Nadia, seorang siswi yang kerap menjadi korban bullying, diam-diam menyimpan perasaan kepada Ketua OSIS (Ketos) yang merupakan kakak kelasnya. Namun, apakah perasaan Nadia akan terbalas? Apakah Ketos, sebagai sosok pemimpin dan panutan, akan menerima cinta dari adik kelasnya?
Di tengah keraguan, Nadia memberanikan diri menyatakan cintanya di depan banyak siswa, menggunakan mikrofon sekolah. Keberaniannya itu mengejutkan semua orang, termasuk Ketos sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Hari berganti begitu cepat. Nadia kembali ke sekolah diantar oleh ibunya, Dewi. Nadia, yang merasa bersalah karena kejadian kemarin, ternyata sudah membuat hadiah permintaan maafnya tadi malam.
Nadia pergi ke kamar mandi, menata rambut sambil memegang hadiah permintaan maaf untuk ketua OSIS. Mata Cici yang julid terlihat penasaran dengan isi kotak berwarna hijau itu.
Cici memberi isyarat kepada Imel dan Dina untuk mengambil kotak hijau tersebut.
“Apa ini? Jin ya?” ucap Imel.
Nadia spontan merenggut kotak hijau itu dan ingin pergi, tetapi kaki Cici sudah berada di samping pintu kamar mandi, menghalangi jalan Nadia. Nadia terjatuh, dan kotak itu tepat berada di depan Steven.
“Ini milikmu?” tanya Steven.
Kepala Nadia mengangguk-angguk. Steven memberikan kotak tersebut kembali kepada Nadia, lalu dia pergi meninggalkan mereka.
“Maaf, Kak. Kami juga permisi ya,” ucap Cici dengan nada lembut. Steven tidak membalas, bahkan tidak menunjukkan ekspresi. Ia membuang wajahnya dan meninggalkan Cici.
Cici yang merasa diabaikan oleh Steven mulai menyalahkan Nadia.
“Ini semua gara-gara Nadia si gitar Indonesia yang wajahnya seperti belenggu dosa! Kurung Nadia tepat di kamar mandi ini, secepatnya!” ucap Cici dengan nada marah dan kesal.
Imel dan Dina, yang selalu semangat dalam hal merundung Nadia, mulai melancarkan aksi mereka. Mereka mendatangi kelas Nadia, lalu memaksa mulut Nadia agar terbuka lebar dan memasukkan permen karet ke dalamnya.
“Ini, makan ini! Ayo makan!” kata Imel santai.
Sementara itu, Dina memegang tangan Nadia erat. Suasana kelas seketika menjadi tegang; tak ada satu pun yang berani melawan.
“Ayo, gitar Indonesia, cepat ayo!” paksa Imel dan Dina sambil memutar rambut Nadia.
Nadia, yang tak berdaya, terjatuh ke lantai. Karena kesakitan, dia berusaha menggeser badannya mengikuti langkah Imel dan Dina, yang terus menarik rambutnya. Hanya tangan dan kakinya yang mendorong tubuhnya di atas lantai keramik, hingga akhirnya mereka sampai di kamar mandi.
“Nadia, Nadia... Sudah saya bilang, jangan sok cantik di depan orang,” ucap Cici dengan nada sinis.
Nadia, yang tergeletak di lantai, mendadak bangkit berdiri dan menampar Cici.
“Kamu hanya bisa menindas orang yang lemah, kan? Apa yang kamu mau dariku? Apa?” bentak Nadia.
Cici yang tidak terima ditampar, membalas tamparan itu.
“Aku mau kau menderita dengan tanganku sendiri, Nadia!” teriak Cici.
“Kamu tidak tahu, Cici. Semua yang kau lakukan itu tidak akan membuatku menderita, karena aku selalu mendapatkan kasih sayang orang tua. Tidak seperti kamu, yang tidak mendapatkan kasih sayang orang tua sehingga menindas orang lain untuk merasa bahagia!” balas Nadia tajam.
Setelah kejadian itu, Nadia kembali ke kelas dengan langkah tertatih, menahan sakit di tubuhnya. Tatapan teman-teman sekelasnya yang penuh simpati dan rasa bersalah membuat Nadia merasa semakin kecil. Namun, dia memilih untuk tidak menghiraukannya. Sepanjang sisa hari itu, dia berusaha fokus pada pelajaran, meskipun pikirannya terus melayang pada satu hal: Steven.
Saat dia pulang dan duduk di kamar, bayangan wajah Steven tidak henti-hentinya mengisi pikirannya. Ketampanannya yang alami, sorot matanya yang tajam namun penuh ketenangan, serta suaranya yang rendah dan dalam, seakan terus terngiang di telinganya.
“Ini milikmu?” kalimat itu diulang-ulang dalam benaknya. Cara Steven mengucapkannya begitu tegas, tetapi ada sedikit kelembutan yang entah kenapa membuat jantungnya berdegup lebih kencang.
Nadia memeluk bantalnya erat-erat, mencoba mengusir bayangan itu, tetapi tidak berhasil. Pikirannya malah melayang ke saat Steven memberikan kotak hijau itu kepadanya. Tatapan Steven yang tanpa ekspresi justru terasa begitu misterius, membuat Nadia semakin ingin tahu tentang dirinya.
"Kenapa aku terus memikirkannya? Apa aku... suka sama dia?" gumam Nadia pelan sambil memegang dadanya, yang terasa berdebar lebih cepat dari biasanya.
Ibunya, Dewi, mengetuk pintu kamar, menyadarkan Nadia dari lamunannya.
"Nak, kamu baik-baik saja? Dari tadi ibu lihat kamu murung," tanya Dewi dengan lembut.
Nadia tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan apa yang sedang dirasakannya. "Aku baik, Bu. Hanya lelah saja."
Setelah Dewi meninggalkan kamar, Nadia merebahkan dirinya di tempat tidur. Namun, pikirannya kembali pada Steven. Dia tidak tahu bagaimana caranya menghadapi perasaan ini, terutama ketika memikirkan bahwa dia harus bertemu Steven lagi di sekolah esok hari.
“Steven...” bisiknya pelan, sebelum akhirnya terlelap dalam tidurnya. Bayangan Steven, dengan senyumnya yang samar, menemani mimpi Nadia malam itu.
semangat