Axeline tumbuh dengan perasaan yang tidak terelakkan pada kakak sepupunya sendiri, Keynan. Namun, kebersamaan mereka terputus saat Keynan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya.
Lima tahun berlalu, tapi tidak membuat perasaan Axeline berubah. Tapi, saat Keynan kembali, ia bukan lagi sosok yang sama. Sikapnya dingin, seolah memberi jarak di antara mereka.
Namun, semua berubah saat sebuah insiden membuat mereka terjebak dalam hubungan yang tidak seharusnya terjadi.
Sikap Keynan membuat Axeline memilih untuk menjauh, dan menjaga jarak dengan Keynan. Terlebih saat tahu, Keynan mempunyai kekasih. Dia ingin melupakan segalanya, tanpa mencari tahu kebenarannya, tanpa menyadari fakta yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Axeline duduk di meja makan, mencoba menikmati kebersamaan dua keluarga besar yang saat ini tengah berkumpul. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda malam ini.
Keynan.
Pria itu terus menjaga jarak darinya, seolah mereka bukan lagi orang yang pernah begitu dekat. Bahkan selama makan malam, Keynan hampir tidak berbicara dengannya.
Axeline menggenggam sendoknya erat. Perasaan gelisah dan kecewa berbaur menjadi satu. Bahkan, ia sempat berfikir, apa dia melakukan kesalahan?
“Kau kenapa?” suara Axel tiba-tiba membuyarkan lamunannya.
Axeline tersentak. Seketika, perhatian semua orang tertuju padanya, seolah menuntut jawaban. Namun, ia hanya tersenyum canggung, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “A-aku baik-baik saja,” ucapnya pelan, lalu menunduk, mengaduk-aduk makanannya tanpa berniat untuk memakannya.
Ia melirik sekilas ke arah Keynan, berharap setidaknya ada sedikit reaksi dari pria itu. Namun, Keynan tetap tenang, fokus pada makanannya seakan tidak ada yang terjadi.
"Daddy senang akhirnya kau pulang, Keynan. Dengan begitu, kau bisa membantu Daddy mengurus perusahaan,” ucapnya dengan nada penuh harapan.
Keynan tidak bereaksi banyak. Ia hanya mengangguk sebagai jawaban tanpa ekspresi di wajahnya.
Namun, berbeda dengan Axeline. Dadanya terasa sesak, jantungnya berdetak lebih cepat. Jika Keynan mengurus perusahaan, itu artinya, mereka akan lebih sering bertemu, bukan?
Setelah makan malam yang terasa begitu canggung, semua orang mulai meninggalkan meja makan satu per satu dan berkumpul di ruang keluarga. Keynan juga bangkit tanpa mengucapkan sepatah kata pun, meninggalkan Axeline yang masih terpaku di tempatnya.
Axeline menatap punggungnya yang semakin menjauh, rasa sesak di dadanya semakin kuat. Kenapa Keynan berubah?
Ia ingin mengejarnya dan bertanya langsung, tapi langkahnya terasa berat. Ada ketakutan bahwa jawabannya mungkin lebih menyakitkan daripada diam yang Keynan lakukan saat ini.
“Kau tidak ingin bicara dengannya?” suara Axel menyadarkannya.
Axeline menoleh dan mendapati kakaknya yang menatapnya dengan tatapan penuh arti.
“Apa?” gumam Axeline, pura-pura tidak mengerti.
Axel mendengus pelan. “Jangan pura-pura bodoh. Jelas sekali kau ingin berbicara dengannya.”
Axeline terdiam. Kepalanya menunduk, jarinya menggenggam erat liontin setengah hati di lehernya.
"Kak, aku mau pulang," lirih Axeline.
Axel mengerutkan kening, menatap adiknya dengan penuh tanya. "Pulang? Kau yakin?" tanya Axel memastikan, tapi Axeline hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Lalu, ia beranjak dari duduknya dan keluar begitu saja tanpa berpamitan dengan yang lainnya.
