Pindah sekolah dua kali akibat dikeluarkan karena mengungkap kasus yang tersembunyi. Lima remaja dari kota terpaksa pindah dan tinggal di desa untuk mencari seseorang yang telah hilang belasan tahun.
Berawal dari rasa penasaran tentang adanya kabar duka, tetapi tak ada yang mengucapkan belasungkawa. Membuat lima remaja kota itu merasa ada yang tidak terungkap.
Akhir dari setiap pencarian yang mereka selesaikan selalu berujung dikeluarkan dari sekolah, hingga di sekolah lain pun mengalami hal serupa.
Lantas, siapakah para remaja tersebut? Apa saja yang akan mereka telusuri dalam sebuah jurnal Pencari Jejak Misteri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zennatyas21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Kampung Sewujiwo
Di waktu malam hari Bisma bersama temannya baru sampai ke rumah Bejo, pamannya.
"Jadi, kalian dari kota, ya?" tanya Pak Bejo dengan khas cengkok Jawa nya.
Bisma mengangguk tersenyum. "Oh, iya, Pak. Jadi, bagaimana dengan kami? Apakah diperbolehkan?" Meski Bisma tampak ragu, namun ia berusaha yakin di hadapan teman-temannya.
"Tentu saja boleh, Mas Bisma."
Mendengar itu semua menghela nafas senang. Panca duduk di sebelah Ratu dengan sopan dan dingin. Sedangkan Reyza berada di sampingnya Ninda. Sementara Bisma berdampingan dengan Intan.
"Kalau begitu perkenalkan saya Mirah, istrinya Pak Bejo. Oh iya, anak-anak, mari keluar kita perkenalan dulu." panggil Bu Mirah menyebut anaknya.
Ratu beserta temannya melihat satu lelaki bertubuh cukup tinggi, berkulit putih dan memakai hoodie berwarna hitam. Ada pula seorang gadis remaja seumuran dengan Ratu, ia memakai gamis panjang berwarna biru muda juga menggunakan hijab instan.
"Yang ini namanya Raden Albayu, kalau yang perempuan namanya Rafisya Aminah. Mereka ini anak kami," ucap Mirah memperkenalkan kedua anaknya.
"Salam kenal semuanya, saya Bayu. Ini adik saya namanya Rafisya."
"Hai, semuanya. Saya Fisya, adiknya Mas Raden." sahut Fisya itu.
Selang berkenalan dengan keluarga Pak Bejo, kini tujuh remaja itu tengah mengikuti acara makan malam di rumah kecil tua tersebut.
"Semoga kalian suka ya, dengan masakan saya." tutur Mirah tersenyum mengarah ke tujuh anak kota itu.
"Alhamdulillah kami suka, Bu. Masakannya tidak jauh berbeda dengan makanan kami di kota." jawab Ratu sopan.
Melihat kekompakan teman-temannya Bisma, membuat Bejo senang rumahnya dikunjungi oleh anak-anak dari kota.
"Kalian kalau makan benar-benar sopan ya, yang laki-laki selalu diberi piring serta makanannya terlebih dahulu. Rasanya, kalian bukan hanya bersahabat, namun akan banyak yang berjodoh." ujar Pak Bejo lalu terkekeh.
Tanpa disadari, Fisya sang adik dari Raden Albayu tiba-tiba merasakan sebuah perasaan suka pada adiknya Panca. Posisi duduknya memang bersebelahan dengan Cakra.
Lucunya, bukan Panca jika ia tidak memiliki kemampuan dapat mendengar suara hati seseorang.
Seketika Ratu terkejut saat Panca mengalami batuk berdarah.
"Eh, Mas Panca, kenapa ih? Kok batuknya darah?" Saking khawatirnya seorang Ratu sampai terkena darah milik Panca.
Bukan malah menenangkan Ratu, lelaki itu justru tersenyum pada Rafisya. Hingga yang diberi senyuman itu sontak menundukkan pandangannya malu.
"Kamu suka ya sama adik saya? Namanya Cakra Putra Djiwa. Panggilannya Cakra, dia seumuran dengan Ratu." kata Panca membuat semuanya jadi menghentikan aktivitas makannya, kemudian menatap Fisya.
Perempuan yang terlihat cukup tertutup itu mendadak pipinya merah merona. Sementara Cakra pun memperhatikan sikap malu nya sang adik Bayu.
"Jangan kayak gitu, Bang. Kalo ada yang ngomong jangan dibocorin, kasihan, itu privasi dia. Kebiasaan, udah tahu kalo nekat dengerin berujung batuk darah." timpal Cakra tak segan-segan mengomeli kakaknya.
Panca hanya tertawa kecil sambil menatap Pak Bejo dan Bu Mirah. "Maafin teman-teman kami ya, Pak. Memang mereka suka bertengkar mulut, jadi, agak susah untuk dilarang tidak berbicara satu jam saja." permintaan maaf Ratu dianggukki wajar oleh Pak Bejo.
