Ketika Regita pindah ke rumah baru, ia tak pernah menyangka akan tertarik pada Aksa, kakak tirinya yang penuh pesona dan memikat dalam caranya sendiri. Namun, Aksa tak hanya sekadar sosok pelindung—dia punya niat tersembunyi yang membuat Regita bertanya-tanya. Di tengah permainan rasa dan batas yang kian kabur, hadir Kevien, teman sekelas yang lembut dan perhatian, menawarkan pelarian dari gejolak hatinya.
Dengan godaan yang tak bisa dihindari dan perasaan yang tak terduga, Regita terjebak dalam pilihan sulit. Ikuti kisah penuh ketegangan ini—saat batas-batas dilewati dan hati dipertaruhkan, mana yang akan ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AJAKAN NONTON
Pagi itu, Regita duduk di bangku kelasnya, namun pikirannya tidak berada di sana.
Suara guru yang menjelaskan materi hanya terdengar seperti gumaman di telinganya. Ia terus memikirkan sikap Aksa yang tiba-tiba berubah dingin.
Kenapa dia jadi kayak gitu? Apa aku ngelakuin sesuatu yang salah? pikirnya sambil memandangi buku catatannya yang kosong.
“Git, lo kenapa sih?” bisik Citra, teman sebangkunya, sambil melirik Regita dengan curiga. “Dari tadi bengong aja.”
Hari ini Amelia tidak masuk kelas karena sakit. Maka dari itu Citra menggantikan Amelia untuk duduk dengan Regita sementara waktu.
Regita tersentak dari lamunannya. “Hah? Enggak, Cit. Gue cuma ngantuk aja.”
“Ngantuk apaan? Lo kayak orang galau. Pacar lo marah ya?” goda Citra sambil menyikut pelan lengan Regita.
Regita mendengus pelan, lalu pura-pura sibuk mencatat. “Apaan sih, Cit? Gue nggak galau. Udah, fokus dengerin pelajaran aja.”
Meski sudah menepis, pikiran Regita tetap dipenuhi oleh bayangan Aksa.
Hingga akhirnya, saat jam istirahat tiba, ia memutuskan untuk keluar kelas. Dengan langkah ragu, ia berjalan menuju ruang guru. Mungkin Kak Aksa lagi di sana... pikirnya.
Namun, begitu tiba di depan ruang guru, ia tidak menemukan sosok pria yang ia cari.
Regita mengintip dari kaca pintu, berharap Aksa sedang duduk di dalam. Sayangnya, meja Aksa kosong.
“Eh, Git!” sebuah suara tiba-tiba memanggilnya dari belakang. Regita terlonjak kaget dan berbalik.
Stevan, sekretaris OSIS, berdiri di sana sambil membawa setumpuk berkas. “Kamu nyariin Pak Aksa ya?” tanyanya dengan senyum ramah.
Regita langsung salah tingkah, wajahnya memerah. “Ah, enggak kok. Aku cuma lewat aja,” jawabnya terbata-bata, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Stevan mengerutkan dahi, terlihat tidak percaya. “Lewat aja? Tapi dari tadi kamu berdiri di depan ruang guru sambil ngintip-ngintip. Emangnya ada yang penting?”
“Enggak, serius! Aku cuma... cuma mau cari angin aja,” elak Regita sambil melambaikan tangannya. “Udah ya, Steve. Aku duluan!” katanya buru-buru, lalu berlari menjauh sebelum Stevan sempat bertanya lebih jauh.
Stevan hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. “Aneh banget sih anak itu,” gumamnya sebelum kembali melangkah masuk ke ruang guru.
Sementara itu, Regita terus berlari sampai ia merasa cukup jauh dari ruang guru.
Napasnya terengah, dan wajahnya memanas karena malu. Kenapa sih aku jadi begini? Kenapa juga aku harus nyariin Kak Aksa segala? batinnya sambil memukul pelan keningnya sendiri.
Ia memutuskan untuk kembali ke kelas, namun perasaan gelisah itu tetap tidak hilang. Pikirannya terus saja dipenuhi pertanyaan.
