Malam itu langit dihiasi bintang-bintang yang gemerlap, seolah ikut merayakan pertemuan kami. Aku, yang biasanya memilih tenggelam dalam kesendirian, tak menyangka akan bertemu seseorang yang mampu membuat waktu seolah berhenti.
Di sudut sebuah kafe kecil di pinggir kota, tatapanku bertemu dengan matanya. Ia duduk di meja dekat jendela, menatap keluar seakan sedang menunggu sesuatu—atau mungkin seseorang. Rambutnya terurai, angin malam sesekali mengacaknya lembut. Ada sesuatu dalam dirinya yang memancarkan kehangatan, seperti nyala lilin dalam kegelapan.
"Apakah kursi ini kosong?" tanyanya tiba-tiba, suaranya selembut bayu malam. Aku hanya mengangguk, terlalu terpaku pada kehadirannya. Kami mulai berbicara, pertama-tama tentang hal-hal sederhana—cuaca, kopi, dan lagu yang sedang dimainkan di kafe itu. Namun, percakapan kami segera merambat ke hal-hal yang lebih dalam, seolah kami sudah saling mengenal sejak lama.
Waktu berjalan begitu cepat. Tawa, cerita, dan keheningan yang nyaman
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achaa19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
rahasia yang menyimpan rindu
Bab 4: Rahasia yang Menyimpan Rindu
Hari-hari berlalu, dan pertemuan dengan Reina terus membayangi pikiran Arya. Pertemuan mereka yang sederhana di taman kecil itu memberikan ketenangan yang sulit ia jelaskan. Setiap kali ia menulis di buku catatannya, ia selalu kembali pada Reina—senyumannya, tatapannya, dan kehadirannya yang terasa hangat namun misterius.
Arya memutuskan untuk mencoba memahami lebih dalam tentang dirinya dan perasaannya. Namun, ia juga menyadari bahwa perasaan ini membingungkannya. Reina adalah sosok yang asing, dan ia bahkan belum benar-benar mengenalnya.
Satu Minggu Kemudian – Sebuah Undangan Tak Terduga
Arya sedang duduk di ruang kerjanya ketika ponselnya berbunyi. Ia meraih telepon dan melihat nama yang muncul di layar: Reina.
Jantungnya berdebar. Ia ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab.
“Halo?” suaranya terdengar santai meskipun hatinya berdebar.
“Hi, Arya. Maaf mengganggu,” suara Reina terdengar lembut di ujung telepon.
“Tidak apa-apa. Ada apa?”
“Aku akan mengadakan sebuah acara kecil di tempat kerjaku. Sederhana saja, hanya berkumpul bersama beberapa teman dan kerabat dekat. Aku berpikir mungkin kamu ingin datang. Tidak ada paksaan, tentu saja.”
Arya terdiam sejenak. Undangan itu terasa mengejutkan, tetapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuatnya merasa bahwa ia harus menerima.
“Aku… tentu saja akan senang datang,” ujarnya dengan hati-hati.
“Baiklah. Aku kirim undangannya nanti, ya?”
“Baik.”
Telepon ditutup, dan Arya menatap layar ponsel dengan hati yang berisi tanya. Undangan itu terasa seperti sebuah kesempatan untuk memahami lebih dalam tentang Reina, tentang dirinya, dan tentang perasaan yang ia pendam selama ini.
Acara itu diadakan di sebuah rumah kecil yang sederhana namun indah. Cahaya lampu lembut menghiasi ruang tamu, dan suasananya penuh dengan tawa dan perbincangan hangat. Arya bisa melihat bagaimana Reina tampak nyaman di antara para tamu, senyumannya yang selalu memancarkan kehangatan yang membuatnya semakin sulit berpaling darinya.
Arya merasa gugup saat pertama kali memasuki ruang tamu itu. Namun ketika ia bertemu Reina, ia merasa gugup itu seketika mereda.
“Selamat datang,” sambut Reina sambil tersenyum, wajahnya cerah dengan cahaya lampu di ruangan itu.
“Aku senang bisa datang,” jawab Arya sambil memberikan senyum balik.
Reina mempersilakan Arya untuk duduk dan berbincang dengan tamu-tamu lain. Arya melihat berbagai wajah yang tersenyum ramah, namun ia tetap tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Reina. Perasaannya semakin membingungkan.
Acara itu berjalan dengan hangat. Percakapan tentang topik sederhana mulai mengisi ruangan, dan Arya mulai merasa lebih rileks. Di sinilah ia menyadari bahwa ia bisa melihat sisi lain Reina—sosok yang ramah, hangat, dan penuh semangat.
Namun, ada satu hal yang ia rasakan: ada banyak hal yang disembunyikan Reina. Ada semacam rahasia yang tersirat dalam tatapan matanya, dalam senyum kecilnya, dalam setiap kata yang ia ucapkan.
Arya berusaha untuk tidak memikirkannya lebih dalam. Tapi setiap kali ia memandang Reina, ia merasa bahwa rahasia itu seperti magnet yang menariknya, membuatnya ingin menggali lebih dalam.
Malam semakin larut, dan tamu-tamu mulai berpindah ke luar ruangan untuk mengobrol di balkon atau hanya menikmati angin malam yang sejuk. Arya duduk di salah satu kursi, menatap langit yang mulai dipenuhi bintang. Reina duduk di sebelahnya tanpa banyak bicara.
Keheningan itu datang tanpa terpaksa. Arya bisa merasakan bahwa Reina sedang memikirkan sesuatu, sama seperti ia memikirkan hal yang sama.
“Reina,” suara Arya memecah keheningan.
Reina menoleh, wajahnya lembut di bawah sinar rembulan. “Ya?”
“Apa yang kamu pikirkan tadi?”
Reina terdiam lama sebelum akhirnya menjawab, “Kadang, kita berusaha menghindari masa lalu, tetapi masa lalu selalu punya caranya untuk menemukan kita.”
Kata-katanya seperti sebuah teka-teki, dan Arya tidak tahu harus menjawab apa.
“Masa lalu?” tanyanya hati-hati.
Reina menunduk, lalu menghela napas. “Lain kali, mungkin kita bisa membicarakannya. Tapi tidak sekarang.”
Arya tidak memaksa. Ia tahu bahwa perasaan ini membutuhkan waktu. Ada banyak lapisan dalam kepribadian Reina, dan ia harus berhati-hati jika ingin memahami semua rahasia yang ada di baliknya.
Dan malam itu, mereka berdua duduk bersama di bawah bintang-bintang, membawa serta ketenangan yang samar namun penuh arti. Arya tahu bahwa perjalanan ini baru akan dimulai. Perasaannya semakin dalam, dan ia sadar bahwa ia harus terus berjalan—meskipun jalan ini penuh misteri.