Dalam novel Janji Cinta di Usia Muda, Aira, seorang gadis sederhana dengan impian besar, mendapati hidupnya berubah drastis saat dijodohkan dengan Raka, pewaris keluarga kaya yang ambisius dan dingin. Pada awalnya, Aira merasa hubungan ini adalah pengekangan, sementara Raka melihatnya sebagai sekadar kewajiban untuk memenuhi ambisi keluarganya. Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan perasaan mereka berubah. Ketulusan hati Aira meluluhkan sikap keras Raka, sementara kehadiran Raka mulai memberikan rasa aman dalam hidup Aira.
Ending:
Di akhir cerita, Raka berhasil mengatasi ancaman yang membayangi mereka setelah pertarungan emosional yang menegangkan. Namun, ia menyadari bahwa satu-satunya cara untuk memberikan kebahagiaan sejati pada Aira adalah melepaskan semua kekayaan dan kuasa yang selama ini menjadi sumber konflik dalam hidupnya. Mereka memutuskan untuk hidup sederhana bersama, jauh dari ambisi dan dendam masa lalu, menemukan kebahagiaan dalam cinta yang tulus dan ketenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Keputusan Sulit
Aira berdiri di depan cermin kamarnya, menatap wajahnya yang pucat. Pikirannya berkecamuk, seolah setiap detik membawa beban yang semakin berat. Panggilan telepon misterius yang ia terima malam sebelumnya masih menghantui pikirannya. Kata-kata orang itu, “Jika kau tidak segera mengingat, aku akan membuatmu mengingat,” terus terngiang-ngiang, meninggalkan ketakutan yang dalam. Rasanya seperti hidupnya tergantung pada satu keputusan yang harus ia ambil—tetapi keputusan apa?
Di tengah kebingungannya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Adrian.
"Aira, aku dan Raka sedang menunggumu di taman. Kita perlu bicara."
Aira menghela napas panjang. Ia tahu, cepat atau lambat ia harus memberitahu Adrian dan Raka tentang ancaman yang terus menghantuinya. Tapi, ada rasa takut dalam dirinya. Bagaimana jika keterlibatan mereka justru memperburuk keadaan?
Dengan langkah berat, Aira menuju taman, di mana Adrian dan Raka sudah menunggunya. Wajah mereka terlihat cemas, terutama Adrian yang langsung berdiri ketika melihat Aira datang.
"Aira, kamu terlihat pucat. Apa yang terjadi?" Adrian bertanya dengan nada penuh perhatian.
Aira menunduk, mencari keberanian untuk mengungkapkan semuanya. "Aku... aku menerima telepon lagi dari orang itu, Adrian. Dia bilang aku harus mengingat, atau dia akan membuatku mengingat dengan caranya sendiri."
Raka mengernyitkan alisnya, menatap Aira dengan pandangan serius. "Aira, apa mungkin orang itu tahu sesuatu tentang masa lalumu yang selama ini kamu lupakan?"
"Aku tidak tahu, Raka. Semua ini terlalu rumit. Tapi aku merasa bahwa apa pun yang orang itu ketahui, ada sesuatu yang selama ini aku coba lupakan." Aira menggigit bibirnya, mencoba menahan gejolak emosinya. "Dan sekarang aku harus memilih—apakah aku akan mencari tahu, atau justru menjauhkan diri dari masa lalu itu."
Adrian menggenggam tangan Aira dengan lembut. "Aira, apa pun yang kamu putuskan, kami akan selalu ada di sini untukmu. Tapi kamu harus ingat, melarikan diri bukanlah jawaban."
Aira merasa hatinya tersentuh oleh dukungan dari Adrian dan Raka. Namun, perasaannya tetap bercampur aduk. Bagian dari dirinya ingin terus menggali kebenaran, tapi bagian lain merasa bahwa beberapa hal lebih baik dibiarkan terkubur.
"Aku hanya takut, Adrian... aku takut jika aku membuka semua ini, aku tidak akan pernah bisa kembali menjadi diriku yang sekarang," ucap Aira dengan suara bergetar.
Raka, yang sejak tadi mendengarkan dengan serius, menepuk bahu Aira dengan lembut. "Aira, kadang kita harus mengambil risiko untuk menemukan kedamaian sejati. Jika kamu tidak menghadapi ini sekarang, mungkin rasa takut itu akan selalu menghantuimu."
Aira terdiam, mencoba mencerna kata-kata Raka. Ia tahu ada kebenaran dalam ucapan itu. Rasa takut ini mungkin tak akan pernah hilang jika ia tidak berani menatapnya langsung.
