Cerita ini mengikuti kehidupan Keisha, seorang remaja Gen Z yang sedang menghadapi berbagai tantangan dalam hidupnya. Ia terjebak di antara cinta, persahabatan, dan harapan keluarganya untuk masa depan yang lebih baik. Dengan karakter yang relatable dan situasi yang sering dihadapi oleh generasi muda saat ini, kisah ini menggambarkan perjalanan Keisha dalam menemukan jati diri dan pilihan hidup yang akan membentuk masa depannya. Ditemani sahabatnya, Naya, dan dua cowok yang terlibat dalam hidupnya, Bimo dan Dimas, Keisha harus berjuang untuk menemukan kebahagiaan sejati di tengah kebisingan dunia modern yang dipenuhi tekanan dari berbagai sisi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sasyaaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanda Tanya di Ujung Jalan
Hari-hari berlalu, dan Keisha berusaha untuk mengalihkan perhatian dari ketegangan yang terjadi antara Raka dan Andi. Dia kembali fokus pada proyek seni yang sedang dikerjakan dan bertekad untuk menjadikan karya itu sempurna. Namun, di dalam hati, rasa cemas tentang kehadiran Andi terus mengganggu pikirannya.
Suatu malam, saat Keisha sedang duduk di meja belajarnya, Raka mengirim pesan.
Raka: “Hey, kita bisa ketemu? Aku ingin berbicara tentang proyek seni kamu.”
Keisha membalas cepat, merasa senang.
Keisha: “Tentu! Kapan?”
Raka: “Bisa malam ini? Di kafe kita yang biasa.”
Setelah menyetujui, Keisha bergegas bersiap-siap. Kafe tersebut tidak jauh dari rumah mereka, dan suasananya selalu nyaman untuk berbincang.
Saat Keisha tiba, Raka sudah menunggu di meja pojok. “Keisha! Senang melihatmu,” katanya dengan senyum lebar.
“Raka! Aku juga senang bisa bertemu,” balas Keisha, merasa semangat. “Aku sudah menyiapkan beberapa sketsa untuk proyek seni itu.”
“Bagus! Aku ingin melihatnya,” Raka menjawab, terlihat antusias. “Tapi sebelumnya, kita perlu bicara tentang Andi.”
Keisha merasa jantungnya berdebar. “Andi lagi? Raka, kita sudah membahas ini. Aku tidak ingin membiarkan bayang-bayangnya mengganggu kita.”
Raka menghela napas, mengusap tengkuknya. “Aku tahu, tapi aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Andi terus mencari cara untuk mendekatimu.”
“Dia hanya ingin mendukung proyekku. Itu saja,” Keisha membela diri.
Raka menatapnya tajam. “Keisha, kita berdua tahu Andi tidak hanya itu. Dia masih menyukaimu, dan aku tidak yakin bisa berdiam diri melihatnya berusaha mendekat.”
“Raka, kamu tahu aku sudah memilihmu. Kenapa kamu masih merasa cemburu?” Keisha berusaha meyakinkannya.
Raka merapatkan bibirnya. “Karena cinta itu terkadang tidak cukup, Keisha. Aku butuh kepastian dari kamu.”
“Apa yang kamu butuhkan dari aku?” tanya Keisha, merasa frustrasi.
“Cinta. Kesetiaan. Aku ingin tahu kamu hanya untukku,” jawab Raka tegas.
“Raka, aku berjanji. Aku tidak akan membiarkan Andi mengganggu hubungan kita. Tapi, kau harus percaya padaku,” Keisha menjelaskan dengan lembut.
“Baiklah, aku akan mencoba. Tapi jika ada sesuatu yang tidak beres, aku ingin kamu jujur padaku,” Raka berkata, nada suaranya mulai melunak.
Keisha tersenyum. “Aku akan selalu jujur padamu. Ayo, lihat sketsaku!” Dia mengeluarkan buku sketsa dan menunjukkan beberapa gambar.
“Wow, ini luar biasa! Kamu benar-benar berbakat,” puji Raka, matanya berbinar.
“Terima kasih! Aku sangat bersemangat untuk pameran ini. Ini kesempatan besar bagiku,” Keisha berkata, merasa lebih tenang saat melihat dukungan Raka.
