Laila, seorang gadis muda yang cerdas dan penuh rasa ingin tahu, tiba-tiba terjebak dalam misteri yang tak terduga. Saat menemukan sebuah perangkat yang berisi kode-kode misterius, ia mulai mengikuti petunjuk-petunjuk yang tampaknya mengarah ke sebuah konspirasi besar. Bersama teman-temannya, Keysha dan Rio, Laila menjelajahi dunia yang penuh teka-teki dan ancaman yang tidak terlihat. Setiap kode yang ditemukan semakin mengungkap rahasia gelap yang disembunyikan oleh orang-orang terdekatnya. Laila harus mencari tahu siapa yang mengendalikan permainan ini dan apa yang sebenarnya mereka inginkan, sebelum dirinya dan orang-orang yang ia cintai terjerat dalam bahaya yang lebih besar.
Cerita ini penuh dengan ketegangan, misteri, dan permainan kode yang membawa pembaca masuk ke dalam dunia yang penuh rahasia dan teka-teki yang harus dipecahkan. Apakah Laila akan berhasil mengungkap semuanya sebelum terlambat? Atau akankah ia terjebak dalam jebakan yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faila Shofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pesan tersembunyi dibalik cahaya
Setelah mendengar penjelasan Dina, langkah mereka terasa lebih berat. Semua petunjuk yang sudah mereka kumpulkan seolah belum cukup untuk membuka rahasia di balik kode angka itu. Namun, ketika mereka hendak meninggalkan ruang kelas, sesuatu terjadi.
"Eh... ini apaan?" Rifki menunjuk ke meja Laila. Ada bekas garis samar yang terlihat di atas permukaan kayu, tapi warnanya nyaris tak kasat mata.
Laila mengernyit, menelusuri garis itu dengan jarinya. "Tunggu, ini kayak tulisan... tapi nggak jelas."
"Mungkin tinta tak terlihat," gumam Dina sambil mendekat. Semua mata langsung tertuju padanya.
"Tinta tak terlihat? Maksud kamu kayak di film-film detektif?" tanya Keysha penasaran.
Dina mengangguk cepat. "Iya. Itu namanya Invisible Ink. Biasanya cuma bisa terlihat kalau dipanaskan atau disorot cahaya tertentu."
Mereka saling berpandangan, mulai menyadari sesuatu.
Tanpa membuang waktu, mereka berempat bersama Dina bergegas ke laboratorium ilmu sains yang saat itu kosong. Laboratorium adalah tempat yang tepat untuk mencari alat bantu seperti lampu UV atau sumber panas.
"Kalau ini tinta tak terlihat, berarti kita butuh cahaya ultraviolet atau panas," ujar Dina sambil membuka lemari alat.
Rio menemukan sebuah lampu UV kecil di sudut rak. "Ini bisa nggak?" tanyanya sambil memegang alat itu.
"Coba aja!" seru Rifki, bersemangat.
Mereka menaruh kertas kode angka tadi dan meja kayu tempat Laila melihat garis samar di bawah lampu UV. Cahaya kebiruan mulai menyinari permukaannya, dan perlahan... sesuatu muncul.
Tulisan itu begitu samar, tetapi bisa terbaca dengan jelas setelah beberapa detik:
"LIHAT BUKU HALAMAN 237."
"Gila! Ada tulisan beneran!" teriak Keysha, setengah tak percaya.
"Halaman 237? Buku apa maksudnya?" tanya Rio.
Dina menatap mereka serius. "Pasti buku yang berhubungan dengan sandi ini. Kita harus balik ke perpustakaan!"
Mereka kembali berlari ke perpustakaan. Langkah kaki mereka bergema di sepanjang lorong, sementara rasa penasaran bercampur dengan ketegangan menyelimuti pikiran mereka.
"Kita harus nyari buku yang pas," kata Laila begitu mereka sampai.
Namun, masalahnya... tidak ada judul buku yang disebutkan. Mereka hanya punya petunjuk: halaman 237.
"Kita cari buku tentang sandi atau pesan rahasia. Fokus!" perintah Dina.
Mereka berpencar, mencari di setiap rak. Rifki akhirnya menemukan buku yang mirip dengan buku sandi sebelumnya, hanya saja lebih tebal dan tua. Sampulnya berdebu dan judulnya sudah hampir tak terbaca.
"Aku nemu ini. Kayaknya ini deh," ujar Rifki sambil membawa buku itu ke meja baca.
Mereka membuka halaman demi halaman sampai tiba di halaman 237. Di sana terdapat deretan simbol-simbol aneh yang terlihat seperti... lagi-lagi angka. Tapi di bawahnya terdapat catatan kecil:
"Gunakan panas untuk melihat lebih jelas."
"Panas lagi? Jadi, kita harus bakar bukunya?" tanya Keysha dengan nada setengah bercanda.
Dina menggeleng cepat. "Nggak, cukup dipanaskan aja. Misalnya pake lilin atau korek api."
