Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Lengketnya Emma
Malam sudah semakin larut ketika mobil yang membawa Hawa dan Emma akhirnya memasuki halaman luas mansion Harrison. Keheningan di dalam mobil hanya dipecahkan oleh suara napas Emma yang perlahan mulai terlelap, namun kembali terbangun ketika kendaraan berhenti.
Hawa memandangi pintu besar mansion itu dengan jantung yang sedikit berdebar. Di depan pintu, berdiri Harrison dengan tubuh tegap, tangan bersedekap, dan tatapan dingin yang entah kenapa membuat hawa malam terasa lebih menusuk.
Saat pintu mobil dibuka oleh sopir, Emma langsung keluar terlebih dahulu. "Papa!" serunya penuh antusias, berlari kecil ke arah Harrison yang langsung merentangkan tangannya.
Harrison menunduk sedikit, memeluk anaknya dengan lembut, meski wajahnya tetap mempertahankan ekspresi kaku. Namun, pelukan itu tidak bisa menyembunyikan kasih sayangnya. "Kenapa kamu pulang malam sekali, Emma?" tanyanya dengan nada tegas yang bercampur kelegaan.
Emma menyeringai kecil dan mendekatkan bibirnya ke telinga Harrison, berbisik, "Aku jemput Kak Hawa. Aku nggak mau jauh dari dia, Pa."
Harrison mengangkat alis, menatap Hawa yang baru saja keluar dari mobil. Wajahnya tidak menunjukkan rasa terkejut, tapi matanya berbicara banyak. Hawa menundukkan kepala dengan gugup, merasa seperti seorang anak kecil yang tertangkap basah.
"Kak Hawa, ayo kita masuk!" Emma menggenggam tangan Hawa dengan erat dan menariknya ke dalam mansion, tidak memberi kesempatan Hawa untuk menolak.
Harrison memperhatikan mereka tanpa suara, hanya berjalan di belakang, masih mencoba memahami bagaimana Emma bisa begitu lengket dengan Hawa.
Begitu masuk, suasana canggung langsung menyelimuti Hawa. Interior mansion yang megah dengan perabotan serba mahal membuatnya merasa seperti berada di dunia lain. Emma tetap menggandeng tangannya erat, membawanya ke ruang tamu.
"Kak Hawa, duduk sini! Aku mau Kak Hawa nemenin aku minum susu dulu," ujar Emma sambil menunjuk sofa empuk berwarna krem.
Hawa tersenyum lembut, menuruti permintaan Emma. "Emma, nggak capek? Harusnya kamu istirahat dulu, sayang."
"Iya, Kak. Aku harus minum susu di temani sama Kak Hawa," balas Emma dengan wajah memelas, yang sukses membuat Hawa menyerah. Tidak lama artnya membawa susu yang biasa di minum Nona mudanya.
Harrison hanya menatapnya dengan pandangan yang sulit di artikan. "Biasanya kau mandiri, Emma. Kenapa selalu minta ditemani Kak Hawa?"
"Aku ingin, Pa." jawabnya. Setelah itu Hawa mengambil alih susu yang berada di tangan artnya.
"Terima kasih, Bi." ucap Hawa pada artnya. Di angguki olehnya yang sungkan terhadap Hawa.
Emma bersorak kecil, sementara Hawa tidak bisa menahan senyum. Di balik sikap tegas Harrison, jelas terlihat betapa ia tidak mampu menolak permintaan anak perempuannya.
Setelah Emma selesai minum susu dan akhirnya tertidur di kamarnya, Hawa merasa lega. Ia dengan hati-hati menyelimuti tubuh kecil Emma sebelum keluar dari kamar.
Namun, saat membuka pintu, ia terkejut melihat Harrison berdiri di depan kamar, menatapnya dengan tajam. "Ikut aku ke ruang kerja," ucapnya singkat, lalu berbalik tanpa menunggu jawaban.
Hawa mengikuti langkah Harrison menuju ruang kerja dengan sedikit canggung. Pintu ruang kerja dibuka, memperlihatkan ruangan yang luas, penuh dengan rak buku tinggi, meja kerja besar dari kayu mahoni, dan sebuah jendela lebar yang menghadap taman di luar. Harrison berjalan menuju kursinya, lalu duduk sambil melipat tangannya di atas meja, menatap Hawa yang berdiri ragu di depan pintu.
"Masuk," ucap Harrison dengan nada tegas, tanpa basa-basi.
Hawa menelan ludah dan melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. "Ada yang ingin Anda bicarakan, Tuan Harrison?" tanyanya dengan sopan, meski nadanya terdengar agak kaku.
Harrison mengangguk kecil, memandangi Hawa dengan tatapan tajam yang seolah ingin menyelidik isi pikirannya. "Duduk," ujarnya sambil menunjuk kursi di depan mejanya.