Setelah berbincang-bincang, Keisha bertanya, “Raka, jika kita harus menghadapi Andi bersama-sama, apa yang akan kamu lakukan?”
Raka berpikir sejenak. “Aku akan bersikap baik, tetapi tegas. Aku tidak akan membiarkan dia merusak hubungan kita.”
“Dan aku akan memastikan dia tahu betapa berartinya kamu bagiku,” Keisha menambahkan, berharap bisa memperkuat kepercayaan di antara mereka.
Ketika mereka sedang berbincang, tiba-tiba Andi masuk ke kafe. Keisha merasa darahnya berdesir, sementara Raka menatap Andi dengan intens.
“Eh, kalian berdua! Senang melihat kalian di sini,” Andi menyapa dengan senyum lebar.
“Hi, Andi!” Keisha berusaha terdengar ceria meskipun hatinya berdebar. “Kau datang sendiri?”
“Ya, aku baru saja selesai dari pertemuan dengan teman-teman. Kebetulan lihat kalian,” Andi menjawab, menatap Raka.
Raka membalas tatapan Andi dengan ketidaknyamanan. “Kami sedang membahas proyek seni Keisha,” katanya, berusaha menjaga suasana.
“Oh, itu luar biasa! Keisha, aku ingin tahu lebih banyak tentang karyamu,” Andi berkata, duduk di meja mereka tanpa diminta.
“Terima kasih, Andi. Ini adalah proyek yang sangat berarti bagiku,” Keisha menjawab, tetapi merasa sedikit tertekan dengan kehadiran Andi.
Raka merasakan ketegangan di antara mereka dan mencoba mengalihkan perhatian. “Jadi, Andi, bagaimana kabar pameran seni yang kamu selenggarakan?” tanyanya, berusaha membuat percakapan tetap mengalir.
“Pameran itu berjalan dengan baik. Banyak orang yang datang, dan aku mendapatkan beberapa tawaran kolaborasi,” Andi menjawab, terlihat bangga.
“Wow, hebat! Selamat, Andi,” Keisha berkata, meski hatinya sedikit ragu.
“Aku harap kalian bisa datang di pameranku berikutnya,” Andi menambahkan, matanya bersinar penuh harapan.
Raka melirik Keisha, merasa was-was. “Kami akan mempertimbangkan,” jawabnya tegas. “Kami punya banyak rencana yang harus dijalani.”
Keisha menyadari nada suara Raka dan segera mencoba mendinginkan suasana. “Kami juga sangat senang melihat perkembangan karyamu, Andi. Mungkin kami bisa berkolaborasi suatu saat nanti,” ujarnya, berharap bisa menciptakan suasana yang lebih baik.
“Kolaborasi? Itu ide yang menarik!” Andi berkata, terlihat antusias. “Kita bisa mendiskusikan tema dan konsepnya.”
“Ya, tentu saja,” Raka menjawab, tetapi suaranya terdengar skeptis. “Tapi kita juga harus fokus pada prioritas kita masing-masing.”
Keisha merasakan ketegangan itu kembali, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan. “Ngomong-ngomong, Andi, siapa yang akan datang ke pameran seni itu? Apakah teman-teman kita juga diundang?”
“Oh, pasti. Aku sudah mengundang banyak orang. Semoga kalian bisa datang,” Andi menjawab, senyum tidak lepas dari wajahnya.
Raka mengangguk, tetapi hatinya merasa semakin berat. “Kita akan lihat,” ujarnya singkat.
Setelah beberapa saat berbincang, Andi meminta diri. “Aku harus pergi sekarang. Senang bisa berbincang dengan kalian!” katanya, lalu melangkah pergi.
Begitu Andi pergi, Raka menatap Keisha. “Kau tahu kan, dia hanya ingin memisahkan kita?” tanyanya, emosinya kembali memuncak.
“Raka, tidak ada yang bisa memisahkan kita jika kita saling percaya,” Keisha menjawab, berusaha menenangkan situasi.
“Tapi dia terus berusaha mendekatimu! Bagaimana jika dia mencoba merusak hubungan kita?” Raka mengeluh, merasa frustrasi.
“Dia tidak akan bisa, Raka. Kita sudah berjuang untuk ini. Jangan biarkan Andi merusak apa yang sudah kita bangun,” Keisha berkata, berusaha meyakinkan Raka.
