"The Secret Behind Love." adalah sebuah cerita tentang pengkhianatan, penemuan diri, dan pilihan yang sulit dalam sebuah hubungan. Ini adalah kisah yang menggugah tentang bagaimana seorang wanita yang bernama karuna yang mencari cara untuk bangkit dari keterpurukan nya, mencari jalan menuju kebahagiaan sejati, dan menemukan kembali kepercayaannya yang hilang.
Semenjak perceraian dengan suaminya, hidup karuna penuh dengan cobaan, tapi siapa sangka? seseorang pria dari masa lalu karuna muncul kembali kedalam hidupnya bersamaan setelah itu juga seorang yang di cintai nya datang kembali.
Dan apakah Karuna bisa memilih pilihan nya? apakah karuna bisa mengendalikan perasaan nya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jhnafzzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Sekolah Ethan?
Pagi itu, Karuna terbangun lebih awal dari biasanya. Matahari baru saja muncul, namun pikirannya sudah melayang ke banyak hal. Ia menghela napas panjang sambil melirik Ethan yang masih terlelap di sampingnya. Ada banyak hal yang harus ia selesaikan hari ini, salah satunya adalah mendaftarkan Ethan ke sekolah. Hatinya bercampur aduk, antara semangat dan kekhawatiran.
Setelah menyiapkan sarapan sederhana, Karuna mendengar suara ketukan pelan di pintu depan. Dengan cepat, ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Di luar, Dirga berdiri dengan senyum hangat, membawa dua gelas kopi di tangannya.
“Pagi, Karuna. Maaf, aku datang lebih awal.” ujar Dirga.
Karuna tersenyum kecil. “Oh ya gak apa-apa kok, Masuklah. Ethan masih tidur, lagi pula aku juga belum siap-siap.”
Dirga melangkah masuk, menaruh kopi di meja, dan duduk di kursi ruang tamu. "Nggak apa-apa, aku tunggu. Lagian, aku suka suasana pagi di sini. Tenang."
Karuna hanya mengangguk sambil kembali ke dapur untuk menyelesaikan sarapan. Beberapa saat kemudian, Ethan terbangun. Bocah itu keluar dari kamar dengan mata masih setengah terbuka dan langsung berlari ke arah Dirga begitu melihatnya.
“Om Dirga! om di sini?” serunya dengan antusias.
Dirga tersenyum lebar dan mengangkat Ethan ke pangkuannya. “Iya dong! Hari ini kita bakal pergi cari sekolah buat Ethan, kan? Sudah siap jadi anak sekolah?”
Ethan mengangguk semangat, matanya yang tadi mengantuk kini berbinar-binar. “Aku mau sekolah yang besar, Om! Ada taman mainnya juga!”
Karuna yang mendengar percakapan itu dari dapur hanya menggeleng pelan. Ia tahu Ethan punya mimpi besar, tapi ia juga sadar kondisi finansialnya tak seperti dulu. “Ethan, nanti kita lihat dulu, ya. Mama belum tahu sekolahnya seperti apa,” ujarnya sambil membawa piring berisi roti panggang dan telur ke meja.
Setelah sarapan selesai, mereka bertiga segera bersiap. Dirga membantu Karuna mengangkat barang-barang kecil yang diperlukan, termasuk dokumen pendaftaran Ethan. Sepanjang perjalanan menuju sekolah, suasana di mobil terasa ringan. Ethan tak henti-hentinya berbicara tentang apa yang ia harapkan dari sekolahnya nanti.
“Aku mau punya banyak teman, terus ada guru yang baik. Sama ruang kelasnya harus gede, ya, Ma!” Ethan berceloteh riang dari kursi belakang.
Karuna hanya tersenyum tipis sambil melirik Dirga, yang sesekali menimpali obrolan Ethan dengan candaan ringan. Namun di balik senyumnya, Karuna merasa cemas. Ia sudah menyiapkan beberapa sekolah alternatif yang sederhana, tetapi Ethan sepertinya punya bayangan lain.
Setibanya di sekolah yang pertama, Karuna merasa lega. Sekolah itu sederhana, tapi cukup nyaman dan dekat dari rumah. Ia berpikir ini akan menjadi pilihan yang tepat. Namun, Ethan tampak kurang antusias. Saat mereka diajak berkeliling oleh salah satu staf, Ethan hanya berjalan pelan, pandangannya mengitari ruangan dengan ekspresi cemberut.
“Ethan, bagaimana? Kamu suka sekolah ini?” tanya Karuna dengan lembut.
Ethan menggeleng pelan. “Tapi, Ma… ini kecil banget. Nggak ada taman mainnya,” jawabnya polos.
