.
Setelah itu, mereka kembali bekerja, membangun tempat teduh dan mempersiapkan diri untuk menghadapi teriknya matahari. Dengan kebersamaan, mereka merasa lebih kuat dan siap menghadapi segala tantangan yang akan datang.
20.3. Ladang yang Segar
Setelah hujan reda, mereka bergegas menuju ladang yang sebelumnya mereka tanam. Setiap langkah terasa penuh harapan, dan saat mereka sampai di tepi ladang, ekspresi wajah mereka berubah menjadi takjub. Tanaman yang dulunya layu dan kering kini tampak hijau segar, seakan-akan terbangun kembali setelah tidur panjang.
“Lihat! Tanaman kita hidup kembali!” seru seorang pemuda, melompat kegirangan. Ia berlari menuju barisan tanaman, meraba dedaunan yang lebat dan segar.
Ulama mengangguk, merasakan kebahagiaan yang sama. “Ini adalah berkah dari Allah. Setelah kita berdoa, Dia memberikan kita hujan dan kehidupan.”
Mereka mulai memeriksa setiap sudut ladang. Beberapa tanaman terlihat berbuah, dan warna-warna cerah menghiasi lahan yang dulunya suram. “Kita harus merawatnya dengan baik agar bisa memanen nanti,” ucap Amir sambil meneliti bunga-bunga yang sedang bermekaran.
“Ya, kita perlu membagi tugas,” saran ulama. “Ada yang bisa menjaga tanaman dari hama, ada yang bertugas menyiram, dan lainnya mempersiapkan pupuk.”
Di tengah pembagian tugas, seorang anak kecil berlari membawa sekeranjang sayuran yang baru dipetik. “Lihat! Kita sudah bisa makan sayur segar!” teriaknya dengan senyuman lebar.
“Wah, ini sangat menggembirakan!” balas seorang jamaah sambil tertawa. “Kita sudah lama tidak merasakan sayuran segar!”
Mereka semua mulai bekerja dengan semangat baru. Terik matahari yang menyengat seakan tidak terasa lagi. Suasana ladang yang hijau penuh dengan tawa dan obrolan, menandakan semangat yang terlahir kembali.
Ulama pun berpesan, “Ingatlah, kita harus bersyukur atas setiap berkah yang diberikan. Ladang ini adalah hasil dari kerja keras kita dan anugerah dari Allah.”
Saat mereka melanjutkan pekerjaan, perasaan optimis mulai mengisi hati setiap orang. Mereka tidak hanya melihat ladang yang hijau, tetapi juga merasakan harapan akan masa depan yang lebih baik. Dengan kebersamaan dan usaha, mereka percaya bisa menghadapi segala tantangan yang ada.
20.4. Terik yang Mencekam
Setelah mereka merayakan keberhasilan memanen tanaman yang hijau segar, suasana ceria itu segera terganggu. Matahari yang awalnya memberikan kehangatan kini semakin menyengat. Sinarnya terasa menyakitkan di kulit, dan udara menjadi pengap, mengingatkan mereka akan kemarau panjang yang pernah mereka alami.
“Apakah matahari semakin terik atau hanya perasaanku?” tanya seorang pemuda sambil menghapus keringat di dahinya.
“Tidak, aku juga merasakannya. Sepertinya kita harus mencari cara untuk melindungi tanaman ini,” jawab ulama, memperhatikan ladang yang tampak mulai layu.
Mereka semua berkumpul di bawah pohon besar yang masih berdiri kokoh, berusaha mencari tempat teduh. Namun, rasa cemas mulai menghiasi wajah mereka. Tanaman yang segar terlihat mulai menguning di beberapa bagian.
“Kalau begini terus, tanaman kita bisa mati,” keluh seorang wanita, suaranya bergetar.
“Bagaimana kalau kita mencari cara untuk mengurangi paparan sinar matahari?” saran seorang pemuda yang terinspirasi oleh kenangan masa lalu.
“Tapi kita tidak punya bahan untuk membuat naungan,” sahut seorang wanita lain, kebingungan.
Dalam kebisingan suasana panik, ulama itu teringat. “Di desa sebelah, ada beberapa atap yang bisa kita gunakan. Mari kita ambil dan buat naungan untuk tanaman kita.”
