Dalam hidup, cinta dan dendam sering kali berdampingan, membentuk benang merah yang rumit. Lagu Dendam dan Cinta adalah sebuah novel yang menggali kedalaman perasaan manusia melalui kisah Amara, seseorang yang menyamar menjadi pengasuh anak di sebuah keluarga yang telah membuatnya kehilangan ayahnya.
Sebagai misi balas dendamnya, ia pun berhasil menikah dengan pewaris keluarga Laurent. Namun ia sendiri terjebak dalam dilema antara cinta sejati dan dendam yang terpatri.
Melalui kisah ini, pembaca akan diajak merasakan bagaimana perjalanan emosional yang penuh liku dapat membentuk identitas seseorang, serta bagaimana cinta sejati dapat mengubah arah hidup meskipun di tengah kegelapan.
Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti sebenarnya dari cinta dan dampaknya terhadap kehidupan. Seiring dengan alunan suara biola Amara yang membuat pewaris keluarga Laurent jatuh hati, mari kita melangkah bersama ke dalam dunia yang pennuh dengan cinta, pengorbanan, dan kesempatan kedua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susri Yunita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16. Kehidupan Amara Setelah Keputusan Berat Itu
Sejak hari ia mengucapkan kebohongan yang diperintahkan Nyonya Lauren, Amara tenggelam dalam rutinitasnya di rumah keluarga Laurent. Ia menghabiskan hampir seluruh waktunya bersama Nico. Anak itu menjadi pelarian dari pikiran-pikiran gelap yang terus menghantuinya. Setiap pagi, Amara menyiapkan sarapan untuk Nico, membantu memakaikannya pakaian, dan mengantar ke taman bermain di halaman. Tawa kecil Nico memberinya ketenangan sementara, meskipun jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia sedang bersembunyi dari kenyataan.
Selain Nico, Amara juga sering menemani Alessia untuk control dan juga rutin berkonsultasi ke psikiater., menjadi pendengar setia untuk cerita-cerita Alessia yang kadang penuh air mata.
"Amara, aku merasa jauh lebih baik kalau kamu ada di sini. Kamu seperti adik perempuan yang selalu aku harapkan," kata Alessia suatu hari setelah keluar dari sesi terapi.
Amara hanya tersenyum lemah, "Aku senang bisa membantu, Kak Alessia. Kakak hanya butuh waktu. Semua akan baik-baik saja."
Namun, meskipun Amara terlihat sibuk, pikirannya terus kembali pada Dante. Ia menghindarinya setiap kali Dante pulang dari kantor, selalu berpura-pura sibuk atau bahkan pura-pura tidur. Ia tidak sanggup menghadapi tatapan Dante, yang seolah penuh dengan pertanyaan dan harapan.
Di sisi lain, Dante tidak bisa menghilangkan Amara dari pikirannya. Setiap malam, setelah pulang dari kantor, ia berharap bisa bicara dengannya. Namun, Amara selalu menghindar, dan itu membuat Dante semakin frustrasi.
Suatu malam, Dante berdiri di depan pintu kamar Amara, ragu-ragu mengetuk. Ia tahu bahwa Amara akan berpura-pura tidur seperti biasanya, tetapi ia tetap mencobanya.
Dante mengetuk pelan, "Amara, aku tahu kamu belum tidur. Aku hanya ingin bicara sebentar. Tolong, buka pintunya."
Di dalam kamar, Amara memejamkan mata erat-erat, berusaha menahan air mata. Ia tahu bahwa jika ia membuka pintu itu, ia mungkin tidak akan bisa menahan perasaannya yang sebenarnya.
Setelah beberapa saat tanpa jawaban, Dante menghela napas Panjang, "Baiklah. Aku hanya mau bilang, aku akan pergi ke Paris besok pagi untuk urusan bisnis. Aku mungkin tidak akan kembali untuk beberapa minggu. Kalau kamu butuh sesuatu, hubungi aku, oke?"
Tidak ada respons dari dalam kamar. Dante menundukkan kepala, kecewa, tetapi memutuskan untuk tidak memaksa. Ia melangkah pergi, meninggalkan Amara dengan perasaannya yang hancur.
---
Keesokan paginya, Dante bangun lebih awal untuk mengejar penerbangannya ke Paris. Ia melirik pintu kamar Amara saat melewati lorong, berharap bisa melihatnya sekali lagi sebelum pergi. Namun, pintu itu tetap tertutup rapat.
Dante berjalan keluar rumah dengan koper di tangan, tetapi hatinya tertinggal di sana, bersama wanita yang ia cintai tetapi tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Di dalam kamarnya, Amara duduk di tepi tempat tidur, menatap jendela. Ia mendengar suara mobil Dante menjauh dan merasakan sesuatu di dalam dirinya hancur. Ia ingin berlari keluar, ingin menghentikannya, tetapi ancaman Nyonya Lauren terus terngiang di kepalanya.
"Maafkan aku, Dante. Ini yang terbaik untuk kita," Amara berbisik kepada dirinya sendiri
---
Sementara Itu Setibanya di Paris, Dante berusaha membenamkan dirinya dalam pekerjaan. Ia menghadiri rapat-rapat bisnis dan bertemu dengan klien penting, tetapi pikirannya selalu kembali pada Amara. Ia mengingat senyuman Amara, tawanya, bahkan cara dia memandangnya.
Di sela-sela kesibukannya, Dante menelepon Nico melalui video call. Anak itu dengan riang menunjukkan mainan barunya dan berkata, "Amara membelikanku ini. Dia selalu baik padaku."
