Di Bawah Umur Harap Minggir!
*****
Salahkah bila seorang istri memiliki gairah? Salahkah seorang istri berharap dipuaskan oleh suaminya?
Mengapa lelaki begitu egois tidak pernah memikirkan bahwa wanita juga butuh kepuasan batin?
Lina memiliki suami yang royal, puluhan juta selalu masuk ke rekening setiap bulan. Hadiah mewah dan mahal kerap didapatkan. Namun, kepuasan batin tidak pernah Lina dapatkan dari Rudi selama pernikahan.
Suaminya hanya memikirkan pekerjaan sampai membuat istrinya kesepian. Tidak pernah suaminya tahu jika istrinya terpaksa menggunakan alat mainan demi mencapai kepuasan.
Lambat laun kecurigaan muncul, Lina penasaran kenapa suaminya jarang mau berhubungan suami istri. Ditambah lagi dengan misteri pembalut yang cepat habis. Ia pernah menemukan pembalutnya ada di dalam tas Rudi.
Sebenarnya, untuk apa Rudi membawa pembalut di dalam tasnya? Apa yang salah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Makan Malam Bersama
Trian memandangi ponselnya dengan perasaan gelisah. Sudah setengah jam ia menunggu di rumah Lina, namun Dara belum juga pulang. Semua pesan yang ia kirimkan belum terbaca. Ponsel Dara sepertinya dimatikan. Ia terancam tidak akan bisa masuk rumah semalaman.
"Bagaimana, Dara sudah bisa dihubungi?" tanya Lina penasaran. Ia juga sejak tadi canggung harus mengobrol dengan orang yang sudah lama tak dijumpai.
Trian menggeleng. "Dia kalau seperti ini biasanya tidak akan pulang karena kerjaan," ucapnya.
"Lah, kalau dia tidak pulang, lalu kamu bagaimana? Kuncinya kan dibawa Dara?" Lina terkejut. Suaminya juga sering tidak pulang ke rumah, tapi setidaknya pasti selalu memberikan kabar.
Trian mengangkat kedua bahunya. "Entahlah, mungkin aku tidur di hotel saja malam ini," katanya.
"Suamiku juga tadi baru mengabari kalau sepertinya dia tidak akan pulang karena ada rapat mendadak di luar kota," ucap Lina tak bersemangat. Rudi bukan hanya telat pulang, tapi tidak akan pulang. Tepat seperti prediksinya.
"Memangnya suamimu kerja sebagai apa?" tanya Trian penasaran.
"Asisten manajer di perusahaan XYZ," jawab Lina.
"Oh, perusahaan itu ...." Trian manggut-manggut karena tahu nama perusahaan yang disebutkan Lina.
"Kalau kamu dan Dara kerja dimana?" tanya Lina.
"Aku di perusahaan ABC, kalau Dara di perusahaan XXX," jawab Trian.
"Enak ya, kalian bisa bekerja semua, jadi punya kesibukkan," ujar Lina. Ia membayangkan kembali masa-masa dirinya masih bekerja, bisa berpenampilan rapi, bertemu rekan kerja, juga punya penghasilan sendiri.
"Tapi, menurutku kalau berumah tangga memang baiknya istri di rumah saja. Mengurus rumah, mengurus suami, dan anak. Jadi, kalau suami pulang tidak bingung mau makan apa karena ada yang menyiapkan di rumah," kata Trian.
"Itu kalau suaminya punya jadwal pulang teratur. Kalau seperti aku, beda lagi ceritanya. Sudah repot-repot masak, menunggu lama, ternyata suami tidak pulang. Mana di rumah sendirian, sepi ...." tepis Lina.
Trian tersenyum. "Kalau nanti kamu bekerja, rasanya juga sama, tidak enak. Melelahkan dan membosankan. Jadi, semuanya sama saja lelahnya."
Lina mencuri-curi pandang ke arah Trian. Meskipun sudah sepuluh tahun berlalu, wajahnya tetap saja menawan. Ia senang bisa kembali bertemu dengannya meskipun statusnya sudah berbeda.
Ia masih bertanya-tanya kenapa lelaki itu dulu meninggalkannya. Membuat ia merasa dirinya memang tak pantas untuk siapapun. Ia hanyalah seorang wanita dari keluarga pas-pasan. Bisa menikah dengan Rudi saja merupakan sebuah keberuntungan baginya. Ia kira setelah berpisah dengan Trian, tak akan ada lagi lelaki yang mau mendekatinya.
"Kenapa, Lina?" tanya Trian.
Buru-buru Lina mengalihkan pandangannya ke arah lain saat Trian melirik ke arahnya.
"Ah, tidak apa-apa," kilahnya sembari tersenyum kikuk.
"Selama sepuluh tahun ini apa saja yang sudah kamu lakukan?" tanya Trian.