Kak Aksa lagi di mana? Kenapa dia tiba-tiba ngilang gini?
Ketika bel masuk berbunyi, Regita kembali ke tempat duduknya dengan lesu.
Bahkan Citra, yang biasanya tidak bisa berhenti mengoceh, mulai menyadari sesuatu. “Lo nggak biasanya kayak gini, Git. Seriusan, lo kenapa? Cerita aja deh,” tanyanya pelan.
Namun, Regita hanya menggeleng kecil sambil tersenyum tipis. “Nggak apa-apa, Cit. Gue cuma lagi banyak pikiran aja.”
Meski begitu, hatinya tetap tak tenang. Ia tahu, satu-satunya cara untuk meredakan kegelisahannya adalah dengan bertemu Aksa dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi kapan? Dan gimana caranya?
•••
Saat jam istirahat kedua, Regita duduk sendirian di bangku taman sekolah, pandangannya kosong ke arah pepohonan yang bergoyang pelan ditiup angin.
Tangannya memegang es kiko, tapi gerakannya mengunyah terlihat malas.
Pikiran Regita masih melayang pada Aksa dan sikap dinginnya belakangan ini.
“Sendirian aja? Amel mana?” sebuah suara familiar membuat Regita tersentak.
Kevien berdiri di depannya dengan senyum santai, tangan menyelip di saku celana.
“Dia izin sakit,” jawab Regita seadanya, matanya kembali tertuju pada es kiko yang mulai mencair.
Ia menyeruput sedikit es tersebut, tapi tetap saja tanpa semangat.
Kevien mengerutkan dahi melihat sikap Regita. Biasanya gadis itu ceria, bahkan selalu punya energi untuk menggoda teman-temannya.
Tapi kali ini? Ia terlihat jauh berbeda.
“Lo kenapa sih? Kok lesu banget?” tanya Kevien sambil duduk di sebelahnya tanpa izin.
“Enggak apa-apa,” jawab Regita singkat.
Kevien tidak puas dengan jawaban itu. Ia menatap wajah Regita lebih lama, mencoba membaca pikirannya.
Saat itu, ia merasa Regita lebih cantik dari biasanya, meskipun sedang terlihat murung. Namun, ia memilih untuk tidak menyinggung hal itu dan mencoba mencairkan suasana.
“Git, nonton yuk!” katanya tiba-tiba.
Regita yang sedang melamun hanya mengangguk pelan, tanpa benar-benar mendengar apa yang Kevien katakan.
Kevien langsung berseru gembira. “Serius Lo mau nonton sama gue?” pekiknya antusias, membuat beberapa siswa lain di taman menoleh ke arah mereka.
Regita yang baru tersadar langsung mengerutkan kening. “Hah, nonton? Kapan?” tanyanya bingung.
“Pulang sekolah gimana?” tawar Kevien dengan nada penuh harap.
Regita menghela napas panjang. Kevien memang selalu seperti itu, suka tiba-tiba mengajaknya melakukan hal yang tidak direncanakan. Namun, melihat wajah Kevien yang begitu antusias, ia merasa tidak tega untuk menolak.
“Yaudah deh,” jawabnya akhirnya, sambil memakan sisa es kiko di tangannya.
Kevien tersenyum lebar. “Yes! Lo nggak bakal nyesel, Git. Gue janji ini bakal jadi pengalaman nonton paling seru buat lo!” katanya bersemangat.
Regita hanya menatap Kevien datar. “Iya-iya, tapi jangan telat jemput ya. Kalau Lo molor, gue nggak jadi.”
Kevien langsung mengangguk mantap. “Tenang aja! Gue bakal jemput Lo tepat waktu. Janji deh.”
Sepanjang sisa jam istirahat itu, Kevien terus berceloteh tentang film yang akan mereka tonton.
Namun, Regita hanya menanggapi seadanya. Meski sudah setuju, pikirannya tetap tidak bisa lepas dari Aksa.
Kenapa Kak Aksa selalu ada di pikiranku, bahkan saat ada Kevien? batinnya.