Dikhianati sang kekasih dan melihat dengan mata kepalanya sendiri wanita yang dia cintai tengah bercinta dengan pria yang tak lain sahabatnya sendiri membuat Mikhail Abercio merasa gagal menjadi laki-laki. Sakit, dendam dan kekacauan dalam batinnya membuat pribadi Mikhail Abercio berubah 180 derajat bahkan sang Mama sudah angkat tangan.
Hingga, semua berubah ketika takdir mempertemukannya dengan gadis belia yang merupakan mahasiswi magang di kantornya. Valenzia Arthaneda, gadis cantik yang baru merasakan sakitnya menjadi dewasa tak punya pilihan lain ketika Mikhail menuntutnya ganti rugi hanya karena hal sepele.
"1 Miliar atau tidur denganku? Kau punya waktu dua hari untuk berpikir." -Mikhail Abercio
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 - Goyah (Sejak Awal)
Hanya karena lampu merah, Mikhail kalah cepat dan kehilangan kesempatan. Betapa kesalnya dia pagi ini, pria itu masuk dengan langkah panjangnya. Sapaan para karyawan yang ada di sana tidak dia gubris sama sekali.
Sementara Zia, dia sudah masuk dan tidak mungkin Mikhail mengusiknya. Akan tidak baik efeknya jika terlalu dalam memasukan urusan pribadi dalam pekerjaan. Senyuman Bryan terlihat tengah mengejek Mikhail, pria itu hapal sekali gelagatnya.
"Dia punya kekasih, Anda tidak malu jadi orang ketiga dalam hubungan anak kecil seperti mereka?"
Bryan tidak paham bagaimana sebenarnya hubungan mereka. Akan tetapi pria itu yakin Zia tak lebih dari Jenny, wanita yang sebelumnya mengisi waktu luang Mikhail.
"Tutup mulutmu karena banyak yang akan kita lewati hari ini, Bryan."
Pria itu tersenyum miring, nampaknya Mikhail benar-benar marah kali ini. Padahal, tadi pagi wajahnya berseri saat bangun tidur.
Semakin kesini Mikhail memang semakin membaik, Edgard bahkan merasa dia berbeda lantaran kerap menolak ajakannya untuk menikmati malam panjang seperti biasa.
Ini adalah hal yang baik, bahkan Kanaya berterima kasih pada Bryan lantaran putranya tak lagi pulang dalam keadaan mabuk. Akan tetapi bagi Bryan naluri buayanya mengalir dalam darah dan tidak mudah untuk diubah.
"Semangat sekali, sepertinya gadis itu membawa pengaruh baik dalam hidup Anda."
Dia tidak menjawab, hanya terdiam dan mempertimbangkan ucapan Bryan. Pengaruh baik, memang salah satu sisi hidupnya lebih baik semenjak Zia bersamanya.
Demi Zia yang tak bisa menghirup asap rokok dia tak pernah lagi menyesap benda itu. Begitupun dengan alkohol karena memang tak pernah berjumpa Edgard, jadi mana mungkin dia sempat menikmati minuman haram itu.
"Apapun yang kau tau tentangku ... tetap tutup mulutmu, jangan membuat Mama berharap lebih dariku."
Bryan memang pria yang bisa dia percaya, akan tetapi dia juga orang kepercayaan Ibra dan Kanaya. Jika saja ada hal baik darinya sampai pada Kanaya, maka bisa dipastikan sang mama akan berpikir jauh ke depannya, terutama soal wanita.
"Apa tidak sebaiknya nikahi saja? Kalian terlihat manis di rumah itu."
Mendengar jawaban itu, Mikhail memalingkan muka dan memutar cincin di jemari tengahnya. Pria itu berdesir setiap mendengar kalimat pernikahan, ada perasaan yang tak bisa dia utarakan, entah apa diapun tak mengerti.
"Hentikan bualanmu, Bryan," ucap Mikhail datar, menepis jauh-jauh apa yang kini dia pikirkan.
Sejak lama Bryan memahami dirinya dan baru kali ini saran itu keluar dari bibir pria itu. Padahal secara sadar dia sangat paham jika Mikhail anti dengan pernikahan, apa mungkin karena prinsip Mikhail yang memang goyah sejak pertama menemukan Zia.
Entahlah, yang jelas pagi ini dia dibuat marah akibat ulah bocah ingusan itu. Ancamannya seakan tak berguna, sudah berkali-kali dia mengatakan Zia adalah miliknya tapi nyatanya wanita itu akan melakukan hal sama jika bersama pria lain.
"Zia ... namanya cantik," ujar Bryan kemudian, sudah tahu atasannya sedang panas dia tetap berulah.
"Tutup mulutmu."
"Hanya memuji, tidak ada maksud apa-apa."
"Aku bilang tutup mulutmu!!" sentak Mikhail tak kuasa menahan emosinya yang tiba-tiba meledak hingga ubun-ubun.
-
.
.
.
Apa sebenarnya yang dia lakukan, Zia terdiam dan mencoret asal kertas kosong di meja belajarnya. Berusaha memahami apa yang dia inginkan saat ini. beberapa waktu yang lalu dia terlelap dalam pelukan seorang pria di malam harinya, sementara besok paginya dia memeluk tubuh pria yang lain.
