NovelToon NovelToon
Angin Dari Gunung Kendan

Angin Dari Gunung Kendan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kelahiran kembali menjadi kuat / Budidaya dan Peningkatan / Ilmu Kanuragan / Kultivasi Modern / Toko Interdimensi
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Topannov

"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hembusan dari Masa Depan

Jejak di Antara Batu

Hembusan angin Gunung Kendan terasa semakin dingin, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk di sepanjang jalur mereka. Langit mulai meredup, kabut tipis bergulung di antara pepohonan yang berjajar rapat, menciptakan suasana yang membuat jalan setapak tampak seperti labirin tanpa akhir. Rangga melangkah di depan, tubuhnya tegak namun pikirannya dipenuhi kegelisahan. Setiap langkah terasa seperti memanggil sesuatu dari kedalaman gunung, sesuatu yang tidak dapat ia pahami sepenuhnya.

Ki Jayeng Larang berhenti sejenak, tongkat kayunya menekan tanah berbatu dengan perlahan. Ia menunduk, matanya yang tajam meneliti permukaan jalan setapak. “Rangga, ulah buru-buru...” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar di antara gemerisik daun. Ia mengulurkan tangan untuk memberi isyarat kepada Larasati agar tetap diam.

“Ada apa, Ki?” Rangga menoleh dengan kening berkerut. Ia mengamati raut wajah gurunya yang tampak serius, membuat ia langsung berhenti dan berjalan mendekat.

Ki Jayeng menunjuk ke tanah. “Getih...” gumamnya pelan sambil berlutut. Ia mengusap bekas cairan merah yang menetes di atas bebatuan kasar. “Aya anu luka. Ieu getih seger, sigana urang nu tadi nu liwat ieu.”

Rangga jongkok, menatap bekas darah yang baru itu. Warnanya mengkilap, dan tetesannya tampak membentuk jejak menuju arah lebih jauh ke dalam gunung. “Mereka terluka,” katanya, suaranya rendah namun penuh tekad. “Tapi siapa yang lebih dulu melukai mereka?”

Larasati melangkah mendekat, menyandarkan tubuhnya ke batang pohon. Napasnya terdengar sedikit berat setelah pendakian yang panjang. “Kalau mereka terluka,” katanya dengan nada cemas, “berarti mereka sudah menghadapi sesuatu di depan kita. Mungkin jebakan atau penjaga yang sama seperti yang pernah kita temui.”

Ki Jayeng berdiri, mengibaskan tangannya untuk menyuruh mereka berhenti berbicara. “Teu gampang percaya. Jalan ieu... teu biasa. Gunung Kendan henteu saukur ngajaga rahasia. Aya hal-hal anu leuwih ti eta.” Suaranya dalam, dan setiap katanya seolah membawa beban misteri yang menyelimuti gunung itu.

“Apa maksud Ki?” Larasati bertanya, menelan ludah untuk mengusir rasa gugup yang mulai menyerangnya. “Hal-hal seperti apa?”

Ki Jayeng mengangkat tongkatnya, menunjuk jauh ke arah kabut yang tebal di depan mereka. “Gunung ieu nyimpen kasaktian nu teu kanggo sembarang jalma. Saha waé nu asup ka dieu, kudu nyiapkeun diri. Ieu bukan tempat pikeun anu haténa galau.”

Rangga berdiri, matanya mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Ki Jayeng. Ia menarik napas dalam, merasakan udara dingin masuk ke paru-parunya. “Kalau begitu, kita harus terus maju,” katanya, suaranya penuh keyakinan. Ia menatap gurunya dan Larasati bergantian. “Jebakan atau tidak, kita tidak bisa membiarkan mereka mencapai prasasti lebih dulu.”

“Tunggu, Rangga,” potong Larasati, menahan lengannya dengan cemas. “Kalau ini jebakan, dan kalau mereka sampai ke depan, kita mungkin tidak akan bisa menghadapi mereka dalam kondisi ini.”

Rangga menoleh, menatap Larasati dengan tatapan serius. “Apa kamu ingin berhenti di sini?” tanyanya. Ada nada tantangan dalam suaranya, tetapi juga kekhawatiran yang tidak bisa disembunyikan.

Larasati menatap balik, dan meskipun wajahnya menunjukkan rasa lelah, matanya memancarkan tekad yang sama. “Aku tidak bilang kita harus berhenti. Aku hanya tidak ingin kita bertindak bodoh. Kalau kita kehilangan nyawa di sini, apa gunanya semua ini?”

Keheningan sejenak mengisi udara, hanya dipecahkan oleh suara angin yang berdesir melalui dedaunan. Ki Jayeng akhirnya melangkah ke depan, menyela ketegangan di antara mereka. “Urang maju. Tapi ulah buru-buru. Tiap langkah kudu dipikirkeun.”

Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, mengikuti jejak darah yang terus membawa mereka semakin dalam ke jalur sempit yang dikelilingi tebing curam di satu sisi dan jurang gelap di sisi lain. Suara langkah kaki mereka terdengar menggema di antara batu-batu, seolah-olah ada makhluk tak kasat mata yang mengikuti mereka dari balik bayangan.

