Alisha Alfatunnisa, putri dari pemilik pondok pesantren yang populer di kotanya. Belum menikah meski menginjak umur 29 tahun. Hati yang belum bisa move on karena Azam sang pujaan hati, salah melamar kembaran nya yaitu Aisha.
Peperangan batin dilalui Alisha. Satu tahun dia mengasingkan diri di tempat kakeknya. Satu tahun belum juga bisa menyembuhkan luka hati Alisha. Hingga datang sosok Adam, senior di kampusnya sekaligus menjadi rekan duet dalam menulis.
Apakah kehadiran Adam bisa menyembuhkan luka hati Alisha? Atau masih ada luka yang akan diterima Alisha? Cerita yang menguras air mata untuk kebahagiaan sang kembaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Aku ingin menenangkan hati yang bukan hanya berantakan saat ini. Namun, nyaris tidak ada lagi.
Dadaku terasa semakin sesak karena aku saat ini sedang terisak. Aku masih tak percaya, Robb. Mengapa selalu ada halangan untuk aku bahagia? Apa aku tidak pantas mengecap indahnya cinta dalam nuansa pernikahan? Dalam ikatan suci di jalanmu?
Maafkan hambamu yang penuh dosa, yang selalu membuatmu cemburu dengan cintaku pada mahluk ciptaanmu. Maafkan aku wahai sang pemilik cinta sejati, yang mempunyai hidup dan matiku. Izinkan aku berkeluh kesah sekali saja saat ini. Sekali lagi aku terluka karena cinta dan rencana kita yang tak sama, Robb.
"Neng Alisha.." suara panggilan dari arah pintu membuat aku menghentikan tangisku, cepat aku menghapus derai air mataku.
"Masuk, Mba! Tidak di kunci!" jawabku lemah.
Pintu terbuka menampilkan Mba Sinta dari balik pintu.
"Ibu nyuruh saya manggil, Neng Alisha untuk sarapan dulu!" ucap Mba Sinta.
Aku mendesah lirih, apa aku harus ikut sarapan? Aku tak sanggup melihat Aisha yang kacau, juga raut wajah Ayah juga Ibu yang bingung harus bersikap seperti apa pada kedua anak perempuan kembarnya?
"Bisa tidak di bawa kesini saja, Mba! Aku ingin makan di kamar saja!" pintaku pada Mba Sinta.
"Iya udah, saya ambilkan dulu sarapannya!" pamit Mba Sinta.
Sarapan yang dibawakan Mba Sinta masih utuh tak tersentuh, aku tidak ada napsu sedikitpun untuk menyantapnya.
Novel Rembulan Tanpa Malam lebih menarik bagiku, setidaknya dengan membaca aku bisa curhat tanpa harus bicara dan di dengar banyak orang tentang duka laraku.
Musim kemarau membuat daun berguguran, demi kelangsungan hidup sang pohon. Juga untuk memberikan kesempatan untuk daun-daun baru menghiasi sang pohon.
Namun, untuk menggugurkan hati yang bahagia juga harapan indah. Tak membutuhkan musim kemarau atau gugur.
Hanya dengan kata yang memiliki sejuta makna. Dengan bom waktu, yang meledak pada waktunya. Membuat apa yang menurut kita benar. Tetapi salah di mata orang yang merasa kita lukai.
Deg, jelas ini menamparku potongan novel Rembulan Tanpa Malam.
Apa yang aku lakukan ternyata salah bagi Aisha. Allah aku harus bagaimana? Aku butuh Engkau.
Cinta itu mempunyai dua sisi. Sisi yang seperti madu, memabukan para sang pecinta dalam merajut asmara. Membuat hari-hari penuh warna dan selalu berdebar kala dekat dengan yang di cinta. Dunia seolah milik berdua, surga dunia pun mereka rasa.
Satu sisi lagi seperti racun, di mana sisi ini akan menghantam mereka yang terputus benang asmaranya. Membuat sang pecinta kesakitan dalam asmara, meredupkan gairah hidup. Menggoreskan luka yang paling dalam. Hingga senyum tak bisa di ukir di bibir, dan tak banyak yang berakhir dalam sebuah keputusasaan. Menghantarkan pada jurang kematian.
Lalu aku berada pada sisi yang mana saat ini, Robb?
Alisha Alfatunnisa.
Aku terdiam memandang segerombolan para santri yang hilir mudik pergi dan pulang ke kelas. Betapa bahagia mereka hanya di tuntut untuk belajar, dan mematuhi aturan yang berlaku. Ingin rasanya aku kembali ke masa itu.
