Istri mana yang tak bahagia bila suaminya naik jabatan. Semula hidup pas-pasan, tiba-tiba punya segalanya. Namun, itu semua tak berarti bagi Jihan. Kerja keras Fahmi, yang mengangkat derajat keluarga justru melenyapkan kebahagiaan Jihan. Suami setia akhirnya mendua, ibu mertua penyayang pun berubah kasar dan selalu mencacinya. Lelah dengan keadaan yang tiada henti menusuk hatinya dari berbagai arah, Jihan akhirnya memilih mundur dari pernikahan yang telah ia bangun selama lebih 6 tahun bersama Fahmi.
Menjadi janda beranak satu tak menyurutkan semangat Jihan menjalani hidup, apapun dia lakukan demi membahagiakan putra semata wayangnya. Kehadiran Aidan, seorang dokter anak, kembali menyinari ruang di hati Jihan yang telah lama redup. Namun, saat itu pula wanita masa lalu Aidan hadir bersamaan dengan mantan suami Jihan.
Lantas, apakah tujuan Fahmi hadir kembali dalam kehidupan Jihan? Dan siapakah wanita masa lalu Aidan? Akankah Jihan dapat meraih kembali kebahagiaannya yang hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31~ SABAR AI
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam ketika mobil Aidan baru saja terparkir di depan kontrakan Jihan.
Dafa sudah tidur di pangkuan bundanya, mungkin anak itu kelelahan. Dari taman mereka singgah sholat Maghrib sebentar lalu lanjut mencari restoran dan makan malam bersama. Setelah Isya lanjut keliling menikmati suasana malam jalanan ibu kota.
"Biar aku saja," cegah Aidan ketika Jihan hendak turun menggendong Dafa. Ia bergegas keluar lalu membuka pintu tepat dibagian Dafa.
Setelah Aidan menggendong Dafa keluar dari mobil, Jihan pun bergegas turun dan membuka pintu kontrakannya.
Aidan langsung menuju kamar dan membaringkan Dafa di tempat tidur. Setelah menyelimuti anak itu, ia mengecup keningnya lalu keluar menemui Jihan yang menunggu di ruang tengah.
"Terima kasih, Mas, dan maaf sudah dibikin repot."
"Gak apa-apa, lagian nantinya aku juga bakal sering melakukan ini." Aidan tersenyum, setelah menikahi Jihan nanti ia akan mempunyai kebiasaan baru, menggendong Dafa bila anak itu tertidur.
"Boleh kita ngobrol sebentar? Diluar saja."
Jihan mengangguk pelan lalu mengikuti Aidan yang sudah lebih dulu keluar, mereka duduk lesehan di teras yang berlantai keramik itu.
"Terima kasih atas jawaban kamu," ucap Aidan memulai pembicaraan. "Asal kamu tahu, aku sangat senang." Lanjutnya, senyum tak pernah lepas menghiasi wajahnya.
Jihan hanya membalas dengan senyuman dan mengangguk. Tak tahu harus mengatakan apa.
"Jika pertemuan kita ini adalah takdir Allah, maka kamu adalah do'aku yang telah menjadi nyata. Aku yakin, jika dua insan telah ditakdirkan untuk bersama, maka dari sudut bumi manapun mereka berasal pasti lah akan dipertemukan." kata Aidan.
"Kenapa Mas Aidan bisa seyakin itu terhadapku?" tanya Jihan.
"Kamu tahu?" Aidan menoleh sebentar menatap Jihan lalu melempar tatapan lurus ke depan. "Aku pernah menyelipkan sebuah doa' dalam istikharah ku. Jika dia baik untukku, untuk agamaku, untuk masa depanku, untuk keluargaku, untuk dunia dan akhiratku, maka dekatkanlah. Jika tidak, maka jauhkanlah. Dan kamu tahu apa yang terjadi setelah itu? Aku merasa semakin terpaut denganmu."
"Meskipun, aku adalah wanita yang sudah pernah menikah sebelumnya?"
Aidan mendongak ke langit, menatap bintang-bintang yang bergemerlapan diatas sana.
"Terkadang, kita memang akan dipertemukan pada orang yang salah lebih dulu sebelum bertemu dengan orang yang tepat." Sebelah tangannya terkepal erat tanpa dilihat oleh Jihan, senyumnya pun perlahan pudar dan sorot matanya sedikit tajam. Seolah diatas sana ia sedang melihat seseorang yang sangat dibencinya.