Mereka kembali ke laboratorium, membawa buku itu dengan hati-hati. Laila menyalakan lilin kecil yang biasa digunakan untuk percobaan. Perlahan, mereka mendekatkan halaman itu ke api—cukup dekat untuk membuat panas, tetapi tidak sampai membakar.
Lama kelamaan, tulisan samar mulai muncul di bawah angka-angka itu.
"Kembali ke tempat di mana cahaya pertama jatuh."
Kalimat itu membuat mereka semua terdiam.
"Apa maksudnya?" tanya Rio, mengerutkan dahi.
"Tempat cahaya pertama jatuh... kayaknya ini bukan cuma metafora," gumam Dina sambil berpikir.
Laila tiba-tiba tersadar. "Ingat nggak saat kita nemuin kertas ini pertama kali? Itu ada di bawah jendela kelas kita!"
"Jendela kelas? Jadi maksudnya kita harus kembali ke sana?" tanya Rifki.
Laila mengangguk mantap. "Ya, itu satu-satunya petunjuk yang kita punya sekarang."
Mereka semua bergegas kembali ke kelas mereka. Hari sudah sore, dan suasana sekolah mulai sepi. Ruangan kelas kosong, hanya menyisakan sinar matahari yang masuk lewat jendela.
"Ini dia. Tempat cahaya pertama jatuh," bisik Laila sambil menunjuk lantai di bawah jendela.
Mereka mulai memeriksa area itu, mengetuk lantai kayu dan mencari sesuatu yang aneh. Hingga akhirnya, Rifki menemukan sesuatu yang berbeda—sebuah papan kayu yang sedikit longgar.
Dengan hati-hati, ia mencungkil papan itu, dan di baliknya... ada sebuah kotak kecil berkarat.
"Apaan ini?" tanya Rio sambil mendekat.
Laila membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya ada secarik kertas lagi—dengan sandi berbeda, tetapi kini ditulis menggunakan angka dan simbol yang lebih rumit.
Saat Laila membaca kertas itu, jantungnya berdegup lebih kencang. Kata-kata yang tertulis dengan samar membuat mereka semua terdiam.
"Waktu kalian hampir habis. Satu lagi akan hilang."
Semua saling berpandangan, wajah mereka pucat.
"Satu lagi? Apa maksudnya satu orang lagi bakal hilang?!" seru Keysha panik.
"Clara... dan sekarang siapa lagi?" gumam Dina, wajahnya mulai panik.
Rio mengepalkan tangannya. "Kita harus selesaikan ini sebelum ada yang jadi korban lagi. Kita nggak boleh kalah sama si pembuat sandi ini!"
Laila menatap simbol-simbol di kertas itu, tekadnya mulai membara. "Kali ini, kita harus lebih cepat. Kita nggak bisa nunggu sampai ada orang lain yang hilang."
Namun, sebelum mereka sempat berpikir lebih jauh, suara langkah kaki terdengar di luar kelas. Langkah itu terdengar berat dan lambat, seolah seseorang sedang mengintai.
"Ada yang datang!" bisik Rifki, membuat mereka semua menahan napas.
Mereka menoleh ke arah pintu, tetapi tidak ada siapa pun. Hanya keheningan yang memekakkan telinga.
"Kita nggak aman di sini. Ayo keluar dulu," ujar Dina dengan suara gemetar.
Mereka semua bergegas meninggalkan kelas, tetapi Laila menggenggam kertas sandi erat-erat. Ia tahu, semakin dalam mereka menggali misteri ini, semakin besar bahaya yang mereka hadapi.
Dan kini, mereka berpacu dengan waktu—karena satu lagi akan hilang, dan bisa saja itu salah satu dari mereka.
Setelah meninggalkan kelas dengan perasaan was-was, Laila, Rifki, Keysha, Rio, dan Dina berkumpul di taman belakang sekolah. Tempat itu sepi, hanya terdengar suara angin yang berhembus pelan, memberikan mereka ruang untuk berpikir tanpa gangguan.
"Kita harus memecahkan sandi ini secepat mungkin," ujar Laila sambil menatap kertas di tangannya. "Ancaman ini nyata, dan kita nggak bisa biarkan satu lagi dari kita hilang."
"Tapi kita butuh lebih banyak informasi," tambah Keysha. "Siapa yang bikin semua ini? Dan kenapa?"
Dina menghela napas panjang. "Mungkin kita harus mulai dari awal. Apa ada kejadian aneh sebelum semua ini dimulai?"
Mereka saling berpandangan, mencoba mengingat. Rio tiba-tiba bersuara. "Ingat nggak, beberapa minggu lalu ada guru baru yang datang? Pak Arman. Dia ngajarin kita tentang sandi dan kode di pelajaran tambahan."
"Iya, aku ingat," sahut Rifki. "Dia yang ngenalin kita ke konsep 'invisible ink' juga."
Laila mengerutkan kening. "Kalian pikir dia ada hubungannya sama semua ini?"
"Nggak tahu," jawab Rio. "Tapi mungkin kita harus ngobrol sama dia. Mungkin dia bisa bantu kita pecahin sandi ini."
