Di tengah dunia magis Forgotten Realm, seorang pemuda bernama Arlen Whiteclaw menemukan takdir yang tersembunyi dalam dirinya. Ia adalah Pemegang Cahaya, pewaris kekuatan kuno yang mampu melawan kegelapan. Bersama sahabatnya, Eira dan Thorne, Arlen harus menghadapi Lord Malakar, penyihir hitam yang ingin menaklukkan dunia dengan kekuatan kegelapan. Dalam perjalanan yang penuh dengan pertempuran, pengkhianatan, dan pengorbanan, Arlen harus memutuskan apakah ia siap untuk mengorbankan segalanya demi kedamaian atau tenggelam dalam kegelapan yang mengancam seluruh Forgotten Realm.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan Menuju Tanah Pelindung
Perjalanan menuju Tanah Pelindung dimulai saat fajar pertama menyingsing. Arlen, Finn, dan Eira meninggalkan desa tanpa ada yang tahu tujuan mereka. Meninggalkan Woldmere, desa kecil yang menjadi tempat tinggal mereka seumur hidup, terasa seperti langkah besar bagi Arlen dan Finn. Tapi, di hati kecil mereka, keduanya sadar bahwa tak ada pilihan lain.
“Kita harus bergerak cepat,” ujar Eira, matanya menatap lurus ke jalanan tanah di depan mereka.
Arlen mengangguk, menggenggam tas kecil yang ia bawa. “Berapa jauh lagi, Eira?”
Eira menghela napas, ragu-ragu sebelum menjawab. “Perjalanan ini tidak mudah, Arlen. Bahkan, mungkin akan memakan waktu beberapa hari, bahkan berminggu-minggu. Tanah Pelindung tidak bisa dicapai dengan mudah oleh sembarang orang.”
Finn tersenyum lemah. “Bagus, jadi bukan cuma kita yang bisa tersesat.”
Eira mengangguk pelan, lalu berhenti sejenak, seolah ingin menjelaskan sesuatu. “Tanah Pelindung bukan sekadar tempat perlindungan. Ia dilindungi oleh mantra kuno yang melindunginya dari kegelapan. Namun, hanya mereka yang layak yang bisa mencapainya.”
Arlen menelan ludah, menyadari bahwa ia tak bisa membayangkan apa yang ada di depan mereka. “Bagaimana jika kita gagal? Apa yang terjadi jika kita tidak bisa sampai ke sana?”
Eira menatapnya dalam-dalam. “Jika kita gagal, maka kegelapan akan menemukan kita. Kita akan menjadi sasaran Malakar dan pasukan kegelapan.”
Suasana menjadi tegang setelah kata-kata Eira. Finn mengalihkan perhatian dengan tertawa kecil. “Sepertinya kita tidak punya pilihan, bukan?”
Arlen tersenyum tipis. “Memang, tidak ada pilihan lain.”
Mereka melanjutkan perjalanan, melewati ladang dan hutan kecil, hingga sampai di sebuah padang luas yang dipenuhi rumput liar setinggi lutut. Angin berhembus kencang, membuat udara terasa semakin dingin.
Tiba-tiba, Eira berhenti, tubuhnya menegang. Ia mengangkat tangan, memberi isyarat agar Arlen dan Finn berdiam diri.
“Ada apa?” bisik Arlen, melihat Eira yang tampak serius.
Eira memicingkan mata, menatap jauh ke depan. “Kita tidak sendirian. Ada seseorang atau sesuatu yang mengikuti kita.”
Finn menelan ludah, matanya berkeliling penuh kewaspadaan. “Kau yakin? Mungkin hanya perasaanmu saja.”
Namun, sebelum Finn sempat menyelesaikan kalimatnya, dari balik pepohonan di ujung padang, muncul bayangan hitam yang bergerak cepat ke arah mereka.
“Arlen! Finn! Cepat mundur!” Eira berteriak, mengangkat tangannya. Ia mulai mengucapkan mantra dalam bahasa kuno, dan seketika angin berhembus lebih kencang, membentuk dinding pelindung di depan mereka.