"Ck, dasar anak itu!" Axel menghela napas, lalu berpamitan pada keluarganya yang masih asyik berbincang di ruang keluarga. Setelahnya, ia segera menyusul Axeline yang sudah duduk diam di dalam mobil.
Axel melirik ke arah adiknya begitu masuk ke dalam mobil. "Kau baik-baik saja?" tanyanya.
"Iya. Aku hanya lelah saja," ucapnya pelan.
Axel tidak bertanya lagi. Ia hanya menyalakan mesin mobil dan menjalankan mobilnya, membawa mereka menjauh dari sana. Tanpa mereka sadari, sepasang mata mengintai dari balik jendela, memperhatikan kepergian mereka dalam diam.
Keesokan harinya, sudah menjadi rutinitas baru untuk Axeline untuk bangun lebih awal. Ini adalah hari kedua ia menjadi anak magang. Tapi, berbeda dari sebelumnya, ia sama sekali tidak bersemangat kali ini.
Bukan karena pekerjaannya yang berat. Tapi, karena ia akan lebih sering bertemu dengan Keynan di perusahaan. Bukankah, harusnya ia merasa senang?
Ya, itu jika Keynan tidak bersikap dingin padanya. Dia seolah tidak mengenal pria itu saat ini. Apakah kebersamaan mereka selama bertahun-tahun benar-benar tidak berarti? Apakah perpisahan lima tahun bisa menghapus segalanya?
Ya, itu bisa saja terjadi. Mungkin, Keynan mengalami banyak hal di sana. Dan yang jelas, pasti ada alasan di balik sikapnya yang berubah.
"Aku tidak boleh begini. Aku harus meminta penjelasan darinya," gumam Axeline pada dirinya sendiri.
Setelah selesai bersiap, ia buru-buru menuju ruang makan, tempat keluarganya sudah berkumpul. Dengan cepat, ia menggigit roti tawar dan meneguk susu buatan ibunya.
"Sayang, kenapa kau tergesa-gesa, hah?" tanya Keyra, memandang putrinya dengan heran.
"Aku takut terlambat, Mom." Axeline menaruh gelasnya di meja, lalu mencium pipi ayah dan ibunya bergantian.
"Aku berangkat dulu, ya!" ucapnya sebelum bergegas pergi, meninggalkan keluarganya yang masih duduk di meja makan.
Seperti biasa, Axeline berangkat menggunakan taksi. Dan tidak butuh waktu lama, Axeline sampai di NA Company.
Hari ini juga, ia harus menemui Keynan, tidak peduli apa pun yang terjadi. Saat ia turun dari taksi, matanya menangkap sosok yang baru saja tiba bersama asistennya. Tanpa berpikir panjang, Axeline buru-buru mengikuti mereka.
Tepat saat Keynan dan asistennya hendak masuk ke dalam lift khusus, Axeline menerobos masuk, berdiri di belakang pria itu dengan napas terengah-engah. Ia hanya bisa berharap tidak ada karyawan yang melihatnya.
Keynan tidak menunjukkan reaksi apa pun. Wajahnya tetap datar, seolah kehadiran Axeline sama sekali tidak berarti. Namun, Andrian, asistennya, justru memilih keluar dari lift tanpa berkata apa-apa. Ia tahu siapa Axeline, dan dia lebih memilih untuk tidak terlibat.
Lift mulai bergerak.
Keynan tetap sibuk dengan ponselnya, sementara Axeline menatapnya nanar, seolah mencari jawaban yang tidak kunjung datang.
Hingga akhirnya, ia tidak bisa menahan diri lagi. "Ada apa? Kenapa kau mendiamkan ku? Apa aku melakukan kesalahan?" tanyanya dengan suara bergetar.
Keynan tidak langsung menjawab. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku tepat saat pintu lift terbuka. Sebelum melangkah keluar, ia akhirnya berkata, "perhatikan sikapmu, Nona Axeline. Ingat! Ini di perusahaan." Tanpa menoleh sedikit pun, Keynan berjalan pergi begitu saja, meninggalkan Axeline yang masih terpaku di tempatnya.