“Aku ingin percaya padamu, Keisha. Tapi saat melihat Andi, semua rasa cemburu itu muncul,” Raka mengakui, suaranya mereda.
Keisha menggapai tangan Raka, “Kita bisa melewati ini bersama. Mari kita fokus pada kita, bukan pada Andi.”
Raka menghela napas dalam-dalam, merasakan ketegangan di antara mereka mulai mereda. “Baiklah, aku akan berusaha lebih baik. Tapi kita harus terus saling terbuka.”
Hari pameran seni yang dinanti akhirnya tiba. Keisha bangun dengan semangat yang berapi-api, mengenakan gaun favoritnya dan merapikan rambutnya. Dia tahu ini adalah kesempatan besar untuk menunjukkan karyanya kepada dunia. Namun, di balik semangatnya, rasa cemas tentang kehadiran Andi dan reaksi Raka masih membayangi pikirannya.
Saat sampai di lokasi pameran, suasana sudah ramai. Banyak teman-teman dan pengunjung berdatangan. Keisha dan Raka memasuki galeri, yang dihiasi dengan berbagai karya seni. “Wow, lihat semua orang di sini!” seru Raka, matanya bersinar.
“Iya, luar biasa! Aku tidak sabar untuk melihat reaksi mereka terhadap karyaku,” jawab Keisha, jantungnya berdegup kencang.
Setelah berkeliling sejenak, Andi muncul, mengenakan setelan rapi. “Keisha! Senang melihatmu di sini!” sapanya dengan senyuman lebar.
“Hi, Andi. Kamu terlihat hebat!” Keisha membalas, berusaha menjaga nada suaranya tetap ceria.
Raka menahan diri, mengamati interaksi mereka dengan cermat. “Hai, Andi. Selamat atas pameran ini,” kata Raka, mencoba tetap sopan meskipun wajahnya menunjukkan ketegangan.
“Terima kasih, Raka! Kalian harus lihat karyaku di sudut sana,” Andi menunjukkan arah sambil tersenyum.
Keisha merasa sedikit tertekan, tetapi dia tidak ingin terlihat lemah di depan Raka. “Ayo, kita lihat karya Andi!” katanya, melangkah maju dengan percaya diri.
Saat mereka mendekati karya Andi, Keisha bisa merasakan tatapan Raka yang penuh rasa cemburu. “Karyamu bagus sekali, Andi! Apa inspirasi di baliknya?” tanya Keisha, mencoba untuk bersikap positif.
“Terima kasih! Inspirasi utamaku adalah kebebasan dan penemuan diri. Aku ingin orang-orang merasa terhubung dengan karyaku,” Andi menjelaskan, terlihat bangga.
Raka mencatat setiap kata yang keluar dari mulut Andi dengan cermat. “Itu menarik. Tetapi apakah kamu juga mempertimbangkan untuk menggali tema lain di pameran berikutnya?” tanya Raka, nada suaranya agak menantang.
Andi tidak kehilangan momentum. “Tentu saja. Mungkin aku bisa berkolaborasi dengan Keisha,” jawabnya, menatap Keisha dengan penuh harapan.
“Kolaborasi? Itu bisa jadi menarik,” Keisha menjawab, tetapi dia bisa merasakan ketegangan di antara Raka dan Andi.
“Kolaborasi mungkin bagus, tapi kita perlu fokus pada karya masing-masing,” Raka mengingatkan, suaranya tegas.
Keisha merasakan ketidaknyamanan di udara dan berusaha untuk meredakannya. “Sementara itu, mari kita nikmati pameran ini. Ada banyak karya lain yang bisa kita lihat!” ajaknya, berusaha mengalihkan perhatian.
Setelah berkeliling, mereka berhenti di depan karya Keisha yang dipajang dengan indah. “Ini dia, karyaku! Judulnya ‘Harapan di Ujung Jalan’,” Keisha berkata bangga.
Pengunjung lain mulai menghampiri, dan Keisha merasa gugup ketika mereka mulai berkomentar. “Karya ini penuh emosi! Bagaimana proses pembuatannya?” salah satu pengunjung bertanya.