Dia murahan, menjijikkan dan sama sekali tidak berharga. Iya, Zia akui itu meski sekelilingnya tidak menganggapnya begitu. Hubungan yang awalnya karena kesepakatan, berakhir menjadi pengkhianatan dan Zia membagi cinta tanpa dia sengaja.
Hendak bagaimana dia, sebelumnya dia sudah melakukan saran Erika untuk memutuskan Zidan segera. Memang, Zia yang begini nyatanya tengah mengasah belati untuk bunuh diri usai menyayat Zidan nantinya.
"Bercanda aja terus, kamu kenapa hobi banget nge-prank ya, By?"
Berkali-kali dia katakan jika serius, namun respon Zidan sama karena memang dia tidak menemukan alasan yang masuk akal atas permintaan tiba-tiba dari Zia.
Tidak mungkin dia katakan dengan jelas jika dia menjual diri lantaran butuh uang cepat. Hatinya tak sesiap itu untuk mengatakan yang sebenarnya. Dia hanya ingin berpisah dan tak mau mengikat Zidan dalam luka.
"Tuhan aku harus apa?" Zia terdiam dalam lamunannya, menatap jauh langit kelam di luar sana.
Persis hidupnya saat ini, tidak ada yang bisa dijadikan titik terang. Meski Mikhail tak hanya sekali mengatakan pernikahan, dan selalu bicara ke arah hubungan yang serius entah kenapa ketakutan itu masih saja ada.
Sadar betul posisinya hanya sebatas teman tidur, Zia merasa tidak pantas jika diperistri seorang Mikhail. Apalagi setelah tadi siang beberapa stasiun televisi menjadikan pewaris keluarga Megantara itu sebagai topik utama.
Sudah satu minggu keduanya tidak bertemu, Mikhail tampak sibuk dan terakhir mereka bertemu kala Mikhail menyerahkan kunci di tempat mereka biasa bertemu.
Pria itu sepertinya benar-benar marah lantaran ulahnya pagi itu bersama Zidan. Meski tidak ada kalimat kasar yang terlontar, tetap saja Zia merasa jika Mikhail berbeda.
Ketika di kantor pun Mikhail hanya menatapnya tanpa mengucapkan apa-apa. Dia juga terlihat biasa saja jika bertemu Zidan dan Zia di depan kantor.
"Kuat juga marahnya, biasanya jam segini sudah telpon."
Dia bukan berharap, hanya terasa lucu saja. Terbiasa dengan hal itu tiba-tiba hilang, apa mungkin Mikhail melepaskannya hanya karena 16 janji pertemuan itu dia anggap selesai, pikir Zia saat ini.
Beberapa menit dia menunggu, hingga dia beranjak dengan cepat kala ketukan pintu itu terdengar jelas. Zia setengah berlari, dengan perasaan tak biasa itu muncul. Seakan ada hal yang sudah dia nantikan sejak lama.
"Bentar," sahutnya cukup kuat seraya merapikan rambutnya sebelum kemudian membuka pintu lebar-lebar.
"Kok nggak ngabar ... rin aku dulu?"
Nada bicaranya terdengar berbeda, matanya mengerjap dan tersenyum getir kini. Hati Zia tak sebahagia sebelum pintu itu terbuka, dia menelan kekecewaan namun tetap berusaha tak dia perlihatkan.
"Hai, Sayang! Kaget ya?"
Zidan menampilkan senyum manisnya, dengan membawakan es krim vanila kesukaan sang kekasih. Sengaja datang meski dua hari berturut-turut Zia putuskan.
"Zidan." Zia menghela napasnya perlahan, senyum itu semakin membuatnya merasa bersalah.
"Hm, kenapa? Mau makan sekarang atau simpan dulu?" tanya Zidan duduk di sofa dan pura-pura tidak ada hal aneh yang terjadi dalam hubungan mereka.
"Kamu lupa apa yang kukatakan kemarin?"
"Putus? Ingat, dan aku tidak mau." Zidan bersandar di sofa dan menatap lekat Zia yang kini menghampirinya.
"Zidan, aku_"
"Shut, jangan mengatakan hal itu lagi karena aku tidak mau mendengarnya, Zia."
Bukan hanya satu pria keras kepala saat ini, melainkan dua. Jika biasanya Zidan penurut, kini dia sama halnya seperti Mikhail. Andai saja Zidan mau mendengarkan lebih dulu dan tahu kenyataan sesungguhnya. Mungkin, kalimat putus takkan dia dengar melainkan dia sendiri yang ungkapkan.
"Aku tidak sebaik yang kamu kira!!" teriaknya dengan tangis yang pecah pada akhirnya.
"Hentikan, Zia, aku kesini bukan untuk melihatmu menangis ... selama bersamaku, Zia adalah orang baik, jangan mengutuk dirimu, By."
"Baik, kita buktikan setelah kamu melihat ini ... apa pendirianmu akan tetap sama."
Tbc
Mohon dukungannya, terima kasih❣️
Kalau tidak suka mohon skip saja, jangan turunin rate/bintang Mikhail ya🤗