Hawa menurut, meskipun ia merasa tidak nyaman dengan keheningan yang menyelimuti mereka.
"Emma terlihat sangat nyaman denganmu," Harrison memulai, memecah keheningan. "Lebih nyaman daripada dengan siapa pun, bahkan dibandingkan denganku."
Hawa mengangguk pelan. "Emma anak yang luar biasa. Dia hanya butuh seseorang yang bisa memberikan perhatian lebih untuknya."
Harrison menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Hawa dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Aku ingin memastikan satu hal, Hawa. Apa yang kau lakukan untuk Emma benar-benar murni dari hatimu?"
Pertanyaan itu membuat Hawa tertegun. Ia mengerutkan kening, merasa sedikit tersinggung dengan insinuasi di balik kata-kata Harrison. "Tentu saja murni, Tuan Harrison. Apa maksud Anda menanyakan itu?"
"Aku hanya ingin memastikan," Harrison menjawab dengan nada yang masih datar, "bahwa kau tidak memiliki motif tersembunyi atau memanfaatkan Emma untuk keuntungan pribadi."
Ucapan itu membuat darah Hawa mendidih. Ia menatap Harrison dengan mata yang berbinar marah. "Tuan Harrison, aku rasa Anda salah menilaiku. Tidak ada sedikit pun dalam pikiranku untuk melakukan hal seperti itu. Aku membantu Emma karena kepedulianku, bukan karena aku ingin mendapatkan sesuatu."
Harrison mengangkat satu alis, tampak terkejut dengan keberanian Hawa. "Banyak orang yang mendekatiku atau Emma hanya karena mereka ingin sesuatu dariku. Jadi, wajar jika aku berhati-hati."
"Aku bukan salah satu dari mereka," Hawa menjawab tegas. "Jika Anda mengenal aku lebih baik, Anda akan tahu bahwa aku tidak pernah memanfaatkan siapa pun, apalagi seorang anak kecil yang membutuhkan kasih sayang."
"Berani sekali kau bicara seperti itu," Harrison berkomentar dengan nada dingin, meski ada sedikit penghargaan dalam tatapannya.
"Karena aku yakin dengan niatku," balas Hawa tanpa gentar. "Emma mengingatkanku pada ponakan sendiri, Nikki. Dia juga anak yang luar biasa dan membutuhkan perhatian. Aku melakukan ini karena aku peduli, bukan karena ada keuntungan yang aku harapkan."
Harrison terdiam, memandang Hawa dengan lebih serius. "Jadi, kau melakukan ini hanya karena dia mengingatkanmu pada ponakanmu?"
"Sebagian," jawab Hawa jujur. "Tapi sebagian besar karena Emma adalah anak yang istimewa. Dia butuh seseorang yang bisa mengerti dirinya. Itu saja."
Untuk pertama kalinya sejak percakapan dimulai, wajah Harrison melunak sedikit. "Baiklah," gumamnya. "Aku percaya padamu, untuk sekarang. Tapi ingat, Hawa, aku tidak akan mentolerir siapa pun yang menyakiti Emma, baik secara langsung maupun tidak langsung."
"Aku tidak pernah berniat menyakiti Emma," balas Hawa dengan tegas.
"Bagus," Harrison mengangguk. "Dan satu hal lagi. Jangan biarkan Emma terlalu bergantung padamu. Aku tidak ingin dia menjadi terlalu lekat hingga menyulitkanmu."
Hawa tersenyum kecil, mencoba mengendurkan suasana yang tegang. "Aku rasa itu sudah terlambat, Tuan Harrison. Emma sudah sangat lengket denganku."
Harrison mendengus pelan, hampir seperti tawa kecil. "Benar. Dia memang anak keras kepala."
"Sepertinya itu menurun dari papanya," gumam Hawa dengan nada setengah bercanda, meski langsung menyesali ucapannya ketika Harrison menatapnya tajam.
Namun, Harrison tidak berkata apa-apa, hanya menatap Hawa dengan ekspresi yang sulit diartikan. Akhirnya, ia mengangguk pelan. "Baiklah. Kau boleh kembali ke kamarmu. Istirahatlah. Kau pasti lelah setelah hari yang panjang."
Hawa berdiri, sedikit membungkuk sebagai tanda hormat. "Selamat malam, Tuan Harrison."
Saat Hawa keluar dari ruang kerja, ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdegup kencang. Percakapan itu jauh lebih menegangkan dari yang ia bayangkan. Namun, ia juga merasa lega karena setidaknya, Harrison mulai mempercayainya—meski hanya sedikit.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jangan lupa ya, like komentarnya kalian.
Terima kasih.