“Terima kasih! Saya terinspirasi oleh perjalanan hidup dan harapan untuk masa depan,” Keisha menjawab, merasakan semangatnya bangkit kembali.
Raka berdiri di sampingnya, memberikan dukungan. “Dia telah bekerja keras untuk ini. Semua sketsa dan ide telah dicurahkan dalam karya ini,” ujarnya, dengan bangga menambahkan.
Ketika mereka berbincang, Andi mendekat lagi. “Karya ini benar-benar mengesankan, Keisha. Kamu memiliki bakat yang luar biasa,” katanya dengan tulus, tetapi Keisha bisa melihat tatapan cemburu di mata Raka.
“Terima kasih, Andi. Komentarmu berarti banyak,” balas Keisha, tetapi tidak bisa mengabaikan ketegangan yang terbangun antara kedua pria itu.
Raka, yang sudah tidak sabar, berkomentar, “Kami akan membahas ini lebih dalam setelah pameran. Keisha memiliki banyak rencana untuk proyek berikutnya.”
Andi mengangguk, tetapi ada nada tajam di suaranya. “Tentu saja. Aku hanya berharap kita semua bisa saling mendukung.”
Setelah beberapa waktu, Raka menggandeng tangan Keisha. “Ayo, kita cari tempat lebih tenang untuk berbincang,” ajaknya, menarik Keisha menjauh dari keramaian.
Saat mereka duduk di sudut kafe dekat galeri, Keisha merasakan suasana mulai tenang. “Raka, aku ingin berbicara tentang Andi. Dia…,” Keisha mulai, tetapi Raka memotong.
“Aku tidak ingin mendengarnya, Keisha! Dia akan terus berusaha memisahkan kita. Aku merasa dia tidak akan pernah berhenti,” Raka berkata, nada suaranya semakin tinggi.
“Raka, itu tidak benar! Andi hanya berusaha mendukung. Dia bukan musuh kita,” Keisha berusaha meyakinkan.
“Bagaimana kamu bisa yakin? Setiap kali dia muncul, semuanya menjadi tegang. Aku tidak suka melihat kalian berdua bersama,” Raka mengeluh, berusaha menahan emosi.
Keisha menarik napas panjang. “Aku juga tidak nyaman, Raka. Tapi kita harus menyelesaikan ini dengan baik. Mari kita buktikan bahwa kita bisa lebih kuat daripada itu.”
“Keisha, aku mencintaimu, tapi setiap kali aku melihat Andi, aku merasa seperti aku akan kehilanganmu,” Raka berkata, suaranya melembut.
“Jangan berpikir seperti itu! Kamu tidak akan kehilangan aku. Kita bisa bersama menghadapi ini,” Keisha meyakinkan, meraih tangan Raka.
Raka menatapnya dalam-dalam, dan dia merasakan ketulusan dalam pandangan Keisha. “Aku hanya ingin kamu bahagia, Keisha. Dan jika itu berarti berkolaborasi dengan Andi, maka aku harus menghormatinya,” ujarnya, tetapi ketegangan masih ada di antara mereka.
“Biarkan aku mengurus Andi. Kita bisa bicara terbuka tentang semua ini. Itu yang terpenting,” Keisha berusaha meredakan kekhawatiran Raka.
Raka mengangguk, sedikit merasa lega. “Baiklah, mari kita buktikan bahwa cinta kita lebih kuat dari ini.”
Kembali ke pameran, suasana semakin meriah. Keisha dan Raka menyaksikan seniman lain menjelaskan karya mereka kepada pengunjung. Namun, di sudut matanya, Keisha melihat Andi sedang berbicara dengan salah satu pengunjung.
“Keisha, kita harus pergi ke arah lain. Aku tidak suka melihat Andi terlalu dekat dengan orang lain,” Raka berkata, ketidaknyamanan masih membayangi.
Keisha merasa sedikit bingung. “Raka, dia hanya berbicara. Kita tidak bisa terus menghindar darinya.”
“Ya, tapi aku ingin kamu merasa nyaman. Mari kita pergi ke bagian lain,” Raka bersikeras.
“Aku mengerti, tetapi kita harus menghadapi kenyataan. Mari kita berusaha tetap tenang dan saling mendukung,” Keisha mengingatkan.