---
Malam itu, setelah berpikir panjang, Aira akhirnya memutuskan untuk menemui orang misterius yang terus menghantuinya. Dengan hati berdebar, ia menuju tempat yang dijanjikan, sebuah bangunan tua yang terlihat menyeramkan di bawah sinar bulan yang redup.
Saat tiba di sana, seorang pria berusia sekitar empat puluhan menunggunya di ujung ruangan. Tatapannya tajam dan penuh misteri.
"Akhirnya kamu datang, Aira," pria itu berbicara dengan nada yang tenang namun penuh ancaman.
"Siapa kamu? Kenapa kamu terus mengganggu hidupku?" Aira bertanya dengan suara bergetar, meski berusaha terlihat tegar.
Pria itu tersenyum tipis, seolah puas melihat ketakutan Aira. "Aku hanya seseorang yang tahu tentang masa lalumu. Masa lalu yang selama ini kamu tutupi, bahkan dari dirimu sendiri."
"Aku tidak mengerti. Apa maksudmu?" Aira mencoba mempertahankan ketenangannya.
Pria itu mendekat, tatapannya semakin menusuk. "Apakah kamu ingat sesuatu yang pernah terjadi dalam hidupmu, sesuatu yang begitu menyakitkan sehingga kamu memilih untuk melupakannya?"
Aira merasa napasnya semakin berat. Ingatan-ingatan samar mulai muncul, namun setiap kali ia mencoba meraihnya, ingatan itu menghilang seperti bayangan. "Aku... aku tidak ingat apa-apa," jawabnya dengan suara lirih.
Pria itu terkekeh, lalu berkata, "Kamu memang tidak akan bisa mengingat, karena ingatan itu terkubur dalam-dalam. Tapi ingatlah, Aira, kebenaran akan selalu menemukan jalannya kembali. Kamu tidak bisa terus bersembunyi."
Aira merasa terjebak, seolah tidak ada jalan keluar dari tekanan yang diberikan pria itu. "Apa yang kamu inginkan dariku?"
"Aku hanya ingin kamu mengingat, Aira. Mengingat siapa dirimu yang sebenarnya."
Setelah mengucapkan kalimat itu, pria tersebut pergi begitu saja, meninggalkan Aira yang berdiri terpaku dengan hati penuh ketakutan dan kebingungan.
---
Aira pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk. Kata-kata pria itu terus terngiang di telinganya, membuatnya merasakan ketegangan yang semakin sulit ia kendalikan. Malam itu, ia tidak bisa tidur. Pikirannya terus mengembara, berusaha memahami potongan-potongan ingatan yang mulai muncul.
Pagi harinya, Aira bertemu dengan Adrian dan Raka di sekolah. Wajahnya tampak lelah, namun ia tahu bahwa ia harus menceritakan apa yang terjadi.
"Aku bertemu dengan orang itu tadi malam," Aira memulai dengan suara pelan.
Adrian dan Raka saling pandang, wajah mereka menampilkan keterkejutan sekaligus kekhawatiran.
"Apa yang dia katakan?" tanya Raka, mencondongkan tubuhnya untuk mendengar lebih jelas.
Aira menggigit bibirnya, mencoba mengumpulkan keberanian. "Dia bilang aku memiliki masa lalu yang telah aku lupakan. Dan... katanya aku tidak bisa terus menghindarinya."
Adrian menghela napas panjang, lalu menggenggam tangan Aira. "Jadi, apa yang akan kamu lakukan, Aira? Kamu akan membiarkan rasa takut itu mengendalikan hidupmu, atau kamu akan menghadapi kenyataan?"
Aira terdiam. Ia tahu bahwa pilihan ini bukan hanya tentang masa lalu, tapi juga tentang masa depannya. Dengan penuh keraguan, ia mengangguk pelan.
"Aku akan mencoba mencari tahu kebenaran, apa pun itu."
Namun, jauh di dalam hatinya, Aira masih merasa takut. Ia tahu bahwa keputusan ini akan membawanya ke jalan yang penuh ketidakpastian, dan mungkin, banyak luka yang akan terbuka kembali. Tetapi ia juga sadar, ini adalah satu-satunya cara untuk menemukan kedamaian dalam hidupnya.
---
Di ujung hari itu, saat Aira berjalan pulang, sebuah mobil hitam melintas perlahan di depannya. Jendela mobil terbuka, dan pria misterius itu menatapnya dengan tatapan dingin.
"Ingat, Aira. Kamu tidak punya banyak waktu. Pilihanmu sekarang menentukan segalanya."
Mobil itu melaju pergi, meninggalkan Aira yang berdiri dengan tubuh gemetar. Keputusan telah diambil, tapi bayangan kebenaran yang menunggu di hadapannya mulai menakutkan. Aira tahu, perjalanan mencari kebenaran ini baru saja dimulai.