Lina terdiam sejenak. Andai saja bisa mengungkapkan, ia ingin mengatakan jika selama ini ia sibuk menangisi perpisahannya dengan Trian. Setiap kali teringat tentang lelaki itu, Lina selalu menangis. Ia tak bisa menjalani kehidupannya dengan baik. Ia membenci Trian namun juga merindukannya.
Saat dia kuliah, pikirannya masih dipenuhi oleh Trian. Jika saja dia tak memaksakan diri untuk fokus, kuliahnya akan berantakan dan beasiswanya bisa dicabut. Ia menyibukkan diri dengan belajar dan mencari pekerjaan sampingan.
Cara itu cukup berhasil hingga akhirnya ia bisa lulus dan diterima bekerja di perusahaan dengan gaji lumayan. Saat dia mulai dekat dengan Rudi, di situlah hatinya mulai terobati. Ia mulai bisa membuka diri untuk lelaki lain.
Apalagi Rudi tipe lelaki yang perhatian dan penyayang. Sebelum mereka menikah saja Rudi sudah sering memberinya uang, juga membantu masalah ekonomi keluarganya. Rudi memperlakukannya dengan sangat baik seperti seorang putri. Karena itulah ia memutuskan untuk menikah dengan lelaki itu.
"Aku? Tentu saja aku kuliah, terus bekerja, pacaran, lalu menikah," jawab Lina sekenanya.
"Kamu tidak mencariku?"
Lina terkejut mendengarnya. Ia ingin tertawa dengan pertanyaan sekonyol itu.
"Apa perlu aku mencari orang yang sudah mencampakan aku? Itu konyol!" sindirnya.
"Oh, aku kira kamu mencariku. Siapa tahu kamu masih ada rasa kepadaku."
"Apa aku terlihat seperti itu?"
Lina memutar malas kedua bola matanya. Trian terlalu percaya diri dan mengganggap dirinya paling penting. Ia akan menunjukkan bahwa dirinya akan baik-baik saja tanpa lelaki itu.
"Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu. Untuk apa dibahas lagi. Toh kita sudah sama-sama bahagia dengan pilihan hidup kita."
Trian terdiam. Ada kekecewaan yang ia rasakan. Kata-kata kebahagiaan baginya adalah sesuatu yang semu. Dia bahkan tak pernah merasakannya selama pernikahan. Ia merasa iri dengan Lina yang terlihat bahagia dengan pernikahannya.
"Kamu bahagia dengan pilihanmu, ya?" tanya Trian dengan nada suara yang lemah.
Lina mengerutkan dahi tak paham maksud pertanyaan itu. "Tentu saja aku bahagia. Keluarga kami juga sangat merestui pernikahan kami."
Trian merasa tersindir. Dulu, hubungan mereka harus berakhir karena orang tuanya yang tidak setuju. Ia sampai harus menyembunyikan hubungan mereka meskipun akhirnya ketahuan dan disuruh putus.
"Rudi lelaki yang sangat bertanggung jawab. Dia mempercayakan semua penghasilannya kepadaku. Dia tak pernah melarangku untuk berbagi dengan keluargaku. Dia juga memintaku berhenti kerja agar aku tidak lelah, cukup menjadi istri yang duduk manis di rumah. Wanita mana yang tidak akan bahagia memiliki suami seperti itu?"
Lina seakan sedang memamerkan kebaikan suaminya. Berkali-kali hati Trian terasa tertusuk. Sakit.
Sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba terdengar suara perut Trian yang cukup keras terdengar. Mereka seketika terdiam dan canggung. Apalagi Trian yang tampak menahan malu gara-gara suara perutnya.
Trian memang hanya sempat membeli sarapan saat di kantor. Jadwal yang padat membuatnya kehilangan waktu untuk makan siang. Saat pulang, rumahnya masih dalam kondisi terkunci.
"Apa kamu mau makan?" tanya Lina mempersilakan.
"Ah, tidak perlu! Aku jadi malu merepotkanmu seperti ini," kata Trian.
"Tidak apa-apa. Aku membuat cukup banyak makanan. Tapi, seperti yang kamu tahu, Rudi tidak pulang malam ini. Sayang kalau makanannya basi. Aku juga akan senang kalau ada teman makan," bujuk Lina.
Dengan perasan segan, Trian akhirnya mengiyakan ajakan Lina. Ia mengikuti wanita itu menuju ke arah ruang makan.
Benar saja, di sana sudah terhidang lauk pauk yang cukup beragam. Jauh berbeda dengan kondisi di rumahnya yang tidak pernah ada makanan.
Ya, Dara tidak pernah memasak. Trian selalu sarapan di luar. Sepulang kerja, Dara juga tidak akan menyiapkan makanan. Ia akan memasak sendiri makanannya. Jika sedang malas, ia sering memasak mie instan atau bahkan membeli makanan di luar.
"Apa segini cukup?" tanya Lina. Ia membantu mengambilkan nasi untuk Trian.
"Iya, cukup," jawab Trian.