Ji An Yi adalah seorang gadis biasa yang mendapati dirinya terjebak di dalam dunia kolosal sebagai seorang selir Raja Xiang Rong. Dunia yang penuh dengan intrik, kekuasaan, dan cinta ini memaksanya untuk menjalani misi tak terduga: mendapatkan Jantung Teratai, sebuah benda mistis yang dapat menyembuhkan penyakit mematikan sekaligus membuka jalan baginya kembali ke dunia nyata.
Namun, segalanya menjadi lebih rumit ketika Raja Xiang Rong-pria dingin yang membencinya-dan Xiang Wei, sang Putra Mahkota yang hangat dan penuh perhatian, mulai terlibat dalam perjalanan hidupnya. Di tengah strategi politik, pemberontakan di perbatasan, dan misteri kerajaan, Ji An terjebak di antara dua hati yang berseteru.
Akankah Ji An mampu mendapatkan Jantung Teratai tanpa terjebak lebih dalam dalam dunia penuh drama ini? Ataukah ia justru akan menemukan sesuatu yang lebih besar dari misi awalnya-cinta sejati yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanilatin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14
Berita tentang Ji An yang sering keluar masuk ruang kerja Raja Xiang Rong dengan membawa makanan dan minuman akhirnya sampai juga ke telinga Permaisuri Yang Xi. Awalnya, Yang Xi mencoba mengabaikan cerita itu, meyakinkan dirinya bahwa suaminya, Xiang Rong, adalah pria yang teguh pada pilihan dan perasaannya.
Namun, semakin hari, perasaan tidak nyaman mulai merayap di hatinya. Rasa cemburu yang ia coba sembunyikan kini tumbuh semakin nyata. Bukan karena ia tidak percaya pada Xiang Rong, tetapi karena Ji An Yi—wanita itu tampak seperti ancaman kecil yang bisa menjadi besar.
Di kamarnya, Yang Xi berdiri di depan cermin, melihat bayangan dirinya sendiri. “Aku tahu Xiang Rong tidak mudah tergoyahkan,” gumamnya pelan. “Tapi wanita itu... dia terlalu gigih. Apa yang sebenarnya dia rencanakan?”
Yang Xi memutuskan untuk tidak tinggal diam. Ia memanggil salah satu pelayan setianya untuk mendapatkan informasi lebih banyak tentang interaksi antara Ji An dan Raja Xiang Rong.
“Katakan padaku dengan jujur,” ucap Yang Xi kepada pelayannya yang membungkuk hormat di hadapannya. “Seberapa sering Ji An Yi datang ke ruang kerja Raja? Dan apa yang sebenarnya dia lakukan di sana?”
Pelayan itu terlihat ragu sejenak sebelum menjawab, “Yang Mulia, Selir Ji An sering datang membawa makanan atau teh untuk Raja. Namun, setiap kali ia datang, Raja tampaknya tidak menunjukkan respons yang hangat. Ji An biasanya hanya meletakkan apa yang ia bawa, membantu sedikit, lalu pergi.”
Yang Xi mengerutkan alisnya. “Benarkah? Jadi, Xiang Rong tetap bersikap dingin?”
“Benar, Yang Mulia. Sejauh yang hamba tahu, Raja tetap fokus pada pekerjaannya dan jarang memberikan perhatian pada Selir Ji An.”
Meski kata-kata itu sedikit menenangkan hati Yang Xi, ia tetap merasa bahwa ada sesuatu yang harus ia lakukan untuk memastikan posisinya tidak terguncang.
“Mungkin sudah waktunya aku berbicara langsung dengan Ji An Yi,” ucapnya dengan nada dingin. “Aku ingin tahu apa niat sebenarnya dari wanita itu.”
Pelayan itu hanya menunduk dalam-dalam, tidak berani menanggapi.
Dalam hati, Yang Xi sudah merencanakan pertemuan yang tidak akan dilupakan Ji An Yi.
***
Malam itu, di bawah sinar rembulan yang temaram, Ji An sedang duduk di kamarnya, membaca gulungan kertas tentang strategi militer. Ia berharap dapat memanfaatkan pengetahuannya untuk terus membantu Raja Xiang Rong. Namun, lamunannya terganggu oleh ketukan pelan di pintu.
“Masuk,” katanya, mengalihkan pandangannya dari gulungan.
Lin Li muncul dengan wajah gelisah. “Nona, Permaisuri Yang Xi mengundang Anda ke paviliunnya. Undangan ini... mendadak.”
Ji An terdiam sejenak. Ia tahu undangan ini tidak sekadar basa-basi. Permaisuri tidak pernah mengundangnya sebelumnya, apalagi tanpa alasan yang jelas. Dengan hati-hati, ia bangkit berdiri dan merapikan pakaiannya. “Baiklah, kita pergi sekarang.”
---
Di Paviliun Permaisuri
Paviliun Permaisuri Yang Xi diterangi cahaya lentera, memberikan suasana yang anggun namun penuh ketegangan. Ji An masuk dengan langkah tenang, berusaha menjaga sikap. Di dalam, Permaisuri Yang Xi sedang duduk di sebuah kursi berhias, mengenakan gaun sutra indah berwarna emas. Senyumnya tipis, tetapi matanya tajam saat melihat Ji An memasuki ruangan.
“Selir Ji An Yi,” sapa Yang Xi dengan nada yang terdengar ramah, tetapi memiliki sedikit nada dingin di baliknya. “Terima kasih sudah meluangkan waktumu untuk datang.”
