Elyana Mireille Castella, seorang wanita berusia 24 tahun, menikah dengan Davin Alexander Griffith, CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Namun, pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Sifat Davin yang dingin dan acuh tak acuh membuat Elyana merasa lelah dan kehilangan harapan, hingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan perceraian.
Setelah berpisah, Elyana dikejutkan oleh kabar tragis tentang kematian Davin. Berita itu menghancurkan hatinya dan membuatnya dipenuhi penyesalan.
Namun, suatu hari, Elyana terbangun dan mendapati dirinya kembali ke masa lalu—ke saat sebelum perceraian terjadi. Kini, ia dihadapkan pada kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan mereka dan mengubah takdir.
Apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau takdir yang memberi Elyana kesempatan untuk menebus kesalahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firaslfn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Pernikahan Dingin
Minggu-minggu setelah makan malam itu berlalu dengan cepat, dan persiapan untuk pernikahan mereka pun dimulai. Elyana dan Davin, yang kini resmi bertunangan, terlihat seperti pasangan biasa di mata orang-orang di sekitar mereka, tetapi di dalam hati mereka masing-masing, ada ketegangan yang sulit disembunyikan. Pernikahan ini bukan tentang cinta, melainkan tentang strategi. Meskipun Elyana ingin meyakinkan dirinya bahwa dia cukup tegar untuk menjalani hidup ini, ada sisi dalam dirinya yang meragukan keputusan itu.
Di ruang pertemuan kantor Davin, di mana eksekutif-eksekutif berkumpul, suasana serius dan penuh perhitungan. Davin sedang membahas rencana ekspansi bisnis perusahaan, dengan Elyana di sampingnya, mendengarkan dan menyimak setiap detail. Ia harus menjaga keseimbangan antara peran barunya sebagai calon istri dan manajer proyek yang cerdas.
Setelah rapat, Davin mengundang Elyana untuk berbicara di ruang kerjanya. Langit di luar sudah gelap, dan suara hujan yang rintik-rintik di kaca jendela menambah kesan dingin yang terasa di dalam ruangan. Davin duduk di kursi kulit hitamnya yang besar, dengan jas hitam yang membuatnya terlihat tegas dan tidak bisa didekati.
“Kita harus memikirkan tentang pernikahan ini lebih serius,” kata Davin, suaranya tenang tetapi tidak bisa disangkal ada ketegangan di sana.
Elyana menatapnya dengan ekspresi serius. “Saya tahu. Ini bukan hanya tentang kita, Davin. Ada banyak yang dipertaruhkan di sini. Tapi, saya ingin tahu, apa yang sebenarnya Anda harapkan dari semua ini?”
Davin terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku berharap ini bisa memberi kita stabilitas, Elyana. Ini langkah yang penting untuk perusahaan, tapi aku juga ingin memastikan kita berdua bisa menghadapinya dengan kepala tegak.”
“Tapi, bagaimana dengan kita? Apakah ini hanya tentang strategi? Apakah ada ruang untuk kita menemukan arti di balik semua ini?” Elyana bertanya, matanya mencari jawaban di wajah pria yang tampak begitu terjaga dan sulit dibaca.
Davin menatapnya, sejenak seolah ingin mengungkapkan sesuatu yang lebih, lalu menghela napas. “Aku tidak tahu. Mungkin, kita hanya perlu melangkah dan melihat apa yang akan terjadi.”
Suasana di ruangan itu terasa mencekam, seakan menyimpan rahasia yang terlalu besar untuk diungkap. Elyana menatap Davin, merasakan adanya pergulatan dalam dirinya. Ia tahu bahwa di balik sikap seriusnya, ada sesuatu yang lebih dalam, tetapi ia tidak tahu apa itu.
Hari pernikahan tiba, dan semua orang berkumpul di aula megah yang dihiasi bunga-bunga putih dan lampu-lampu kristal yang berkilauan. Elyana berdiri di depan cermin, mengenakan gaun pengantin yang elegan, dengan rambut yang disisir rapi dan make-up yang sempurna. Di luar, suara bisik-bisik para tamu terdengar, campuran antusiasme dan rasa ingin tahu.
Elyana merasakan sentuhan lembut di bahunya. Ibunya, yang datang dari luar kota, mengelus pipinya. “Kamu cantik sekali, sayang,” katanya dengan suara yang penuh cinta, meskipun mata Elyana tahu ada kekhawatiran di sana.
“Terima kasih, Ibu,” jawab Elyana, memaksakan senyum di wajahnya. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa hari ini adalah awal dari sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Ketika Elyana berjalan menyusuri lorong aula, matanya bertemu dengan mata Davin yang menantinya di altar. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi, tetapi ada sesuatu di sana yang membuat jantung Elyana berdetak lebih cepat. Senyuman yang ia berikan sepertinya sulit ditahan, walau hanya sekejap.