Arlen dan Finn hanya bisa melihat dengan mata terbuka lebar saat sosok bayangan itu semakin dekat, matanya merah menyala. Makhluk itu menyerupai serigala besar dengan taring panjang, tubuhnya hitam pekat dengan cakar tajam yang menancap di tanah setiap kali ia melangkah.
“Makhluk apa itu?” Arlen bertanya dengan suara gemetar.
“Itu adalah Pelacak Malakar. Mereka mengendus keberadaan Cahaya. Kita harus melawan mereka, atau mereka akan terus mengejar kita,” jawab Eira sambil memperkuat mantranya.
Finn menarik napas panjang. “Lalu bagaimana kita bisa melawan makhluk sebesar itu?”
Eira menoleh ke arah Arlen. “Arlen, kau sudah memunculkan Cahaya di Tempat Terlarang. Sekarang, kau harus bisa mengendalikannya.”
Arlen menatap Eira, bingung. “Tapi aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya!”
“Kau harus mencoba,” jawab Eira tegas. “Pusatkan pikiranmu pada Cahaya di dalam dirimu. Jangan biarkan rasa takut menguasaimu.”
Arlen menarik napas dalam-dalam, berusaha mengingat kehangatan yang ia rasakan saat pertama kali memunculkan Cahaya. Ia memejamkan mata, mencoba merasakan kehadiran kekuatan itu.
Namun, tepat saat ia merasa hampir berhasil, Pelacak Malakar itu menerobos dinding angin Eira dan menerjang ke arahnya.
“Arlen, hati-hati!” Finn berteriak sambil mencoba menarik Arlen menjauh.
Makhluk itu melompat ke arah Arlen, taringnya siap mencabik. Arlen menahan napas, tubuhnya terasa kaku. Tapi, di saat yang sama, ia merasakan semburan energi keluar dari dalam dirinya. Cahaya putih memancar, menciptakan pelindung di sekitarnya yang membuat makhluk itu terpental mundur.
Finn terperangah. “Kau berhasil, Arlen! Kau berhasil memunculkannya!”
Namun, Eira menggeleng, wajahnya tegang. “Ini belum selesai. Pelacak itu hanya terluka. Kita harus menghancurkannya sebelum ia kembali.”
Arlen merasakan kelelahan luar biasa, tapi ia tahu mereka tidak punya pilihan lain. Dengan sekuat tenaga, ia mencoba memfokuskan Cahaya yang ada dalam dirinya. Tangannya bersinar terang, dan ia mengarahkan kekuatan itu ke makhluk hitam yang baru saja bangkit.
“Pergilah!” seru Arlen sambil melepaskan Cahaya itu.
Makhluk hitam itu berteriak kesakitan, tubuhnya mulai larut dalam sinar putih yang membakar. Tak lama kemudian, makhluk itu lenyap, hanya menyisakan kabut tipis yang terbang tertiup angin.
Arlen terduduk lemas, napasnya terengah-engah. Ia tak menyangka bahwa menggunakan kekuatan itu akan menguras tenaganya begitu besar.
Eira menghampirinya dan menyentuh pundaknya. “Kau melakukannya dengan baik, Arlen. Tapi ini baru awal. Kau harus belajar mengendalikan kekuatan itu dengan lebih baik.”
Arlen mengangguk, masih merasakan sisa-sisa ketegangan di tubuhnya. “Aku tidak tahu apakah aku bisa terus melakukannya. Rasanya sulit sekali.”
Finn menepuk bahunya dengan senyum lemah. “Hei, kau sudah menyelamatkan kita semua. Itu sudah lebih dari cukup.”
Eira berdiri dan menatap ke arah tempat makhluk hitam itu lenyap. “Malakar semakin dekat. Dia tahu kita bergerak menuju Tanah Pelindung. Kita harus lebih cepat, atau dia akan mengirimkan makhluk-makhluk yang lebih kuat untuk menghadang kita.”
Arlen menelan ludah, sadar bahwa bahaya yang mereka hadapi baru permulaan. “Bagaimana cara kita bisa mempercepat perjalanan ini?”
Eira terdiam sesaat, lalu berkata, “Ada jalur lain yang bisa kita ambil, tapi jalur itu berbahaya. Hanya sedikit orang yang bisa melaluinya tanpa kehilangan arah atau bahkan nyawa.”