Ji An membungkuk hormat. “Hamba merasa terhormat atas undangan Yang Mulia Permaisuri.”
Yang Xi mengisyaratkan agar Ji An duduk. Setelah Ji An duduk, pelayan datang membawa teh untuk mereka berdua. Namun, suasana tetap tegang.
“Aku dengar kau sering mengantarkan makanan dan minuman untuk Raja akhir-akhir ini,” ucap Yang Xi langsung, tanpa basa-basi.
Ji An tetap tenang, meskipun hatinya berdebar. “Benar, Yang Mulia. Hamba hanya mencoba memenuhi tugas hamba untuk membantu Raja dalam pekerjaannya.”
“Tugasmu?” Yang Xi mengangkat alis. “Bukankah tugasmu di istana ini hanya untuk memperindah suasana, bukan mencampuri urusan Raja?”
Ji An tahu ia harus menjawab dengan hati-hati. “Hamba tidak pernah berniat mencampuri, Yang Mulia. Hamba hanya ingin meringankan beban Raja, meskipun hanya melalui hal kecil seperti makanan.”
Yang Xi memandang Ji An dalam-dalam, mencoba membaca niat di balik kata-katanya. “Aku mengerti. Tapi kau harus ingat satu hal, Ji An Yi—Raja Xiang Rong adalah suamiku. Tidak peduli seberapa besar usahamu, hatinya hanya untukku. Jangan mencoba melewati batas itu.”
Ji An menunduk. “Hamba tidak pernah bermaksud melakukannya, Yang Mulia. Hamba hanya ingin menjalankan peran hamba di istana ini sebaik mungkin.”
Yang Xi tersenyum kecil, tetapi senyum itu penuh peringatan. “Bagus jika begitu. Pastikan kau tetap berada di tempatmu, Ji An Yi. Aku tidak ingin mendengar berita yang membuat posisiku terusik.”
Ji An mengangguk patuh, meskipun dalam hati ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kecemburuan dalam nada Permaisuri. Setelah beberapa percakapan singkat, ia diizinkan untuk pergi.
---
Di Lorong Istana
Saat berjalan kembali ke kamarnya, Ji An merasa perasaan yang campur aduk. Ia tahu posisinya di istana ini rumit, dan peringatan dari Permaisuri hanya menambah tekanan yang ia rasakan.
Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, ia tidak akan mundur. Ia sudah memutuskan untuk bertahan di istana ini, tidak peduli seberapa sulit jalannya.
Dan di kejauhan, Xiang Wei berdiri di lorong yang remang-remang, tangannya terlipat di dada, matanya tajam memperhatikan langkah Ji An yang tampak sedikit terburu-buru. Wajah Ji An terlihat lebih pucat dari biasanya, seperti ada beban yang baru saja ia pikul.
"Dia terlihat tertekan," gumam Xiang Wei pelan, suaranya nyaris seperti bisikan yang tertiup angin. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di paviliun Permaisuri Yang Xi.
Ia berpikir untuk menghampiri Ji An, ingin tahu apa yang membuatnya terlihat begitu gelisah. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat Ji An tiba-tiba berhenti sejenak di lorong, merapikan napasnya, lalu melanjutkan langkahnya dengan kepala tegak. Ji An, meskipun jelas tengah terbebani, tetap menunjukkan ketenangan yang membuat Xiang Wei semakin terpesona.
"Apa Permaisuri mencoba mengintimidasinya?" Xiang Wei bergumam, alisnya berkerut. Pikirannya penuh dengan dugaan tentang percakapan yang terjadi antara Ji An dan Permaisuri.
Namun, alih-alih mendekati Ji An seperti yang awalnya ia rencanakan, Xiang Wei memilih untuk tetap berada di tempatnya. Ia tahu bahwa terlalu banyak perhatian darinya pada Ji An hanya akan memperburuk keadaan. Lagipula, ia sudah cukup memahami sifat adiknya, Xiang Rong, dan Permaisuri Yang Xi. Jika mereka menyadari dirinya terlibat terlalu jauh, situasinya akan semakin rumit.
"Aku akan menunggu," pikir Xiang Wei sambil tersenyum tipis. "Pada saat yang tepat, aku akan menjadi seseorang yang bisa ia andalkan."
Dengan itu, Xiang Wei berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan bayangan yang semakin panjang di lorong istana yang sunyi. Di dalam pikirannya, ia sudah menyusun strategi baru untuk mendekati Ji An—tetapi dengan cara yang lebih hati-hati dan terencana.
Sementara itu, Ji An akhirnya sampai di kamarnya, mengunci pintu, dan menarik napas panjang. Ia memegang sisi meja kecil di dekat tempat tidurnya, mencoba menenangkan dirinya dari perasaan campur aduk akibat pertemuannya dengan Permaisuri.
Lin Li yang sedang menyiapkan teh hangat segera menghampirinya. "Nona, apa yang terjadi? Apa Permaisuri mengatakan sesuatu yang menyakitkan?"
Ji An tersenyum lemah dan menggeleng. "Tidak apa-apa, Lin Li. Hanya peringatan biasa... Aku harus lebih berhati-hati mulai sekarang."
Lin Li memandang Ji An dengan khawatir, tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi. Ia tahu bahwa Ji An memiliki kekuatan hati yang luar biasa, meskipun situasinya semakin sulit.
Di luar jendela, rembulan bersinar redup, seolah menjadi saksi bisu dari permainan kekuasaan dan emosi yang sedang berlangsung di istana. ***