Masa dimana hidup tenang, tanpa ada satu kata pun yang membuat keadaan kacau tak beraturan seperti ini. Cinta, satu kata yang mematikan segala ruang gerakku saat ini. Kata yang membuat aku bersitegang dengan adik sendiri. Kata yang membuat aku tak berdaya dan lemah dengan semua keadaan.
Belum genap satu minggu aku di Darul Arkom, ketakutanku telah terjadi. Bahkan lebih cepat dari yang aku kira, andai aku memilih menikah saja saat itu. Pasti kejadian semalam tidak akan terjadi lagi.
Alisha, kamu belum tepat dalam menimbang rasa juga tidak tepat dengan keputusan yang kamu ambil.
Separuh hatiku menyalahkan tindakanku, separuh lagi tak bisa berkata apa-apa. Karena ini di luar rencana dan tak pernah terduga. Aku yang telah lapang dan ikhlas menerima segala, bahkan sudah akan membuka hati untuk lelaki lain. Kembali di uji masalah hati, kembali di ombang-ambing dalam lautan keresahan.
Dan kembali di tegaskan, jika sesempurna apapun rencana manusia tidak akan terwujud jika tidak sama dengan rencana Allah.
Aku mendesah lesu, tak tahu harus apa dan bagaimana. Ingin aku menepi dari seluruh masalah yang ada. Ingin mencari ketenangan entah dimana.
Hanya satu yang terlintas di pikiranku, kembali ke Al-Irsyad tempat kakekku. Disana aku ingin menyembuhkan segala sakit juga mengeja rasa yang ada.
Tanganku tergerak untuk menghubungi Kang Andi, memberi tahu dia untuk menjemput aku hari ini juga.
Selesai mengirim pesan aku bergegas membereskan barang-barang yang akan aku bawa. Sesak dadaku saat memasukan barang-barang ke koper lagi. Beberapa hari yang lalu, hati di buat takut untuk bertemu kembali dengan Azam. Takut jika ada yang tahu hubungan di masa lalu aku juga Azam. Namun, semua kini telah telah terjadi.
Aku kembali pergi untuk kebaikan semua, untuk hati Aisha agar tidak semakin terluka. Pergi membawa luka yang sama tapi dengan kadar yang lebih dalam dan besar lagi dari satu tahun yang lalu.
Aku menatap sendu kamar yang harus aku tinggal kembali, menghirup aromanya yang menguar dari pewangi ruangan. Memejamkan mata untuk mengenang jika aku pernah menangis dan tertawa bersama Aisha di sini.
Ingin aku dekap segala kenangan, agar tidak ada rindu yang tersisa barang sejengkal.
"Neng Alisha mau kemana?"
Aku terlonjak kaget saat keluar dari kamar menggeret koper tiba-tiba Mba Sinta muncul dari arah belakangku.
"Aku mau ke tempat Kakek, Mba!" jawabku pelan.
"Kok mendadak, Neng?" saya ikut lagi ya!"ucap Mba Sinta.
Aku hanya mengangguk lemah, bagaimana pun aku yang mengajak Mba Sinta untuk ikut ke sini.
Mba Sinta lekas ke kamarnya. Aku kembali berjalan menuju teras. Sesak rasanya jika mengingat tempat itu menjadi petaka. Tempat yang membuat aku dan Azam bersitegang. Dan berujung terbongkarnya kisah di masa lalu.
"Menghindar tidak akan merubah yang ada, Neng," suara bariton itu terdengar di telingaku. Suara yang begitu aku hafal bahkan sudah menjadi canduku.
"Aku tidak menghindar, hanya tidak ingin menambah suasana menjadi runyam. Sudah cukup, Gus! Jangan bicara lagi padaku. Aku tidak ingin Aisha semakin sakit," balasku tanpa menoleh ke sumber suara .
"Maaf, aku kembali membuatmu terluka Alisha Alfatunnisa. Semoga Allah mendekapmu dalam cinta yang abadi dan selalu menjagamu."
Aku memejamkan mata, ingin aku memaki dia saat ini. Sakit ini mendera hatiku, panah kembali terbidik tepat di jantungku.
Satu tahun lalu dia menyebut indah nama lengkapku, satu tahun kemudian dia memanggilku Neng Alisha. Dan hari ini dia kembali menyebut nama lengkapku tanpa kata 'Neng'.