Riska tak pernah menyangka hidupnya yang sederhana akan terbalik begitu saja setelah pertemuannya dengan Aldo Pratama, CEO muda yang tampan dan penuh ambisi. Sebuah malam yang tak terduga mengubah takdirnya—ia hamil di luar nikah dari pria yang hampir tak dikenalnya. Dalam sekejap, Riska terjebak dalam lingkaran kehidupan Aldo yang penuh kemewahan, ketenaran, dan rahasia gelap.
Namun, Aldo bukanlah pria biasa. Di balik pesonanya, ada dendam yang membara terhadap keluarga dan masa lalu yang membuat hatinya dingin. Baginya, Riska adalah bagian dari rencana besar untuk membalas luka lama. Ia menawarkan pernikahan, tetapi bukan untuk cinta—melainkan untuk balas dendam. Riska terpaksa menerima, demi masa depan anaknya.
Dalam perjalanan mereka, Riska mulai menyadari bahwa hidup bersama Aldo adalah perang tanpa akhir antara cinta dan kebencian. Ia harus menghadapi manipulasi, kesalahpahaman, dan keputusan-keputusan sulit yang menguji kekuatannya sebagai seorang ibu dan wanita. Namun, di bal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Pengakuan yang Mengguncang
Suara detik jam terdengar menggema di dalam ruangan mewah itu, tetapi bagi Riska, waktu seperti berhenti. Tubuhnya gemetar, tangannya memeluk perut yang mulai membuncit. Ia menatap Aldo dengan campuran kebencian dan ketakutan. Pria itu berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam, seperti predator yang baru saja memojokkan mangsanya.
Namun, ada yang berbeda malam ini. Aldo tampak lebih gelisah dari biasanya. Wajahnya keras, tetapi matanya menyiratkan konflik yang mendalam. Ada sesuatu yang ia sembunyikan, sesuatu yang membuatnya tidak seperti biasanya.
---
"Berhenti menatapku seperti itu," ujar Aldo dengan suara dingin. "Kau yang memulai semua ini, Riska. Jangan bertingkah seolah-olah kau korban di sini."
Riska tertawa kecil, meski air matanya mengalir. "Aku korban, Aldo. Kau tahu itu. Tapi kau selalu memutarbalikkan fakta, selalu membuatku terlihat seperti orang jahat."
"Aku hanya memberikanmu balasan yang setimpal," balas Aldo sambil melipat tangan. "Kau bermain dengan api, dan sekarang kau harus menerima konsekuensinya."
"Apa aku benar-benar pantas menerima semua ini? Apa dendam itu lebih penting daripada hidupku? Hidup anak ini?" Riska menunjuk perutnya.
Aldo terdiam sesaat, tetapi kemudian menggeleng. "Jangan coba-coba menggunakan anak itu untuk memanipulasiku. Aku tahu permainanmu, Riska."
"Permainan? Ini hidupku, Aldo! Hidup anak kita! Dan kau menghancurkannya dengan tanganmu sendiri!" seru Riska, suaranya bergetar penuh emosi.
---
Kata-kata itu menggema di ruangan itu, membuat suasana menjadi semakin mencekam. Aldo tampak terpukul, tetapi ia berusaha menyembunyikannya. Ia berbalik, menatap keluar jendela besar yang menghadap ke kota. Lampu-lampu kota yang berkilauan seperti tidak berarti apa-apa di tengah konflik batin yang ia rasakan.
Namun, sebelum ia bisa menjawab, suara pintu terbuka keras. Clara, wanita yang selama ini menjadi bayangan gelap dalam kehidupan Riska, masuk dengan ekspresi penuh kemenangan.
---
"Aku datang di waktu yang tepat, sepertinya," ujar Clara dengan nada mencibir. "Ada yang perlu kau tahu, Aldo."
Aldo menoleh, alisnya berkerut. "Apa yang kau lakukan di sini, Clara? Ini bukan urusanmu."
