Nuri terpaksa menerima perjanjian pernikahan 9 bulan yang ditawarkan Sabda, kerena Dennis, pria yang menghamilinya meninggal dunia. Sabda adalah kakak Dennis dan sudah memiliki istri. 9 bulan itu menjadi masa yang sulit bagi Nuri karena dia selalu mendapatkan intimidasi dari mertuanya dan istri pertama Sabda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
"Yang ini dulu."
Nuri yang bingung menurut saja apa yang Sabda arahkan.
"Salah Nuri, yang ini yang ditarik kesini." Sabda tak bisa menahan tawa melihat wajah kebingungan Nuri.
Saat melewati kamar Sabda, Yulia mendengar dengan jelas suara tawa putranya. Perasaan dia sendiri didalam kamar, apa sedang telepon?
"Ish, kok malah diketawain," Nuri yang kesal langsung memelototi Sabda.
Mata Yulia melotot mendengar suara Nuri didalam kamar anaknya. Segera dia menuju pintu yang terbuka setengah untuk memastikan apakah benar ada Nuri disana atau tidak.
"Sabda!" Teriak Yulia saat melihat dengan mata kepala sendiri Nuri sedang memakaikan dasi pada Sabda. Dengan telapak tangan mengepal, Yulia menghampiri mereka lalu menarik lengan Nuri menjauh dari Sabda.
"Bu, jangan kasar," ujar Sabda.
"Hei murahan, pandai sekali kamu mencari kesempatan," maki Yulia tepat didepan muka Nuri. "Kau pikir saat Fasya tak ada, kau bisa bebas mendekati Sabda? Jangan mimpi, karena aku tak akan membiarkannya."
"Dia hanya membantuku memakai dasi Bu. Gak usah terlalu dibesar besarkan," jelas Sabda.
"Hanya kamu bilang?" Yulia ganti memelototi Sabda. "Kamu ini jangan naif, dia sedang mencari kesempatan untuk mendekatimu," ujarnya bersungut sungut.
"Astaga Ibu, jangan selalu berfikir buruk tentang Nuri. Dia hanya ngidam ingin memakaikan dasi padaku."
Yulia seketika terkekeh. "Ngidam?" Dia menatap sinis kearah Nuri. "Ngidam yang dibuat-buat. Dia sengaja bilang ngidam agar kamu tak menolaknya."
Nuri mengehela nafas. Kalau meladeni Yulia, dia pasti lelah sendiri. Mending mengalah demi kewarasan.
"Aku pergi dulu, permisi," pamit Nuri.
"Bagus, pergi sana. Jangan sekali lagi mencoba masuk kesini," teriak Yulia.
Nuri sama sekali tak menggubris omongan Yulia. Dia berjalan meninggalkan kamar Sabda tanpa menoleh sama sekali.
Sabda menghela nafas berat. Dia heran sekali dengan ibunya yang mati matian membenci Nuri. Padahal menurutnya, Nuri tak salah apa-apa, justru dia korban disini. Korban bujuk rayu Dennis hingga hamil diluar nikah.
"Bu, apa Ibu tidak bisa bersikap sedikit lembut pada Nuri?"
"Jangan harap. Sudah berapa kali ibu bilang. Ibu tidak akan pernah mau menerimanya sebagai menantu."
"Aku tak menyuruh ibu menerimanya, hanya perlakukan dia dengan baik selama dia ada disini. Hanya beberapa bulan lagi Bu, tidak lama."
"Ibu bilang tidak ya tidak."
Sabda berdecak pelan. Susah sekali bicara dengan ibunya. Yulia terlalu keras kepala.
"Dan ibu ingatkan sekali lagi. Jangan terlalu dekat dan memberi perhatian padanya. Dia itu racun Sabda, racun yang bisa saja merusak rumah tanggamu. Ibu tak rela dunia akhirat jika sampai kehilang Fasya dan mendapatkan ganti macam Nuri. Tak rela," Yulia kembali menekankan. Malas harus berdebat terus dengan Sabda, Yulia memilih keluar. Dia makin kesal pada Nuri. Sekarang Sabda sering membantah karenanya.
Yulia mencari Nuri didapur, dia harus memperingatkan wanita itu agar tak dekat-dekat dengan Sabda.
"Hei murahan," teriak Yulia saat melihat Nuri didapur bersama Bi Diah dan Tutik. Tak pelak ketiga orang disana langsung menoleh kearah Yulia. "Semakin hari, aku lihat kau semakin ngelunjuk," Yulia mencengkeram lengan Nuri dengan sangat kuat.
"Lepas Bu, sakit." Nuri berusaha berontak.
"Sakit?" Yulia terkekeh. "Apa kau mengerti apa itu sakit hah? Kalau kau tahu apa itu sakit, kau tak akan masuk dan berduaan dikamar Sabda. Ingat Nuri, Sabda punya istri. Apa menurutnya, jika Fasya tahu, dia tak akan sakit hati. Gak usah sok bilang sakit, kalau kau saja menyakiti hati sesama wanita."
Nuri tersenyum getir, membayangkan bagaimana reaksi Yulia saat nanti, dia tahu jika Fasya selingkuh.
"Aku tak merasa menyakiti siapapun," ujar Nuri. "Aku bukan pelakor yang merebut suami orang. Tapi suami orang yang telah memintaku untuk menikah dengannya. Dan itu juga sudah direstui istrinya. Jadi saya tekankan lagi, saya bukan pelakor disini. Dan jika saya ada dikamar Kak Sabda, itu karena saya juga istrinya," tekan Nuri sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Istri? Cuih" Yulia meludah tepat disebelah Nuri. "Percaya diri sekali kamu menyebut dirimu istri. Ingat Nuri, Sabda menikahimu hanya karena dia hanya menginginkan anakmu bukan menginginkanmu."
Nuri memegangi dadanya. Kenapa rasanya sakit sekali mendengar kalimat Yulia barusan.
"Jadi aku ingatkan lagi, jangan kegatelan untuk mencari perhatian Sabda, apalagi sampai memakai drama pura pura ngidam, menjijikkan. Dan jangan pernah lagi, mengaku ngaku sebagai istri Sabda."
Bi Diah dan Tutik yang juga ada disana sampai mengelus dada. Heran dengan Yulia begitu membenci Nuri.
"Aku tidak mengaku ngaku karena statusku sudah sangat jelas. Secara hukum dan agama, aku sah sebagai istri Kak Sabda. Dan selama kak Sabda belum menceraikanku, mau ibu suka atau tidak, aku tetap istrinya." Nuri pergi setelah mengatakan itu. Dia tak mau stress yang bisa saja berakibat fatal bagi kandungannya.
"Sialan, dia makin berani padaku." Yulia juga ikut pergi meninggalkan dapur. Dia lalu ke halaman belakang untuk menghubungi temannya. Menyuruhnya mencari sesuatu untuknya.
"Tapi mau kau buat apa Yul? Kamu hamil?" tanya teman Yulia via telepon.
"Heh, mana mungkin aku hamil. Sudahlah, kau tak perlu tahu. Segera kirim barangnya kalau sudah ada. Aku butuh segera." Yulia langsung memutus sambungan telepon setelahnya.