Ji An Yi adalah seorang gadis biasa yang mendapati dirinya terjebak di dalam dunia kolosal sebagai seorang selir Raja Xiang Rong. Dunia yang penuh dengan intrik, kekuasaan, dan cinta ini memaksanya untuk menjalani misi tak terduga: mendapatkan Jantung Teratai, sebuah benda mistis yang dapat menyembuhkan penyakit mematikan sekaligus membuka jalan baginya kembali ke dunia nyata.
Namun, segalanya menjadi lebih rumit ketika Raja Xiang Rong-pria dingin yang membencinya-dan Xiang Wei, sang Putra Mahkota yang hangat dan penuh perhatian, mulai terlibat dalam perjalanan hidupnya. Di tengah strategi politik, pemberontakan di perbatasan, dan misteri kerajaan, Ji An terjebak di antara dua hati yang berseteru.
Akankah Ji An mampu mendapatkan Jantung Teratai tanpa terjebak lebih dalam dalam dunia penuh drama ini? Ataukah ia justru akan menemukan sesuatu yang lebih besar dari misi awalnya-cinta sejati yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanilatin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17
“Selir Ji An Yi, udara di sini semakin kencang. Kau akan masuk angin jika terus di luar. Mari, aku akan mengantarmu ke kamar,” ujar Xiang Wei dengan nada lembut, namun tegas.
Ji An menunduk sedikit, mencoba menutupi kecemasannya. “Maaf, Yang Mulia. Hamba rasa itu tidak perlu. Itu benar-benar akan merepotkan Yang Mulia. Hamba hanya seorang selir, sedangkan Yang Mulia adalah Putra Mahkota. Jika ada yang melihat, tidakkah itu akan menjadi tidak pantas?”
Xiang Wei tersenyum tipis, namun ada ketegasan di matanya. “Tidak masalah, Selir Ji An Yi. Aku hanya ingin memastikan bahwa kau diberikan tempat yang layak untuk istirahat. Aku tidak peduli apa yang orang lain pikirkan.”
Ji An merasakan kegugupan yang kian meningkat. Jika Xiang Wei mengantarnya, dia pasti akan mengetahui bahwa Ji An telah dipindahkan ke paviliun utara—sebuah tempat yang jauh dari pusat istana dan hampir tidak terawat. Pindah ke sana adalah bentuk penghinaan halus yang ia terima atas perintah Raja Xiang Rong
Ji An mencoba mencari alasan. “Yang Mulia, hamba sungguh berterima kasih atas perhatian Anda. Namun, hamba rasa hamba masih bisa berjalan sendiri. Mohon jangan khawatirkan hamba.”
Namun, Xiang Wei tidak mudah diyakinkan. Ia mengulurkan tangannya, membantunya berdiri. “Aku tidak akan membiarkanmu kembali sendiri dalam keadaan seperti ini.”
Ji An tidak punya pilihan selain menurut, meskipun hatinya penuh kecemasan. Mereka berjalan perlahan di sepanjang koridor istana, dan semakin dekat mereka ke paviliun utara, semakin Ji An merasa malu.
Ketika akhirnya mereka tiba di depan paviliun itu, Xiang Wei berhenti, menatap bangunan yang jelas-jelas sudah lama tidak diperhatikan. Catnya mulai pudar, dan taman di sekitarnya penuh dengan dedaunan kering yang belum dibersihkan.
“Ini tempat tinggalmu sekarang?” tanya Xiang Wei dengan nada yang sulit ditebak, tetapi matanya memancarkan kemarahan yang tidak tersembunyi.
Ji An hanya bisa menunduk, tidak mampu menjawab.
Xiang Wei mendesah panjang, matanya menatap Ji An dengan penuh iba. “Apakah ini perintah dari Xiang Rong atau... seseorang lainnya?”
Ji An menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan emosi yang mulai naik. “Hamba tidak tahu, Yang Mulia. Hamba hanya mengikuti perintah.”
Xiang Wei menggeleng pelan, jelas tidak puas dengan jawaban itu. Ia mengepalkan tangannya, lalu berbicara dengan nada lebih tegas. “Aku tidak akan membiarkan hal ini terus terjadi. Kau pantas mendapatkan tempat yang lebih baik.”
Ji An terkejut. “Yang Mulia, tolong jangan campur tangan. Ini masalah kecil. Hamba tidak ingin memperumit keadaan.”
Namun, Xiang Wei menatapnya dalam-dalam, senyum lembut kembali menghiasi wajahnya. “Ji An Yi, kau terlalu rendah hati. Kadang, seseorang harus berdiri untuk dirinya sendiri. Jika kau tidak mau melakukannya, biarkan aku yang melakukannya untukmu.”
Setelah berkata demikian, Xiang Wei berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Ji An yang bingung dan tidak tahu harus bagaimana. Kata-katanya terasa seperti janji, dan Ji An tahu bahwa Putra Mahkota Xiang Wei bukanlah seseorang yang akan membiarkan sesuatu berlalu begitu saja.
"Xiang Rong, apa kau yang memerintahkan Selir Ji An Yi tinggal di Paviliun Utara?" tanya Xiang Wei dengan nada serius, tiba-tiba masuk ke ruang kerja Raja tanpa pemberitahuan.