Menghela nafas, ia menunduk dan memejamkan mata dalam beberapa detik kemudian kembali menatap Jihan. "Jadi, bagaimana?" tanyanya.
Jihan mengerutkan keningnya, tampak bingung. "Bagaimana apanya?" tanyanya balik.
"Rencana pernikahan? Bukankah kamu sudah menerima aku?"
Jihan kehilangan kata dalam beberapa saat. Sudah menerima niat baik Aidan bukan berarti ia juga sudah siap untuk menikah dalam waktu dekat. "Em, aku rasa tidak perlu terlalu terburu-buru, Mas." ucapnya lirih.
"Gak terlalu terburu-buru, kok. Dalam waktu 1 bulan aku rasa itu sudah sangat cukup untuk mempersiapkan semuanya."
"Hah?" Jihan tercengang. Waktu satu bulan memang cukup untuk mengatur persiapan pernikahan, tapi tidak dengan mempersiapkan hatinya. Untuk memulai hidup baru tentu ia harus mempunyai kesiapan hati yang matang.
"Kenapa?"
Jihan menggeleng. "Gak apa-apa," ucapnya. Ia ingin mengatakan jika waktu satu bulan itu masih terlalu cepat, tapi lidahnya terasa berat untuk mengatakannya. Aidan pasti kecewa.
"Baiklah, pulang nanti aku akan langsung bicarakan pada orangtuaku untuk segera mengatur segalanya."
Lagi, Jihan hanya menanggapinya dengan senyuman. Tak tahu harus mengatakan apalagi. Aidan terlihat sangat senang, dan ia tidak tega untuk membuatnya kecewa.
"Oh ya, apa ada keluarga kamu yang bisa kami temui sebelum mengatur rencana pernikahan?"
Ekspresi wajah Jihan seketika berubah. Ia sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain ayahnya yang entah dimana keberadaannya sekarang.
"Ibuku sudah meninggal, dan Ayahku
tidak tahu dimana dia sekarang. Kami hilang kontak saat Dafa berusia 1 tahun." Jihan menunduk, tak mungkin ia ceritakan soal ayahnya yang dulu pergi meninggalkan ibunya yang sedang sakit-sakitan karena lebih memilih seorang janda kaya. Bahkan ia juga tidak tahu apakah sekarang ayahnya masih hidup atau tidak.
"Baiklah, nanti kamu bisa pakai wali hakim saja." Meski ingin sekali tahu apa penyebab kepergian ayahnya Jihan yang hingga sekarang tanpa kabar, Aidan menahan rasa keingintahuannya itu demi menjaga perasaan calon istrinya.
"Sudah cukup larut, kalau begitu aku pamit ya."
"Iya, Mas. Hati-hati di jalan," ucap Jihan.
Aidan beranjak dari tempat duduknya dengan gerakan pelan, rasanya tak rela pulang. Dalam hati berharap Jihan menahannya untuk tinggal sebentar lagi, tapi ia tahu itu tidak mungkin terjadi.
"Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam."
Setelah berada di dalam mobil, Aidan tak langsung menjalankan mobilnya. Ia tersenyum dibalik pintu yang tertutup, menatap Jihan yang masih duduk di teras.
"Duh, kenapa aku bilangnya tadi 1 bulan sih? Harusnya kan 1 Minggu, atau kalau enggak 1 hari aja dan kalau perlu malam ini juga dia langsung aku bawa pulang."
Lagi, ia mengelus dada. "Sabar Ai."
Jihan pun masuk setelah mobil Aidan tak terlihat lagi. Mengunci pintu dan langsung menuju kamar, sejenak berdiri di ambang pintu memperhatikan putranya yang tertidur, saking nyenyaknya sampai tak merasakan saat Aidan menggendongnya sampai kamar.
"Kamu beruntung, Nak. Saat Ayah kamu sendiri tak peduli lagi, masih ada orang lain yang menyayangi kamu dengan tulus."
jangan seneng dulu ya Bu iren karena perangkap istri yang tersakiti itu lebih mengerikan 😏😏😏
pasti Jihan mau melakukan tes DNA secara diam-diam karena kalo secara langsung pasti tu ulat akan curiga..ya kan Jihan