Mendengar nama Amara, Dante tersenyum samar. Namun, di balik senyumnya, ada rasa rindu yang begitu besar. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres, dan ia bersumpah akan mencari tahu kebenarannya begitu ia kembali ke rumah.
---
Sementara di rumah Laurent, Amara semakin menyibukkan dirinya. Ia mengurus Nico dengan sepenuh hati, bahkan membantunya mempelajari huruf-huruf alfabet. Alessia juga semakin menyayangi dan tergantung pada Amara, ia sering mengajaknya berbicara tentang kehidupan.
Namun, ketika malam tiba dan semuanya menjadi sunyi, Amara merasa kesepian. Ia sering menatap ponselnya, ingin menghubungi Dante, tetapi ia selalu mengurungkan niatnya. Baginya, menjaga jarak adalah satu-satunya cara untuk melindungi keluarganya dari Nyonya Lauren.
"Aku hanya harus bertahan sedikit lagi. Nico akan segera mandiri, dan aku akan pergi dari sini." Amara berbisik dalam hati.
Tak bisa dipungkiri, ketiadaan Dante membuat rumah terasa lebih sunyi bagi Amara. Tidak ada lagi suara langkah kaki Dante saat malam, tidak ada lagi ketukan lembut di pintu kamarnya, dan tidak ada lagi senyum hangat yang selalu menghiasi pagi hari.
Amara berusaha mengisi kekosongan itu dengan mengalihkan perhatian sepenuhnya ke Nico. Bocah itu bahkan sering meminta Amara untuk membacakan dongeng sebelum tidur.
Nico: "Ibu Mara, kapan Papa ku pulang? Aku ingin dia melihat gambar yang aku buat."
Amara tertegun sejenak sebelum tersenyum kecil, "Papa Dante sedang sibuk di Paris, sayang. Tapi aku yakin dia akan suka gambarmu saat dia pulanng
Nico tersenyum lebar, tetapi Amara merasa ada kekosongan yang sama di hati bocah itu, seperti yang ia rasakan.
---
sebaliknya, Nyonya Lauren memanfaatkan kepergian Dante untuk melanjutkan rencananya. Ia mulai mengundang tamu-tamu terhormat ke rumah, termasuk Mia.
Nyonya Lauren tersenyum dingin kepada Amara, "Mia akan datang makan malam nanti. Pastikan kamu menyiapkan semuanya dengan baik. Ingat, Amara aku ingin kau yang menyiapkannya"
Amara menunduk, menahan gejolak emosi di dalam dirinya. Namun, ia tak menjawa, hanya mengangguk dan pergi melaksanakan tugasnya.
Malam itu, Amara mengawasi dari kejauhan Ketika Mia datang dengan gaun elegan, senyum Anggun menghiasi wajahnya. Mia tampak sempurna, sosok yang jelas diinginkan Nyonya Lauren untuk mendampingi Dante.
"Aku tak sabar bertemu dengan Dante saat dia pulang nanti." Kata Mia
Nyonya Lauren tersenyum puas. "Aku yakin Dante juga ingin bertemu denganmu juga, Mia. Dia hanya butuh sedikit waktu untuk menyadari apa yang terbaik untuknya."
Amara mendengar percakapan itu dari kejauhan. Hatinya mencelos, tetapi ia mencoba mengingatkan dirinya bahwa semua ini memang bagian dari rencananya untuk menjauh dari Dante.
---
Dante di Paris sana, masih berusaha keras untuk fokus pada pekerjaannya. Namun, pikirannya terus melayang ke rumah, ke Amara. Ia menghabiskan malam-malamnya di balkon apartemen, memandangi lampu-lampu kota yang gemerlap sambil memikirkan senyuman Amara.
Pada suatu malam, setelah rapat yang melelahkan, Dante memutuskan untuk menelepon Nico.
"Papa Dante! Aku kangen!" sapa Nico
Dante tersenyum. "Papa juga kangen kamu, Nico. Apa kamu baik-baik saja? Bagaimana dengan Ibu Mara?"
Nico berseri-seri, "Ibu Mara baik-baik saja. Dia selalu membacakan cerita untukku. Tapi, Papa, kenapa Ibu Mara selalu kelihatan sedih? Dia bilang tidak apa-apa, tapi aku tahu dia sedih."
Dante tertegun mendengar kata-kata itu. Ia menggenggam ponselnya erat-erat. "Ibu Mara sedih? Apa dia pernah cerita sesuatu?"
"Tidak, tapi aku lihat matanya seperti mau menangis, dia pikir aku tidak melihat."
Kata-kata Nico mengguncang Dante. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres, dan ia bertekad untuk segera pulang untuk mencari tahu.
--
Beberapa minggu kemudian, Dante kembali lebih awal dari yang direncanakan. Ia tiba di rumah Laurent tanpa memberi tahu siapa pun, membawa hanya satu koper kecil. Ia memasuki rumah dengan langkah tenang, berharap melihat Amara.
Ketika ia melewati ruang keluarga, ia melihat istrinya itu sedang duduk di lantai bersama Nico, membantu bocah itu menyusun puzzle. Hatinya mencair melihat pemandangan itu, tetapi ia juga merasakan sakit yang mendalam mengingat jarak yang kini memisahkan mereka.
Dante berdiri di ambang pintu, tidak ingin mengganggu. Namun, Nico menyadarinya lebih dulu.
"Papa Uncle!"
Amara menoleh dengan cepat,
Bersambung….