Saat upacara berlangsung, mereka mengucapkan janji yang lebih seperti formalitas daripada pernyataan perasaan. Elyana merasakan dirinya membeku dalam momen itu, tidak tahu apakah ini keputusan yang tepat atau sebuah kesalahan besar. Namun, ketika mereka akhirnya saling bertukar cincin, ada satu hal yang tidak bisa diabaikan: perasaan di antara mereka berdua. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi satu hal yang pasti, hubungan mereka baru saja dimulai, dan jalan di depan akan penuh dengan misteri, tantangan, dan mungkin, penemuan-penemuan baru.
Malam pertama mereka, suasana di kamar tidur hotel besar itu terasa asing. Elyana duduk di tepi tempat tidur, mengenakan gaun pengantin, sementara Davin berdiri di dekat jendela, menatap ke luar. Angin malam masuk melalui jendela, membawa aroma hujan yang masih tertinggal di udara.
“Apa yang kita lakukan sekarang, Davin?” tanya Elyana, suaranya hampir seperti bisikan.
Davin berbalik dan menatapnya, lalu menghela napas. “Kita mulai dari sini, Elyana. Mungkin ini bukan awal yang sempurna, tapi aku berharap ini bisa menjadi awal yang baik.”
Elyana memandangnya dalam-dalam, melihat ketulusan di matanya. Meski masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, untuk pertama kalinya, ia merasa ada sedikit harapan. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi mungkin, hanya mungkin, ada kesempatan untuk menemukan sesuatu yang lebih, di luar pernikahan yang dingin ini.
Mereka duduk di ruang kamar yang luas dengan hanya pencahayaan lembut dari lampu meja, Davin dan Elyana berbagi keheningan yang mengisi ruang di antara mereka. Suara hujan yang masih terdengar di luar membuat suasana menjadi semakin canggung, meskipun ada ketegangan yang sulit diungkapkan.
Elyana menggulung lengan gaunnya, menatap cermin besar yang memantulkan gambarnya. Ia melihat ke dalam mata sendiri, mencoba mencari kekuatan yang selama ini tersembunyi di balik penampilan luar yang sempurna. Sementara itu, Davin berdiri di dekat jendela, tampak memikirkan sesuatu yang jauh di luar jangkauan Elyana.
"Apa kamu merasa nyaman di sini?" tanya Davin, akhirnya memecah keheningan dengan suara yang terdengar serius namun penuh pertanyaan. Suara itu menembus kebisuan yang sebelumnya menguasai ruangan.
Elyana menoleh, matanya bertemu dengan mata Davin yang penuh dengan konflik. “Aku tidak tahu, Davin. Semua ini... terasa seperti langkah besar, seperti sebuah pertaruhan.”
Davin mengangguk perlahan, wajahnya menunjukkan ekspresi yang jarang Elyana lihat—keterbukaan. “Aku tahu. Tapi ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang sesuatu yang lebih besar, tentang bagaimana kita bisa menemukan tempat kita di dunia ini, bersama atau terpisah.”
Elyana menghela napas, merasakan kehangatan yang tidak biasa di dadanya. Ada sesuatu dalam sikap Davin yang membuatnya merasa bahwa mereka berdua berada di jalur yang sama, meskipun mereka datang dari dunia yang berbeda. “Apakah kamu percaya pada hal-hal seperti itu?” tanyanya, mencoba memecahkan ketegangan dengan suara lembut.
Davin tersenyum tipis, seolah terkejut dengan pertanyaan itu. “Aku tidak tahu. Dulu, aku tidak pernah memikirkannya. Tapi sejak kita mulai berbicara, aku mulai mempertanyakan banyak hal.”
Mata Elyana terbelalak, tak sengaja tertangkap dalam pandangan Davin. Ada kilatan harapan di matanya, walau hanya sekejap. Ia ingin percaya bahwa di balik sikap serius Davin, ada sisi lain yang bisa mereka pelajari bersama, sesuatu yang belum pernah mereka temui sebelumnya.
“Kita bisa mencoba,” jawab Elyana akhirnya, suara lembutnya penuh tekad. “Tidak ada salahnya mencoba, bukan?”
Davin terdiam, lalu mendekat, berdiri di samping Elyana. Ia menatap ke depan, ke luar jendela yang menampilkan pemandangan kota Jakarta yang berkilauan. “Mungkin itu yang harus kita lakukan. Mencoba, tanpa banyak berpikir tentang apa yang akan datang.”
Elyana mengangguk, merasakan aliran kehangatan yang perlahan meresap ke dalam dirinya. Meski pernikahan ini bukanlah pernikahan yang diimpikannya, mungkin, di suatu tempat di dalam hatinya, ada secercah keyakinan bahwa mungkin mereka bisa menemukan makna di baliknya.
Malam itu berakhir dengan keduanya duduk di tepi tempat tidur, berdua dalam keheningan yang seakan mengikat mereka dalam kesepakatan yang tidak diucapkan. Mereka tidak tahu apa yang akan datang—apakah ini akan menjadi awal dari sebuah cerita yang penuh tantangan, atau sebuah akhir dari sesuatu yang tak pernah mereka rencanakan. Tetapi satu hal yang pasti, mereka memulai perjalanan ini dengan tekad untuk tidak hanya sekadar bertahan, tetapi untuk mencoba menemukan arti di balik setiap langkah mereka.
...****************...