Finn menatap Eira, wajahnya serius. “Kita tidak punya pilihan, bukan?”
Eira mengangguk. “Benar. Jalur itu adalah satu-satunya cara untuk mencapai Tanah Pelindung sebelum Malakar menemukan kita.”
Arlen menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ia merasa takut, tapi juga merasakan dorongan yang kuat untuk melanjutkan perjalanan ini. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa tidak ada jalan untuk kembali.
Dengan semangat yang baru, mereka bertiga melanjutkan perjalanan, menyusuri jalur sempit yang Eira tunjukkan. Kabut tebal mulai menyelimuti, dan suasana di sekeliling mereka berubah menjadi sunyi, seolah-olah mereka memasuki dunia yang berbeda.
Namun, di tengah perjalanan, mereka tiba-tiba mendengar suara langkah kaki di belakang mereka. Arlen menoleh, wajahnya penuh kecurigaan.
“Eira… kita diikuti lagi?” bisik Arlen dengan perasaan waspada.
Eira mengangguk, wajahnya serius. “Cepat, kita harus menemukan tempat untuk bersembunyi. Jika ini adalah pelacak lain, kita tidak punya waktu untuk melawannya.”
Mereka segera berlari menuju celah di antara pepohonan, berusaha menyembunyikan diri di balik batang-batang pohon yang lebat. Namun, suara langkah kaki itu semakin mendekat, membuat mereka bertiga menahan napas.
Tiba-tiba, sosok tinggi dengan jubah hitam muncul di depan mereka, wajahnya tersembunyi dalam bayangan. Orang itu berdiri diam, seolah tahu bahwa mereka sedang bersembunyi.
“Arlen Whiteclaw,” suara sosok itu terdengar dingin, menusuk udara yang hening.
Arlen merasakan bulu kuduknya meremang. Ia tak mengenali sosok ini, namun ia bisa merasakan aura kekuatan yang besar terpancar dari orang itu.
Finn menatap Arlen dengan khawatir. “Apa yang harus kita lakukan? Melawan atau lari?”
Sebelum Arlen bisa menjawab, sosok itu berbicara lagi, kali ini suaranya lebih keras. “Aku bukan musuh. Aku datang dengan peringatan untukmu, Pemegang Cahaya.”
Arlen keluar dari balik pohon, menghadapi sosok berjubah hitam itu dengan rasa was-was. Finn dan Eira tetap di belakangnya, bersiaga jika sesuatu terjadi.
“Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Arlen, berusaha menutupi rasa takutnya.
Sosok itu mengangkat tangan perlahan, menunjukkan bahwa ia datang tanpa niat bermusuhan. “Aku dikirim oleh Pengawal Cahaya. Mereka tahu kau dalam bahaya, Arlen. Malakar dan para Pelacaknya bukanlah musuh yang bisa kau lawan sendirian.”
Arlen menatap sosok itu dengan curiga. “Mengapa aku harus mempercayaimu?”
Orang berjubah itu menundukkan kepalanya, membuka sedikit tudungnya hingga wajahnya terlihat samar dalam bayangan. “Aku adalah Joran, mantan murid Pengawal Cahaya. Aku datang untuk membantumu mencapai Tanah Pelindung dengan aman.”
Eira melangkah maju, masih menatap Joran penuh keraguan. “Bagaimana kami tahu bahwa kau benar-benar bisa dipercaya? Malakar punya banyak antek yang bisa menyamar.”
Joran tersenyum tipis. “Aku bisa membuktikannya dengan membawa kalian ke gerbang tersembunyi menuju Tanah Pelindung. Hanya sedikit yang tahu lokasinya.”
Arlen bertukar pandang dengan Finn dan Eira, menyadari bahwa mereka sedang dihadapkan pada pilihan yang sulit. Namun, perjalanan mereka ke Tanah Pelindung takkan berhasil jika mereka terus-menerus dihadang oleh musuh.
“Baik,” akhirnya Arlen berkata, walau masih ragu. “Kami akan mengikuti petunjukmu, Joran.”
Senyum misterius terlintas di wajah Joran, seolah-olah ia menyimpan rahasia yang belum terungkap.