Karuna tersenyum kecut, mencoba menjelaskan. “Tapi ini sekolah yang bagus, Nak. Kamu bisa belajar banyak hal lho di sini.”
Dirga yang menyaksikan percakapan itu memutuskan untuk menengahi. “Karuna, bagaimana kalau kita lihat satu sekolah lagi? Mungkin sekolah yang lebih besar, biar Ethan juga semangat.”
Karuna tampak ragu. Ia tahu maksud baik Dirga, tapi ia tak yakin bisa membiayai sekolah yang lebih elit. Namun, melihat wajah Ethan yang penuh harap, ia akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah, kita coba lihat satu lagi.”
Mereka pun melanjutkan perjalanan ke sekolah kedua. Sekolah ini jauh lebih besar, dengan taman yang luas dan fasilitas modern. Begitu tiba, mata Ethan langsung berbinar. Ia tak sabar untuk turun dari mobil dan melihat-lihat. “Wah, ini bagis banget, Ma!!” serunya sambil melompat keluar.
Karuna hanya berdiri di pintu gerbang, memandangi sekolah itu dengan perasaan campur aduk. Ia tahu tempat ini jauh di luar jangkauannya, tapi Ethan tampak sangat bahagia. Sementara itu, Dirga mendekat dan menyentuh bahu Karuna dengan lembut.
“Karuna, nggak apa-apa coba lihat dulu. Kita belum tahu soal biayanya. Kalau memang memungkinkan, kenapa tidak?”
Karuna menghela napas dan mengikuti Ethan yang sudah berlari ke taman sekolah. Mereka disambut oleh salah satu staf yang ramah, yang kemudian mengajak mereka berkeliling. Ethan tampak sangat menikmati kunjungan itu, terutama saat melihat ruang kelas yang penuh warna dan taman bermain yang luas.
Namun, Karuna tak bisa mengabaikan fakta bahwa biaya sekolah ini pasti sangat mahal. Setelah tur selesai, mereka diajak ke ruang administrasi untuk mendiskusikan pendaftaran dan biaya. Ketika angka-angka itu disebutkan, Karuna merasa seperti ditimpa beban berat. Jumlahnya jauh di atas ekspektasinya.
“Maaf saya, aku butuh waktu buat mempertimbangkan,” ujar Karuna dengan nada sopan sebelum mereka meninggalkan ruangan.
Di luar, Ethan tampak sangat bersemangat. “Ma, aku mau sekolah di sini! Ini tempat yang paling keren!” katanya dengan penuh antusias.
Karuna tersenyum kecil, tapi matanya menunjukkan keraguan. “Ethan, sekolah ini bagus, tapi kita harus pikirkan dulu, ya. Mama harus memastikan semuanya sesuai.”
Ethan tampak kecewa, tapi ia mengangguk pelan. Dirga, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Karuna, kalau Ethan benar-benar ingin sekolah di sini, mungkin kita bisa cari cara. Aku bisa bantu sedikit kalau kamu mau?”
Karuna menoleh ke Dirga. “Dirga, aku nggak bisa menerima itu. Ini tanggung jawab aku, bukan kamu.”
“Tapi, aku cuma mau ngebantu. Bukan cuma untuk Ethan, tapi juga untukmu.” jawab Dirga dengan lembut.
Karuna terdiam, mencoba mencerna kata-kata Dirga. Hatinya penuh dengan rasa terima kasih, tapi juga rasa bersalah. Ia tahu Dirga hanya ingin yang terbaik, tapi ia juga tak ingin terlalu bergantung padanya.
Setelah perjalanan panjang itu, mereka kembali ke rumah. Ethan terlihat lelah, tapi tetap bersemangat membicarakan sekolah yang ia inginkan. Sementara itu, Karuna duduk di ruang tamu, merenungkan semuanya. Dirga duduk di seberangnya, menatapnya dengan penuh pengertian.
“Karuna, aku nggak mau memaksa kamu. Aku cuma mau kamu tahu kalau aku ada di sini buat ngebantu kamu,”
Karuna menatapnya, dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. “Makasih, Dir. Aku benar-benar ngehargai semua yang kamu lakuin. Tapi aku harus pikirit ini baik-baik oke? Aku memang mau yang terbaik buat Ethan, tapi aku juga harus realistis.”
Dirga mengangguk, lalu tersenyum. “Aku tahu kamu akan menemukan jalan keluarnya, Karuna. Kamu ibu yang hebat.”
Malam itu, setelah Ethan tidur, Karuna duduk sendirian di kamarnya, memandangi berkas pendaftaran dari kedua sekolah itu. Pikirannya terus berputar, tapi satu hal yang ia tahu pasti: ia akan melakukan apa pun demi kebahagiaan dan masa depan Ethan, meskipun itu berarti harus berkorban lebih banyak.