Sakit.
Itu yang Axeline rasakan. Namun, Axeline tidak ingin menyerah. Ia bertekad akan menunggu sampai jam pulang tiba, dan berharap saat itu ia bisa berbicara lebih leluasa dengan Keynan.
...****************...
Waktu yang dinantikan pun datang. Setelah seharian bekerja membantu para seniornya, semua bersiap untuk pulang, mengistirahatkan tubuh mereka yang lelah.
Namun, berbeda dengan Axeline yang justru merasa jantungnya berdebar semakin kencang.
Axeline menatap keluar jendela, di mana hari mulai gelap. Satu per satu lampu di kantor mulai dimatikan, menandakan bahwa hampir semua orang sudah pergi. Tapi, dia masih berdiri di sana, menunggu Keynan.
Namun, satu jam berlalu dan pria itu masih juga belum terlihat. "Apa dia lembur?" gumamnya. Ia mengeluarkan ponselnya dan melihat jam di layar sudah menunjukkan pukul 8 malam.
Axeline segera mengirim pesan kepada kakaknya, memberi tahu bahwa ia akan pulang terlambat. Setelah itu, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.
"Lebih baik aku ke ruangannya saja." Axeline melangkah perlahan di lorong yang mulai gelap. Hampir semua ruangan telah dimatikan, meninggalkan suasana sunyi yang semakin membuatnya gugup. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri, tapi langkahnya terhenti saat melihat ruangan Keynan yang masih terang.
"Kali ini bukan jam kerja. Aku harap kau mau berbicara denganku dan menjelaskan semuanya, Kak," gumamnya.
Axeline mengangkat tangannya, meraih kenop pintu, lalu mendorongnya perlahan. Namun, begitu pintu terbuka, pemandangan di depannya membuatnya terkejut.
Di atas meja, terdapat sebotol minuman beralkohol yang hampir habis. Ruangan terasa sunyi, hanya ada cahaya lampu yang menerangi sudut-sudutnya.
Axeline melangkah masuk dengan ragu, mencari sosok Keynan. "Kenapa dia minum di kantor?"
Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, sebuah tangan tiba-tiba menariknya. Ia kehilangan keseimbangan dan jatuh ke atas sofa.
"Apa yang kau lakukan?" Axeline menegang saat mendapati Keynan berdiri di hadapannya. Mata pria itu sedikit redup, napasnya tercium samar aroma alkohol.
"K-Kak Keynan? Ada apa denganmu? Kenapa kau seperti ini?" tanyanya, sedikit cemas.
"Bukankah sudah kukatakan untuk menjaga sikap, Axeline?"
Axeline mencoba duduk tegak, tapi Keynan masih berdiri di dekatnya, menatap dengan pandangan yang sulit ditebak.
"Kak, kau harus pulang. Aku akan mengantarmu," ucapnya lembut, mencoba meredakan situasi.Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Keynan mendorongnya hingga terlentang dan menindihnya. Tangan kekarnya mencekal tangan Axeline kesamping dan mencium bibirnya dengan rakus.
Axeline melebarkan kedua matanya. Dia mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman Keynan sangat kuat. "APA YANG KAU LAKUKAN, KAK?" teriak Axeline setelah ciuman mereka terlepas. Nafasnya memburu dengan mata yang menatap tajam Keynan.
Tapi, Keynan seolah kehilangan kendali. Dia mencekal kedua tangannya Axeline diatas kepala menggunakan satu tangan dan mengusap bibir gadis itu. "Kenapa kau berteriak, hm? Aku yakin kau juga menginginkan ini." Tanpa peringatan, Keynan kembali mencium Axeline. Kali ini lebih dalam dan menuntun, tanpa memberi celah untuk Axeline melawan, sehingga terjadi sesuatu yang tidak di inginkan.