Xiang Rong mendongak dari pekerjaannya, menatap kakaknya dengan dingin. “Memangnya kenapa jika iya? Apa itu urusanmu?”
Xiang Wei tidak terintimidasi oleh sikap adiknya. Ia melangkah maju, menatap Xiang Rong dengan tatapan yang tidak kalah tajam. “Ada banyak tempat di bagian istana ini yang lebih layak untuknya. Kenapa kau menyuruhnya tinggal di tempat yang bahkan pelayan biasa pun enggan menempatinya?” Nada bicaranya terdengar tegas, penuh rasa kecewa.
Xiang Rong bangkit dari kursinya, mendekati Xiang Wei hingga hanya beberapa langkah memisahkan mereka. Matanya menyorot tajam, penuh kemarahan yang tertahan. “Kenapa kau sibuk mengurusi dia? Dia adalah selirku, Xiang Wei. Aku bebas melakukan apa saja padanya. Kau tidak punya hak untuk memarahi atau mempertanyakan keputusanku seperti ini!”
Xiang Wei menyeringai kecil, tetapi ada amarah yang tersembunyi dalam suaranya. “Selir Ji An Yi bukan hanya selir biasa. Dia adalah seseorang yang layak dihormati, bahkan jika kau tidak peduli padanya. Sikapmu tidak hanya mencerminkan siapa dirimu, Xiang Rong, tapi juga mencoreng nama keluarga kita.”
Xiang Rong mendengus, melipat kedua tangannya di dada. “Jangan bicara seolah kau adalah pelindung keadilan. Aku tahu kau punya alasan lain untuk terlalu memperhatikannya. Jangan berpura-pura peduli hanya demi mendapatkan simpati dari seorang wanita.”
Xiang Wei menghela napas panjang, mengatur emosinya. “Aku memang memperhatikannya, Xiang Rong. Bukan karena aku menginginkan simpati, tapi karena aku menghargai keberanian dan keteguhannya. Jika kau tidak bisa melihat itu, maka kau lebih buta daripada yang kukira.”
Sebelum Xiang Rong sempat membalas, Xiang Wei berbalik pergi. Namun sebelum melangkah keluar, ia menoleh dan menambahkan, “Ingat ini, adikku. Jika kau terus memperlakukannya seperti ini, jangan salahkan siapa pun kelak dia yang akan ku bawa bersama ku"
Xiang Rong hanya berdiri diam, matanya penuh kilatan amarah bercampur kebingungan. Kata-kata Xiang Wei menusuk dalam, meskipun ia tidak ingin mengakuinya.
Di Paviliun Utara
Ji An duduk di kamarnya, matanya menerawang kosong ke luar jendela. Lin Li mendekatinya dengan secangkir teh hangat.
“Yang Mulia, kau terlihat sangat lelah. Mungkin kau perlu beristirahat sebentar?” Lin Li berkata dengan nada penuh kekhawatiran.
Ji An menggeleng lemah. “Istirahat tidak akan mengubah apa pun, Lin Li. Aku hanya merasa seperti terjebak di tempat yang sama tanpa tahu jalan keluarnya.”
Sebelum Lin Li sempat menjawab, seorang pelayan masuk dengan ekspresi gugup. “Selir Ji An Yi, Putra Mahkota Xiang Wei ingin bertemu dengan Anda di taman istana.”
Ji An terdiam, hatinya bercampur aduk antara rasa bingung dan cemas. “Apa yang diinginkan Putra Mahkota dariku?”
Lin Li tersenyum tipis. “Mungkin dia ingin memastikan kau baik-baik saja, Nona. Bukankah dia selalu muncul di saat-saat kau membutuhkan seseorang?”
Ji An menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya sebelum bangkit dan berjalan menuju taman.
Di Taman Istana
Xiang Wei berdiri di tengah taman, menunggu dengan tenang. Saat melihat Ji An datang, ia tersenyum lembut.
“Yang Mulia memanggil saya? Apa ada sesuatu yang penting?” Ji An membuka percakapan dengan nada hormat.
Xiang Wei mengangguk. “Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja setelah semua yang terjadi. Kau terlihat lelah akhir-akhir ini.”
Ji An tersenyum kecil, tetapi sorot matanya memancarkan kelelahan. “Hamba baik-baik saja, Yang Mulia. Hamba hanya mencoba menjalankan tugas sebaik mungkin.”
Xiang Wei menatapnya dengan serius. “Ji An Yi, kau tidak perlu memaksakan dirimu untuk seseorang yang tidak melihat usaha kerasmu. Kadang, memberikan jarak adalah cara terbaik untuk menjaga dirimu sendiri.”
Ji An terdiam, hatinya bergemuruh mendengar kata-kata itu. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Xiang Wei melanjutkan, “Jika kau merasa tidak ada tempat untukmu di sisi Xiang Rong, ingatlah bahwa aku selalu ada untuk mendukungmu.”
Kata-kata itu menggema di kepala Ji An, membuatnya semakin bingung tentang apa yang seharusnya ia lakukan.