Denis Agata Mahendra, seorang bocah laki-laki yang harus rela meninggalkan kediamannya yang mewah. Pergi mengasingkan diri, untuk menghindari orang-orang yang ingin mencelakainya.
Oleh karena sebuah kecelakaan yang menyebabkan kematian sang ayah, ia tinggal bersama asisten ayahnya dan bersembunyi hingga dewasa. Menjadi orang biasa untuk menyelidiki tragedi yang menimpanya saat kecil dulu.
Tanpa terduga dia bertemu takdir aneh, seorang gadis cantik memintanya untuk menikah hari itu juga. Menggantikan calon suaminya yang menghamili wanita lain. Takdir lainnya adalah, laki-laki itu sepupu Denis sendiri.
Bagaimana kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sumpah Denis
"Lancang!" geram sebuah suara setelah pintu terbuka keras.
Kedua sosok itu diangkatnya dengan mudah, diseret keluar. Lalu, dibanting dengan keras hingga membentur tembok. Mereka mengaduh, memekik merasakan sakit di punggung.
Kehaduhan itu mengundang pengunjung lain untuk menonton, tapi mereka tak dapat melihat karena seorang penjaga berdiri menahan pintu. Melarang mereka untuk melihat.
Laki-laki tinggi yang tak lain adalah Denis itu menutup pintu kamar dan berjalan mendekati mereka.
Kratak!
"Argh!"
Tanpa basa basi menginjak kedua tangan juga kaki mereka. Jerit kesakitan menggema, memenuhi lorong di mana Larisa disekap. Tak sampai di situ, Denis juga melayangkan pukulan pada wajah mereka dengan membabi buta.
Kedua orang itu tak dapat melawan, selain postur tubuh Denis lebih tinggi dan besar ia juga memiliki pukulan yang akurat telak mengenai bagian vital di tubuh mereka.
Keduanya tak berdaya, tulang tangan terkulai, kaki pun tak bertenaga. Tak ada yang berani melerai sampai Denis merasa puas melampiaskan amarahnya.
Denis beranjak setelah keduanya tak bisa berkutik. Hanya suara rintihan yang terdengar lirih. Dada Denis kembang kempis menahan gejolak yang masih membara, menatap nyalang keduanya yang terpojok.
"Patahkan semua tulang di tubuh mereka dan buang ke laut agar menjadi santapan para hiu di sana!" Denis berbalik setelah memberi perintah pada mereka.
"Baik, Tuan!"
"Ah, Tuan! Tolong, jangan! Jangan buang kami ke laut, Tuan. Kami menyesal, Tuan. Kami akan bertobat," mohon mereka merangkak lemah dari tempatnya.
Langkah Denis terhenti, berbalik menghadap mereka yang sudah kehabisan tenaga.
"Kalian tahu dengan siapa kalian mencari masalah? Seseorang yang tak pernah memberi ampunan kepada orang-orang seperti kalian!" tegas Denis kembali berbalik dan tak peduli pada ratapan dua orang itu.
Orang-orang Denis menyeret tubuh mereka keluar. Melemparnya ke dalam mobil, membawa mereka ke jurang tepi laut jauh dari kota metro. Melakukan perintah Denis dengan patuh.
Sementara itu, Denis kembali berhadapan dengan pintu di mana Larisa masih terikat di dalamnya. Menatap tajam pintu itu dengan tangan terkepal.
Aku bersumpah siapa saja yang menyakiti keluargaku tak akan aku beri ampun! Siapapun!
Denis bersumpah sebelum akhirnya membuka pintu itu. Hatinya menjerit sakit melihat Larisa yang terikat tak berdaya di atas ranjang. Air mata gadis itu masih saja berjatuhan, meski keadaan sudah kembali aman.
Denis melangkah perlahan, menahan air mata agar tidak jatuh. Membuka ikatan satu per satu dengan hati-hati, sambil menahan perih di dalam dada. Sesak rasanya melihat keadaan sang istri yang selalu mendapat musibah.
"Denis!" Larisa berhambur memeluk tubuh Denis saat semua ikatan terlepas, menumpahkan tangis pilu, meluapkan rasa takut.
"Aku takut, Denis. Akut takut ... mereka ... mereka ...."
Denis membalas pelukan, mengusap rambut Larisa dengan lembut.
"Ssst! Jangan menangis lagi, kau aman sekarang. Maaf karena aku datang terlambat," sahut Denis memeluk tubuh sang istri dengan penuh sesal.
Harus bagaimana dia menjaga Larisa agar aman dan terlepas dari bahaya. Mengurungnya bukanlah hal baik karena Larisa gadis yang menyukai kebebasan. Satu-satunya jalan adalah membawa Larisa selalu bersamanya.
