Semua telah terjadi, imanku rasanya telah kubuang jauh. Berganti Nafsu syahwat yang selama ini selalu kupendam dalam-dalam.
Apakah ini benar-benar keinginanku atau akibat dari sesuatu yang diminumkan paksa kepadaku oleh pria-pria itu tadi.
Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu.
Satu yang pasti, aku semakin menikmati semua ini atas kesadaranku sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Karunia
...Bimantara...
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
Bulan ini usia pernikahanku genap 7 tahun lamanya. Selama itulah aku membina rumah tangga bersama Ariefna. Seorang perempuan cantik bertubuh semampai yang dulunya adalah korban pemerkos4an dari geng motorku.
Dulu aku tergabung dalam geng motor paling ditakuti. Namun saat pertama kali aku bertemu dengan Ariefna di malam nahas itu, aku sedih sekaligus bahagia.
Aku bahagia, karena akhirnya aku menemukan wanita spek bidadari surga. Aku sedih karena aku harus berbagi tubvh wanita yang kucintai kepada teman, bos, bahkan omku sendiri.
Hatiku hancur ketika dia bilang kalau dia telah hamil gara-gara kejadian itu. Walau begitu, cintaku pada wanita syari itu tidaklah surut. Aku justru menawarkan diri untuk menjadi ayah dari janin yang ada di dalam perutnya. Walau aku tidak tahu siapa yang seharusnya menjadi ayah dari bayi itu. Asalkan bisa terus bersama Ariefna, aku rela melakukan apa pun.
Dan dari pertemuan itu, kami berlanjut sampai sekarang, sampai kami berdua resmi jadi suami istri.
Menurutku selama ini kehidupan rumah tangga kami terbilang biasa saja. Suka duka kami lewati tanpa ada hambatan yang berarti. Pekerjaanku yang kini ikut menangani proyek infrastruktur pemerintah membuatku sering sekali jauh dari rumah.
Saat usia pernikahan kami baru dua tahun, sebenarnya kami sudah bisa membeli rumah, meskipun ukurannya tak terlalu besar.
Hanya saja aku dan Ariefna tak sempat tinggal di rumah itu karena satu alasan, iya, kesehatan orang tua Ariefna, istriku.
Sebagai anak tunggal, tentunya istriku harus merawat ayahnya yang sakit. Aku pun harus jadi ikut tinggal bersama mertuaku lagi.
Tak berselang lama setelah aku membeli rumah itu, akhirnya ayah mertuaku meninggal dunia. Setelah kepergian ayahnya, Ariefna dan aku berencana buat pindah rumah ke rumah kami sendiri, namun tetap tidak diijinkan oleh ibu mertuaku.
Di rumah mertua juga tinggal sepupu istriku yang dari kecil memang dirawat oleh mertuaku, tapi sekarang dia sedang kerja di luar pulau. Dia juga sudah punya istri yang ikut tinggal serumah dengan kami. Mungkin itulah alasan istriku ingin pindah dari rumah orang tuanya ke rumah kami sendiri.
“Rumah ini terlalu besar kalo cuma ada aku sama adikmu, Ariefna....” ucap mertua ketika istriku minta pertimbangannya.
“Ya namanya udah punya rumah sendiri masak ga ditempati sih, Ma.”
“Jangan... kamu tetap tinggal di sini saja, aku belum mengusirmu.”
Setiap kali istriku bicara tentang pindah rumah, mertuaku selalu sama menjawabnya. Akhirnya istriku sampai sekarang tak pernah membahas hal itu lagi.
Untung saja rumah yang kami beli ada yang menyewa, jadi tak sampai kosong dan rusak begitu saja.
Kami berdua sudah dikaruniai seorang anak perempuan cantik yang baru saja masuk sekolah TK.
Ya, mungkin lebih cocok disebut anak titipan. Karena sampai detik ini, aku belum yakin anak ini adalah anak kandungku atau bukan.
Atau justru anak dari Omku sendiri?
Atau mantan Bosku?
Atau si Bagong?
Tapi aku tetap bersyukur dengan keadaanku. Semuanya tampak bahagia dan baik-baik saja.
Selain aku, istriku dan juga anakku, di rumah mertua juga ada sepupu istriku. Namanya Rizal, lelaki berumur 24 tahun, sudah menikah dan istrinya juga ikut tinggal bersama kami.
Semua itu memang mertuaku yang mau. Tentunya dengan rumah yang cukup besar dan berlantai dua ini membuat kami nyaman saja tinggal bersama. Karena sepupu istriku kerja di luar pulau, praktis yang ada di rumah adalah istrinya saja.
Mereka belum punya anak sampai sekarang, mungkin karena sering ditinggal pergi dan ketemunya hanya dua bulan sekali.