Mereka semua bergegas menuju desa tersebut, meskipun udara semakin terik. Dalam perjalanan, mereka merasa kelelahan, tetapi semangat untuk menyelamatkan tanaman tetap membara. Setibanya di desa, mereka mencari atap-atap yang bisa digunakan.
Mereka berhasil mendapatkan beberapa lembar atap, tetapi ketika mereka kembali, keadaan ladang semakin memprihatinkan. Tanaman terlihat layu, dan tanah mulai retak.
“Ini tidak bisa dibiarkan. Kita harus segera membuat naungan!” seru ulama dengan nada tegas.
Dengan cepat, mereka bekerja sama, mendirikan naungan di atas ladang dengan bahan seadanya. Dalam kebisingan dan keringat yang mengalir, mereka merasa semangat satu sama lain.
Namun, terik matahari tetap menggigit. Mereka semua merindukan kesejukan dan hujan. “Andai saja kita bisa mengembalikan hujan yang pernah kita miliki,” bisik seorang wanita.
Saat mereka beristirahat sejenak di bawah naungan yang baru saja mereka dirikan, salah satu pemuda mengeluarkan sebotol air minum yang tersisa. “Ini adalah air terakhir yang kita punya,” katanya, menatap botol itu dengan penuh kerinduan.
Mereka semua menatap botol itu, lalu ulama mengusulkan. “Mari kita bagi rata. Ini bisa membantu kita bertahan lebih lama.”
Mereka pun membagikan air tersebut dengan hati-hati, mengingat pentingnya setiap tetes. Dalam keheningan itu, mereka saling memandang, merasakan persatuan dan harapan untuk masa depan.
Dengan semangat baru, mereka kembali bekerja. Meski terik matahari terus menyengat, mereka tahu bahwa harapan selalu ada, selama mereka bersama dan berjuang.
20.5 Keceriaan di Tengah Panas
Setelah berhari-hari berjuang di ladang, suasana semakin panas menyengat. Warga desa yang terik mengeluh dan saling berbagi keluhan. “Ini benar-benar gila! Tanah kita kering kerontang,” kata Iwan, mengusap keringat di pelipisnya.
Ulama yang selalu sabar, Ustaz Hasan, mencoba menghibur mereka. “Tenanglah, Insya Allah kita akan mendapatkan hujan lagi,” ujarnya dengan optimis. Namun, semua orang tetap merasa cemas.
Di tengah keputusasaan itu, salah satu pemuda, Budi, memutuskan untuk menghibur diri. “Aku perlu mencari cara untuk melupakan panas ini!” katanya, lalu berlari ke arah pohon pinus yang tinggi di tepi ladang.
Ketika Budi berhasil memanjat, ia merasa seperti raja di atas pohon. “Lihat dunia dari sini!” teriaknya, menatap luasnya ladang yang kering. Namun, tanpa diduga, dia merasakan gigitan di kakinya. “Aduh! Apa ini?!” serunya, melihat seekor bunglon yang tampak sangat penasaran.
“Jangan gigit aku! Aku tidak akan jadi makananmu!” teriak Budi, berusaha mengusir bunglon itu. Namun, bunglon tersebut seolah tertawa kecil, lalu merayap lebih dekat.
Budi mencoba untuk tetap tenang. “Baiklah, mari kita berdamai,” ujarnya sambil mengulurkan tangan. Justru bunglon itu meloncat ke wajahnya! “Kau ini jahat!” seru Budi sambil terguncang, terjatuh dari cabang.
Dengan suara gedebuk, Budi mendarat di tanah, diikuti oleh tawa teman-temannya yang melihat dari jauh. “Apa kau baik-baik saja?” tanya Rina, sambil menahan tawa.
“Ya, ya! Aku hanya ingin menghibur diri!” jawab Budi, merasakan malu bercampur lucu. Tak lama kemudian, dia berdiri dan berusaha terlihat keren meski pakaiannya kotor.
Ustaz Hasan yang melihat kejadian itu tidak bisa menahan senyum. “Budi, sepertinya kau perlu lebih banyak latihan di ladang, bukan di atas pohon!”
Warga desa yang lain ikut tertawa, suasana pun menjadi lebih ceria meskipun terik masih menyengat. “Lain kali, kita cari hiburan yang lebih aman,” kata Budi, bergurau sambil mengusap keringat.
Dengan semangat baru, mereka kembali ke ladang. Momen konyol itu menjadi pengingat bahwa meski dalam kesulitan, tawa bisa membuat segalanya terasa lebih ringan.