"Tidak! Jangan meminta maaf, aku senang kau datang. Aku kira aku akan ... aku ...." Tangis Larisa pecah ketika membayangkan hal buruk tadi terjadi padanya.
Bagaimana jika semua itu benar-benar terjadi? Denis yang berstatus suaminya saja belum pernah menyentuh tubuh Larisa meski hanya sejengkal.
"Sudah, jangan menangis lagi! Semuanya sudah selesai, kau sudah aman sekarang." Denis menjauhkan kepala Larisa, membersihkan air mata di kedua pipinya. Menangkup wajah itu, menatap penuh sesal.
"Bagaimana jika hal ini terjadi lagi, Denis? Aku takut," rengeknya menatap Denis dengan mata yang dibanjiri air mata.
Denis tersenyum mencoba menghibur hati Larisa.
"Tidak akan! Aku akan memperketat penjagaan untukmu. Kau tidak perlu takut lagi meski sedang sendirian karena akan ada banyak orang datang menolong ketika kau dalam bahaya dan aku tak di sampingmu," ujar Denis meyakinkan Larisa lewat tatapan matanya.
Larisa menggelengkan kepala, tak lagi bisa mempercayai orang lain selain Denis dan dirinya sendiri.
"Bagaimana jika itu bukan orang suruhanmu? Akan sulit bagiku membedakan mana musuh dan mana bukan. Aku tidak percaya siapapun lagi di dunia ini, hanya kau," ungkap Larisa dengan kepala menunduk saat mengucapkan kalimat terakhirnya.
Denis mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, sebuah benda berbentuk bulat yang terbuat dari bahan sejenis batu, tapi mudah dihancurkan. Bertuliskan Agata Grup dengan lambang seekor elang terbang mengepakkan sayapnya.
"Kau lihat ini! Selama mereka memiliki benda ini, kau bisa mempercayai mereka," ucap Denis memberikan benda itu kepada Larisa.
Ia mengambilnya dan memperhatikan dengan saksama. Mengeja tulisan yang ada, kemudian mengangkat wajah dengan bingung.
"Agata Grup?" Bertanya bingung.
Denis menganggukkan kepala, duduk bersimpuh di hadapan Larisa. Menggenggam kedua tangan gadis itu memberinya rasa hangat dan nyaman.
"Percayalah padaku, hanya orang-orang dari Agata Grup yang memiliki benda ini. Mereka punya cara tersendiri untuk menghancurkan benda ini saat terdesak tak mampu melawan," jawab Denis lagi masih meyakinkan Larisa.
"Kenapa?" Gadis itu sudah mulai membaik, ketakutan mulai pudar di riak wajahnya, rasa aman dan terlindungi kini ia rasakan.
Denis beranjak dan duduk di samping sang istri, membuka tangan Larisa yang menggenggam benda tadi dan menekannya menggunakan dua jari. Lalu, hancurlah benda itu seperti abu.
Larisa melongo tak percaya, menatap butiran debu di tangan yang melenyapkan benda tadi. Benar-benar hancur tak bersisa.
"Karena mereka tak ingin disebut sebagai pengkhianat di akhir hidup mereka. Benda ini tidak mudah ditiru, dan mereka tak ingin benda ini jatuh ke tangan yang salah. Untuk itu, mereka lebih memilih mati bersama hancurnya benda ini dari pada mengkhianati Agata Grup," papar Denis panjang lebar.
Larisa manggut-manggut mengerti, selama mereka memiliki benda ini ia tak perlu khawatir.
"Kita pulang!" Denis beranjak berdiri, dan tanpa meminta persetujuan dari Larisa ia mengangkat tubuh gadis itu ke dalam gendongan.
Membawa keluar dari hotel dan kembali ke rumah mereka. Larisa melingkarkan tangan di lengan Denis, bersandar nyaman di pundak suaminya itu. Denis melirik pergelangan tangan Larisa, terlihat merah dan nyaris terkelupas.
Ia mengambil tangan itu dan mengusapnya dengan lembut. Larisa menatap padanya, pandang mereka bertemu, cukup lama.
"Apakah sakit?" tanya Denis lirih.
Larisa menganggukkan kepala, memang terasa sakit dan berdenyut. Denis mendekatkan tangan itu ke bibir, dan mengecupnya dengan lembut. Merangkul bahu Larisa, membuatnya kembali bersandar di pundak Denis lagi.
Larisa tersenyum, menelusup ke dalam dekapan sang suami. Entah mengapa, hatinya berbunga di saat berada di sisi Denis. Apakah dia sudah jatuh cinta?
Dering ponsel milik Denis terdengar, menyita keduanya. Ia melirik dan mengangkat panggilan.
"Tuan ...."
"Lakukan seperti biasanya."
gk mau Kalah Sam Denis ya....
Yg habis belah durian......