Di tengah perjalanan, Rangga tiba-tiba berhenti. Ia mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Larasati dan Ki Jayeng berhenti juga. “Dengar,” bisiknya.

Mereka berdiri diam, telinga mereka mencoba menangkap suara apa pun di tengah keheningan gunung. Awalnya tidak ada apa-apa, hanya angin yang menderu pelan. Tetapi kemudian, suara gemerisik halus terdengar dari semak-semak di depan mereka. Suara itu seperti sesuatu yang sedang bergerak perlahan, berusaha tetap tersembunyi.

“Jaga jarak,” Ki Jayeng memperingatkan, suaranya rendah tetapi penuh wibawa. Ia mengangkat tongkatnya, bersiap menghadapi apa pun yang akan muncul.

Rangga menggenggam tangannya erat-erat, napasnya melambat saat ia fokus pada semak-semak itu. Detik-detik berlalu terasa seperti selamanya, hingga akhirnya sesuatu muncul dari bayangan: seekor rusa kecil dengan tanduk ramping. Hewan itu tampak terkejut melihat mereka, tetapi segera berlari menjauh dengan langkah cepat, menghilang ke dalam kabut.

Larasati menghela napas lega, menekan dadanya dengan tangan. “Hanya rusa,” gumamnya, meskipun ketegangan masih terlihat di wajahnya. “Kupikir itu sesuatu yang lebih buruk.”

“Kadang-kadang, nu karasa bahaya teh lain ti nu kasampak,” balas Ki Jayeng, matanya tetap memeriksa sekeliling mereka. “Ayo terus. Waktu kita tidak banyak.”

Mereka melanjutkan perjalanan, tetapi suasana semakin mencekam. Kabut semakin tebal, dan suara-suara hutan yang biasanya ramai kini lenyap sepenuhnya, digantikan oleh keheningan yang terasa tidak alami. Langkah mereka melambat, dan setiap detak jantung terasa lebih keras dari biasanya.

Ketika mereka mencapai sebuah persimpangan di jalur batu, Ki Jayeng berhenti lagi. Ia menatap kedua arah jalan dengan seksama, kemudian menunduk untuk memeriksa jejak di tanah. “Aya anu teu bener,” gumamnya pelan.

“Apa itu, Ki?” Rangga mendekat, mencoba melihat apa yang diperhatikan gurunya.

Ki Jayeng menunjuk jejak darah yang bercabang ke dua arah. Salah satu jalur menuju celah sempit di sisi tebing, sementara yang lain mengikuti jalur utama. “Sigana nu luka tadi nyoba nyasabkeun urang. Tapi ieu hal anu teu biasa.”

“Mereka berpencar?” Larasati bertanya dengan nada bingung.

“Bisa jadi jebakan,” jawab Rangga dengan tegas. Ia menatap kedua jalur itu dengan penuh perhatian. “Kalau kita salah pilih, mereka bisa menyerang kita dari belakang.”

Ki Jayeng mengangguk pelan. “Urang kudu nyandak keputusan nu bener. Jejak ieu milik hiji jalma. Tapi kunaon anjeunna milih dua jalur?”

Rangga menatap jalan sempit di sisi kanan, lalu beralih ke Larasati. “Tunggu di sini. Aku akan memeriksa jalur ini.”

Larasati langsung menggenggam lengannya, menatapnya dengan ketegasan yang jarang ia tunjukkan. “Aku ikut. Kalau ada bahaya, kamu tidak boleh menghadapi itu sendirian.”

“Tapi—” Rangga mencoba membantah, tetapi Larasati memotongnya. “Jangan pikirkan aku seperti beban. Aku bisa menjaga diriku sendiri.”

Ki Jayeng menghela napas, menyadari bahwa perdebatan ini akan memakan waktu. “Bawa Larasati, tapi ulah jauh ti pangawasan. Mun aya nu aneh, balik deui langsung.”

Dengan hati-hati, Rangga dan Larasati melangkah ke jalur sempit itu, mengikuti jejak darah yang semakin banyak. Mereka tidak tahu apa yang menunggu di depan, tetapi keduanya tahu bahwa perjalanan ini hanya akan menjadi lebih berbahaya. Di belakang mereka, bayangan Ki Jayeng menghilang dalam kabut yang semakin menebal.

1
Pangkalan 2405
up
Sri Wulandari Buamonabot
tolong gunakan bhs Indonesia...
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya
Pannov: baik kak, terimakasih masukannya
total 1 replies
Pannov
"Wow, novelnya bener-bener seru dan bikin penasaran! Ceritanya ngalir banget, karakternya juga terasa hidup. Salut buat penulisnya, sukses banget bikin pembaca susah lepas dari halaman ke halaman!"
Feri Fernando
menarik cerita ini
Pannov: terimakasi banyak kk, saya akan buat lebih seru lagi deh
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!