Istrinya Rizal namanya Rinda. Umurnya sama dengan Rizal, bahkan bulan mereka lahir pun sama, hanya tanggalnya yang beda.
Rinda adalah seorang perempuan dengan wajah cantik dan bertubuh langsing, namun dikaruniai payud4ra bulat membusung.
Dulu aku tahu dia tak memakai jilbab, namun setelah menikah dengan Rizal dia langsung membiasakan diri memakainya.
Hanya saja kalau di rumah, dia tetap berpakaian biasa saja, tak terlalu tertutup, bahkan cenderung cuek dengan penampilannya.
Mertuaku juga sama halnya kalau masalah penampilan. Di usianya yang sudah mendekati angka 50 tahun itu malah terkesan tak mau tahu masalah apa yang dipakainya.
Kalau di rumah kadang aku melihatnya hanya memakai celana pendek dan kaos tanpa Bra. Untuk menghormatinya aku tak sekalipun komentar masalah penampilannya itu. Istriku juga tahu, tapi dia juga diam-diam saja. Mungkin penampilan ibunya itu sudah sering dilihatnya semenjak kecil.
...𓀐𓂸ඞ 𓀐𓂸ඞ...
“Paah.. Nadia udah selesai mandi tuhh...” teriak istriku dari arah kamar mandi.
“Iyaaa..”
Kuhampiri anak perempuan kami yang keluar dari kamar mandi dengan tubuh basah kuyup. Kubawakan handuk kering lalu kuusap tubuhnya perlahan untuk menghilangkan bulir-bulir air yang menetes dari tubuhnya.
Situasi seperti ini jadi rutinitasku tiap pagi. Sebelum aku berangkat kerja pasti aku sempatkan untuk memberi perhatian pada anak perempuanku. Supaya ikatan batin dengan papanya tak berkurang dan tetap terjaga.
“Kak Ariefna udah selesai mandinya ya mas?” tanya Rinda yang baru turun dari lantai dua, tempat kamarnya berada.
“Mm.. belum.. baru aja mandiin Nadia soalnya,” balasku.
Rinda yang hanya membalut tubuhnya dengan selembar handuk tampak santai berlalu dari hadapanku.
Sebagai seorang mantan SPG produk kecantikan, Rinda tentu saja masih punya bentuk tubuh yang ideal dan wajah cantik terawat.
Dia kemudian menuju dapur sambil menunggu istriku selesai mandi. Kebetulan memang kamar mandi di rumah ini cuma satu, jadi harus bergantian untuk memakainya.
“Rin.. tolong rebus air buat mama.. sekalian siapin jamunya.” Kudengar suara mertuaku dari arah belakang rumah.
“Iya maa..”
Biasanya tiap pagi mertuaku ada di belakang rumah untuk melakukan olah raga senam. Setelah tubuhnya berkeringat dia pasti duduk di teras belakang sambil minum segelas ramuan herbal hangat. Hampir tiap pagi selalu begitu dan tak pernah berubah sampai sekarang.
Aku kemudian membawa anak perempuanku masuk ke dalam kamar. Pakaian sekolahnya sudah siap di atas tempat tidur. Sedari dia kecil, aku memang sudah terbiasa memakaikan baju pada anakku.
Tentu saja hal itu membuatku melakukannya dengan cepat sekarang ini. Hanya dalam waktu sebentar saja anakku sudah siap dengan pakaian seragam sekolahnya.
“Nadia udah selesai siap-siap ya pah?” suara istriku membuka pintu kamar.
“Udah.. cepetan mah, udah mau jam 7 ini,” balasku.
“Hhh.. iya.. iyaa...”
Istriku datang dari kamar mandi hanya memakai handuk saja. Begitu handuk itu dia lepas langsung saja tubuh telanj4ngnya terpampang di depanku.
Aku diam tak komentar, apa yang dia lakukan itu sejak awal aku sudah melihatnya, bahkan mencicipinya sebelum menikah.
“Duuh.. mamaah.. pagi-pagi udah maen telanj4ng aja.. ntar kalo aku pengen gimana?” godaku mencubit put1ngnya.
“Aahh, udaahh.. ga usah macam-macam paahh.. kerja.. kerjaa....” balasnya.
“Huufft.. iya deh....” ucapku lesu.
Selepas istriku memakai baju dan mendandani wajahnya, dia kemudian sarapan bersama anakku.
Kalau pagi begini sudah jadi tugasnya untuk mengantar anak kami sekolah. Sedangkan aku langsung berangkat kerja tanpa menunggui mereka sarapan.
Kehidupanku memang terasa membosankan, setelah geng motor itu bubar.
Tiap hari harus berkutat dengan hal-hal yang itu-itu saja. Namun aku tetap berpikir positif dan menikmati semuanya, kuanggap semua ini adalah proses menuju suatu kehidupan yang kuharapkan akan menjadi lebih baik.