"Justru ini urusanku," jawab Clara sambil berjalan mendekat. "Aku sudah cukup sabar selama ini. Tapi sekarang saatnya semua rahasia terbongkar."
Riska menatap Clara dengan penuh kewaspadaan. "Apa lagi yang kau inginkan, Clara? Bukankah kau sudah cukup puas menghancurkan hidupku?"
Clara tertawa sinis. "Riska, kau bahkan tidak tahu separuh dari apa yang sebenarnya terjadi."
---
Clara kemudian menoleh ke Aldo, wajahnya serius. "Aldo, kau ingin tahu siapa sebenarnya yang menghancurkan keluargamu? Siapa yang membuatmu kehilangan segalanya?"
Aldo menatap Clara dengan tajam. "Apa maksudmu? Jangan bertele-tele."
"Riska tidak bersalah," ujar Clara, suaranya dingin. "Kau sudah salah menuduhnya selama ini."
---
"Apa maksudmu?" tanya Aldo, suaranya rendah tetapi penuh ancaman.
"Semua bukti yang kau temukan, semua pesan dan email itu... Aku yang membuatnya," Clara mengaku tanpa rasa bersalah.
Riska tertegun. "Apa? Kau—kau yang melakukannya?"
Clara tersenyum licik. "Tentu saja. Aku tidak bisa membiarkan Aldo tetap terobsesi padamu. Jadi, aku menciptakan bukti palsu untuk membuatnya percaya bahwa kaulah yang mengkhianatinya."
"Clara!" Aldo mendekat dengan langkah cepat, tangannya mengepal. "Kau berbohong!"
"Tidak, aku tidak berbohong," balas Clara dengan tenang. "Semua ini adalah rencana yang sempurna. Kau hanya terlalu bodoh untuk menyadarinya."
---
Riska merasa seperti dunia runtuh di sekitarnya. Ia ingin marah, tetapi rasa lega juga menyelinap. Akhirnya, kebenaran mulai terungkap.
Namun, Aldo tampak terpecah. Wajahnya menunjukkan campuran kemarahan, kebingungan, dan rasa bersalah. Ia menatap Clara, lalu Riska, seolah-olah tidak tahu harus percaya kepada siapa.
---
"Kenapa, Clara? Kenapa kau melakukan ini?" tanya Aldo dengan suara gemetar.
"Karena aku mencintaimu, Aldo," jawab Clara dengan nada tegas. "Aku mencintaimu sejak dulu, dan aku tidak akan membiarkan wanita seperti dia merebutmu dariku."
"Cinta?" Aldo tertawa sinis. "Ini bukan cinta, Clara. Ini obsesi. Dan kau telah menghancurkan semuanya karena obsesi bodohmu!"
Clara tersenyum pahit. "Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku melakukan ini demi kita."
"Demi kita?" Aldo menggelengkan kepala. "Tidak ada 'kita', Clara. Tidak pernah ada."
---
Ketegangan semakin memuncak. Riska merasa ini adalah kesempatan terakhirnya untuk berbicara.
"Aldo," kata Riska dengan suara pelan tetapi tegas. "Sekarang kau tahu siapa sebenarnya yang menghancurkan hidupmu. Tapi aku tidak peduli lagi apakah kau percaya atau tidak. Aku hanya ingin keluar dari kehidupan ini, demi anakku."
Aldo menatap Riska dengan mata yang penuh emosi. Ia tampak seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu tidak keluar.
---
Namun, sebelum ada yang bisa bergerak, suara pecahan kaca terdengar dari arah jendela. Semua menoleh, dan sebuah benda kecil meluncur masuk, mengeluarkan asap tebal.
"Bom gas!" teriak Clara panik, menutup hidungnya.
Riska merasa pusing, penglihatannya mulai kabur. Di tengah kekacauan itu, ia mendengar suara langkah kaki berat mendekat.
"Ambil wanita itu," perintah suara dingin dari balik asap.
Sebelum Riska kehilangan kesadarannya sepenuhnya, ia merasakan seseorang menarik tubuhnya dengan kasar.