"Justru ini yang saya suka, tapi ... Bagaimana Panca bisa mendengar suara hati orang-orang? Apakah Panca ini ..."
"Bang Panca ini baru memiliki kemampuan baru kemarin, Pak, Bu. Saya pun tidak tahu asalnya dari mana, yang saya tahu dirinya memang begitu sesuai dengan namanya." jelas Cakra.
"Memangnya nama lengkapnya apa?" tanya Bu Mirah ikut penasaran.
"Nama saya Fadly Putra Pancasakti. Dipanggilnya seharusnya Fadly bukan Panca." balas Panca santai.
Keluarga Pak Bejo mengangguk. Lalu, Ratu kini yang menatap Rafisya.
"Kalo kamu suka sama Cakra, gak apa-apa kok, Sya. Lagian dia juga masih jomblo, anaknya dingin tapi suka sama perempuan yang berpakaian tertutup seperti kamu." ungkap Ratu.
"Minusnya kalo ketemu kakak saya gak akan ada kata akur sih, Sya. Mereka seperti singa dan harimau. Kalo kakak saya jelas yang menjadi singa betina, sedangkan Cakra si manusia setengah harimau. Kalo marah serem, tapi sebenarnya baik sih orangnya, intinya ya gitu lah, ngeselin dikit." cerocos Reyza ikut bercerita, walau berujung dibekap mulutnya oleh Ratu.
"Kamu ya, niat mau ngejelasin atau ngejelekin? Suka banget ngomong panjang lebar soal Cakra," ketus Ratu pelan, jujur ia menahan rasa malu di depan keluarga Pak Bejo.
"Jadi gimana, Dek? Kamu suka sama adiknya Mas Panca?" tanya Bayu memastikan, meski dengan alisnya yang dinaik-turunkan.
Rafisya memberi tatapan kesal pada Bayu.
"Kalo benar ada suka ya gak apa-apa, tapi maaf kalo aku gak bisa memberi perhatian lebih dari sekedar teman. Apalagi kamu perempuan yang sangat menjaga kehormatan, jadi semakin pula aku tidak berani menyentuh kulitmu sekalipun." Ucapan Cakra sontak membuat kedua orang tua Rafisya dan Bayu kagum.
"Maasya Allah, Mas Cakra sangat menjaga dan menghormati sekali ya." Pak Bejo pun kagum.
"Ah, tidak sebegitu nya juga." balas Cakra.
••••
Ketika hari sudah cukup larut malam, Rafisya tiba-tiba berteriak ketakutan saat ia tak sengaja terbangun karena merasa kehausan.
Setelah ia minum, Fisya kembali ke kamar namun seketika melihat sekelebat bayangan seperti pocong. Saking ketakutannya sampai berteriak.
"Ibuu ... Fisya takut ..." rintihannya membuat pintu kamarnya terbuka.
Ciett ....
"Astaghfirullah!"
"Eh, kamu kenapa, Sya? Kok teriak-teriak?" tanya Cakra yang sempat mendengar teriakan Fisya tadi.
Perempuan itu langsung menghampiri Cakra dengan bersembunyi di balik tubuh lelaki tersebut.
"Mas Cakra, di sana ada bentuk kayak poci," ungkap Fisya, wajahnya sudah amat ketakutan.
Cakra mengernyit, "Poci ... Pocong maksudnya?"
Baru menyebut saja, Fisya sudah gelagapan merinding.
"Owalah, ya udah bentar, kamu di sini dulu ya. Aku bakal komunikasi dulu sama pocongnya."
"Hah? Komunikasi? Emangnya paham?"
Cakra hanya terkekeh. "Iyaa, aku tahu wujud aslinya justru lebih seram, Sya. Biasanya di desa begini jarang deh ada pocong yang mampir, kecuali ada yang ngirim atau ..."
"Di sini memang baru satu hari ada salah satu warga yang meninggal sih, Mas. Tapi, perasaan kami gak ada yang ganggu beliau." kata Fisya pelan.
Sambil menghela nafas sabar, Cakra pun meraup wajahnya dengan kasar.
"Beliau cuma ingin meminta maaf sama kamu, katanya ada sesuatu yang mungkin aku gak tahu, intinya beliau minta maaf." ucap Cakra mengirimkan pesan dari sosok pocong tersebut pada Fisya.
Dengan perasaan malu, Fisya menunduk di depan jendela kamarnya yang memiliki kaca.
"Memang beliau pernah menyentuh kulit saya, dan saya sangat marah pada saat itu. Tapi, untungnya keluarga saya tidak ada yang menyimpan dendam pada beliau." jelasnya.
"Nah, kamu harus bisa memaafkan beliau, ya? Kasihan, Sya, beliau sulit untuk pulang jika masih ada yang belum terselesaikan di dunia."
Fisya mengangguk. "Yaudah, aku udah maafin kok."