Mereka memutuskan untuk menemui Pak Arman di ruang guru. Saat mereka tiba, Pak Arman sedang membereskan buku-bukunya. Ia tersenyum melihat kedatangan mereka.
"Ada apa, anak-anak? Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya ramah.
Laila maju selangkah. "Pak, kami butuh bantuan Anda. Kami menemukan beberapa sandi dan pesan tersembunyi di sekolah ini, dan kami pikir Anda mungkin bisa membantu kami memecahkannya."
Mata Pak Arman berbinar. "Menarik. Boleh saya lihat?"
Mereka menyerahkan kertas berisi sandi kepada Pak Arman. Ia memeriksanya dengan seksama, lalu mengangguk.
"Ini adalah sandi substitusi dengan pergeseran tertentu," jelasnya. "Kalian perlu menemukan kunci pergeserannya untuk bisa membacanya."
"Kami sudah mencoba beberapa metode," kata Dina. "Tapi belum berhasil."
Pak Arman tersenyum tipis. "Mungkin kalian melewatkan sesuatu. Coba pikirkan, apa ada petunjuk lain yang bisa membantu kalian menemukan kunci pergeserannya?"
Mereka terdiam, merenung. Laila tiba-tiba tersadar. "Tunggu, di salah satu pesan sebelumnya ada kata 'cahaya pertama'. Mungkin itu petunjuknya!"
Pak Arman mengangguk. "Bisa jadi. Coba kalian cari tahu apa yang dimaksud dengan 'cahaya pertama'. Mungkin itu akan membawa kalian ke kunci pergeserannya."
Mereka kembali ke kelas, mencoba mengingat apa yang dimaksud dengan 'cahaya pertama'. Rio tiba-tiba berseru.
"Matahari terbit! Itu cahaya pertama setiap hari!"
"Jadi, mungkin kita harus mencari sesuatu yang berhubungan dengan matahari terbit," tambah Keysha.
Mereka memutuskan untuk datang ke sekolah lebih awal keesokan harinya, saat matahari terbit. Pagi itu, mereka berkumpul di halaman sekolah, menunggu cahaya pertama muncul.
Saat matahari mulai terbit, sinarnya menembus jendela kelas mereka, menciptakan pola cahaya di lantai. Laila memperhatikan dengan seksama.
"Lihat! Cahaya itu membentuk pola di lantai!" serunya.
Mereka mendekat, melihat pola cahaya yang membentuk angka: 3.
"Mungkin ini kunci pergeserannya," kata Rifki. "Kita harus menggeser huruf-huruf dalam sandi ini sebanyak tiga posisi."
Dengan semangat baru, mereka kembali ke kelas dan mulai menerapkan pergeseran tiga posisi pada sandi yang mereka temukan. Huruf demi huruf mulai terbentuk, hingga akhirnya pesan itu terbaca jelas:
"PERPUSTAKAAN LANTAI DUA, RAK KEEMPAT, BUKU BERWARNA MERAH."
"Kita harus ke perpustakaan sekarang!" seru Dina.
Mereka bergegas ke perpustakaan, menuju lantai dua. Di rak keempat, mereka mencari buku berwarna merah. Setelah beberapa saat, Keysha menemukannya.
"Ini dia!" katanya sambil menarik buku itu.
Mereka membuka buku tersebut dan menemukan sebuah amplop di dalamnya. Di dalam amplop, ada foto Clara yang sedang memegang papan bertuliskan angka: 5.
"Apa maksudnya ini?" tanya Rio bingung.
Laila berpikir sejenak. "Mungkin angka ini adalah petunjuk berikutnya. Kita harus mencari tahu apa arti angka 5 ini."
Mereka kembali ke ruang kelas, mencoba menganalisis foto Clara dengan angka 5. Dina tiba-tiba bersuara.
"Mungkin ini merujuk pada halaman 5 di buku yang kita temukan."
Mereka membuka buku merah itu ke halaman 5. Di sana, mereka menemukan sebuah puisi dengan huruf-huruf tertentu yang ditebalkan. Menggabungkan huruf-huruf tersebut, terbentuklah kata: "LABORATORIUM".
"Kita harus ke laboratorium sekarang!" kata Rifki.
Mereka berlari menuju laboratorium. Di sana, mereka menemukan meja dengan tanda silang yang hampir tak terlihat. Di bawah meja, ada sebuah kotak kecil yang terkunci.
"Bagaimana kita membukanya?" tanya Keysha.
Laila melihat sekeliling dan menemukan catatan kecil di papan tulis: "Kunci ada pada jumlah langkah dari pintu ke meja."
Mereka menghitung langkah dari pintu ke meja, dan mendapatkan angka 12. Memasukkan angka tersebut pada kunci kombinasi, kotak itu terbuka. Di dalamnya, mereka menemukan sebuah peta dengan tanda X di sebuah lokasi.
"Ini peta sekolah kita," kata Rio. "Tanda X ini ada di taman belakang."
apa rahasianya bisa nulis banyak novel?